Sabtu, 09 September 2017

Cerita Di Kaki Bukit Cibalak

Cerita Di Kaki Bukit Cibalak
Oleh : Joyo Juwoto*

Di Kaki Bukit Cibalak adalah sebuah judul novel yang ditulis oleh Ahmad Tohari, seperti tulisan-tulisan beliau yang lain saya sangat menyukai model dan gaya tulisan dari Sastrawan kenamaan ini. Ahmad Tohari dalam menulis tidak terlalu muluk-muluk dan tidak menggunakan bahasa metafor yang euforis. Bahasa yang sering dipakai oleh penulis Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk ini sederhana, mudah dipahami, dan sangat dekat dengan kehidupan kita.

Di dalam novel yang berjudul Di Kaki Bukit Cibalak ini Ahmad Tohari ingin menjadikan sastra sebagai media untuk mengkritisi perilaku pejabat yang salah dalam menggunakan wewenangnya, pejabat yang korupsi, dan berbagai perilaku para pemegang kekuasaan yang menyimpang dari pakem kebenaran.

Cerita di novel ini dimulai dengan pemilihan kepala desa Tanggir yang berada di Kaki Bukit Cibalak. Seperti pemilihan-pemilihan kepala desa di mana kita tinggal, pemilihan ini sebenarnya hanya sekedar ritual yang selalu saja begitu kejadiannya. Siapapun yang memiliki amunisi keuangan banyak, mampu membeli suara masyarakat melalui botohnya dipastikan ia yang akan tampil sebagai pemenang di liga kompetisi demokrasi semu itu.

Rakyat seakan juga sudah berfikir praktis, hanya satu hari itu saja suaranya dibutuhkan, selebihnya suara rakyat tidak akan pernah didengarkan oleh siapapun. Oleh Karena itu kebanyakan masyarakat akan menjual suaranya untuk calon kepala desa yang berani membeli dengan harga yang lebih tinggi dari calon lainnya.

Oleh karena itu tidak heran jika ada kepala desa yang jadi, tugas pertama kepala desa itu adalah menata kembali perekonomian rumah tangganya, begitu tulis Ahmad Tohari. Dan saya rasa memang demikian, untuk menjadi lurah tidak cukup jutaan rupiah, bahkan ada yang hingga ratusan juta rupiah. Sungguh demokrasi yang sangat membebani dan menyesakkan dada serta ruang berfikir manusia.

Seperti yang ditulis oleh Ahmad Tohari, Pak Dirga yang baru terpilih sebagai kepala desa Tanggir akhirnya di awal pelantikannya memanipulasi keuangan lumbung koperasi yang di kelola oleh pemuda desa yang bernama Pambudi dan Poyo. Selain memanipulasi keuangan koperasi desa, Pak Dirga juga punya rencana jahat terkait dengan rencana pemerintah untuk melebarkan jalan desa.

Pambudi seorang pemuda usia 24 tahun yang berjiwa idealis tidak mau berbuat kongkalikong dengan lurahnya, sehingga ia rela mengundurkan diri dari pekerjaannya, padahal Pambudi sendiri belum memiliki pekerjaan lain.

Karena Pak Dirga terlanjur membocorkan sikap culasnya kepada Pambudi, mau tidak mau akhirnya Pak Dirga dengan segala daya upaya ingin menyingkirkan pemuda desa Tanggir itu dari tanah kelahirannya. Hal ini juga dipicu oleh perlakuan tidak adil Pak Dirga kepada warganya yang miskin.

Seharusnya warga yang memang benar-benar tidak mampu membayar maka ia berhak mendapatkan santunan gratis dari dana lumbung koperasi desa, namun hal itu tidak bagi mbok Ralem yang meminjam dana koperasi untuk pengobatan penyakit kankernya.

Karena tidak mendapatkan dana pinjaman, akhirnya Pambudi bertindak. Ia membuat donasi untuk mbok Ralem di Majalah Kalawarta yang terbit di Jogja. Dari situlah akhirnya Mbok Ralem menjalani perawatan hingga sembuh.

Singkat kisah, perseteruan Pak Dirga dengan Pambudi mencapai klimak, hingga akhirnya Pambudi harus hengkang dari desanya. Ia kemudian pergi ke kos-kosan Topo, temennya dulu waktu SMA yang sedang menempuh perkuliahan. Atas saran dari temennya itulah Pambudi kemudian melanjutkan kuliah juga.

Di Tanggir sebenarnya Pambudi memiliki gadis pujaan hati, yaitu Sanis putri cantik anak dari modin desa. Semenjak kepergian Pambudi Sanis justru mulai tertarik dengan Sembodo  anak pak camat. Namun takdir berbicara lain, justru Sanis dilamar oleh Pak Dirga, lurahnya sendiri yang sudah berganti istri hingga ke tujuh kalinya, dan Sanis yang kedelapan.

Pambudi sendiri kemudian melanjutkan kuliah di Jogja, sambil kuliah ia bekerja di sebuah toko jam milik seorang Tionghoa. Dari sinilah kemudian terjalin asmara antara Pambudi dengan Mulyani, anak dari pemilik toko di mana ia bekerja.

Saya sangat suka cara Ahmad Tohari menulis kisah asmara, terasa alami dan tidak dibuat-buat. Selain itu bahasa yang dipakai juga santun serta tidak vulgar sebagaimana novel lelaki harimau, dan novel-novel lain yang ditulis oleh Eka Kurniawan. Ahmad Tohari mampu membawa tema asmara dengan sangat manusiawi dan sesuai dengan karakter ketimuran kita. Sangat luar biasa.

Penasaran ingin membaca novel Di Kaki Bukit Cibalak? silakan buru buku penulis dari Banyumas ini.


"Joyo Juwoto, Pegiat Sastra Kali Kening



Tidak ada komentar:

Posting Komentar