Pulung
Lurah
Oleh
: Joyo Juwoto
Udara
dingin musim kemarau di desa Bangilan belum sirna, penduduknya biasanya masih
berselimut sarung, duduk-duduk di depan bediang menghangatkan badan
sambil menikmati kretek dan secangkir kopi hitam. Asap dari perapian yang
sebenarnya untuk menghangatkan ternak-ternak di kandang dan pengusir nyamuk itu
masih mengepulkan asap putih dengan bau sangit yang sangat menyengat. Tapi aroma
itu sudah biasa bagi warga desa, sangat biasa dengan kehidupan mereka di desa.
Pagi
itu penduduk Bangilan tidak berangkat ke ladang maupun ke pasar. Hari itu
penduduk kampung sedang menyelenggarakan pesta rakyat, pemilihan lurah baru. Pagi-pagi
sekali penduduk telah bersiap untuk pergi ke balai desa, mereka akan memberikan
suaranya kepada calon lurah baru yang dipilihnya.
“Kang
Parjo, nanti kamu pilih siapa? Tanya Diman kepada teman ngopinya di warung Mbok
Darmi
“Ah,
rahasia to Kang, yang pasti jagoku jelas menang” Jawab Parjo dengan penuh
kebanggaan dan kepedean tingkat dewa.
“Kalau
aku siapapun yang menang sih sama saja, kita rakyat akan tetap menjadi rakyat
jika tidak bekerja toh tidak akan makan. Ya hanya saat pencalonan lurah saja
suara kita ada harganya, diperhitungkan. Setelah ini toh kita tetap sebagai
rakyat biasa.” Sahut Paimo yang duduk di sudut warung.
“Benar
sekali, hanya kali ini saja wong-wong gede itu peduli sama kita, lha wong ada
maunya. Coba nanti kalau sudah terpilih, mereka tidak akan kenal dengan wajah
kita-kita wong cilik ini, jadi siapapun yang memberi kita uang yang paling
banyak itu yang kita pilih nantinya” Kata Diman penuh semangat.
Di
warung mbok Darmi pagi itu cukup ramai, rata-rata bapak-bapak yang akan
berangkat ke balai desa untuk memberikan suaranya. Warung mbok Darmi memang
bisa dikatakan punya peran penting dalam menyukseskan pemilihan lurah. Dari
warung itu segala informasi bisa diserap oleh para botoh calon lurah,
kemudian strategi apa yang selanjutnya akan dimainkan. Bahkan tidak jarang pula
warung mbok Darmi dipakai sebagai markas pemenangan salah satu calon lurah.
Para
botoh biasanya memboking warung mbok Darmi, siapapun yang marung di situ di
hari tertentu dalam masa pencalonan gratis tis tanpa di suruh membayar. Tidak
heran warung yang memiliki tanda bokingan salah satu calon lurah ramai
dikunjungi oleh penduduk kampung. Bisa ditebak siapa yang memiliki amunisi dana
kuat yang mampu menggaet suara dari warung itu.
Kali
itu calon lurah baru desa Bangilan ada tiga orang, pertama Kang Sogol dengan
lambang gambar jagung, kedua Pak Amin dengan lambang gambar kelapa, dan Kang Mukri
dengan lambang gambar padi. Ketiga calon lurah baru desa Bangilan ini memiliki
pendukung yang solid.
Kang
Sogol yang berlatar belakang sebagai seorang tokoh pemuda yang malang melintang
di dunia jalanan, memiliki peluang suara dari anak-anak muda. Kang Sogol pun
memiliki banyak akses ke orang-orang pemerintahan, karena keluwesannya dalam
pergaulan. Pak Amin, yang seorang santri dermawan, baik hati, dan tak memiliki
cela yang berarti memiliki peluang mendapatkan suara dari kaum santri dan
orang-orang soleh. Dengan kebaikannya itu Pak Amin bertaruh dengan dalam
pemilihan jabat lurah. Sedang Kang Mukri yang seorang abangan, mengandalkan
kerja botohnya yang cukup piawai dalam memenangkan seorang calon lurah. Kang
Mukri memang kurang luwes dalam pergaulan, namun uang bisa menjadikannya tampak
baik, hari-hari ini. Apalagi didukung dana yang cukup kuat, Kang Mukri merasa
berada di atas angin dalam memenangkan kontes pemilihan lurah kali ini.
Walau
dibilang pemilihan lurah adalah ajang demokratisasi di desa, namun sebenarnya
penduduk tidak begitu memahami tetek bengeknya demokrasi-demokrasi itu,
penduduk masih mempercayai bahwa lurah adalah jabatan yang mengandalkan semisal
wahyu keprabon. Atau orang-orang menyebutnya sebagai pulung lurah. Calon yang
mendapatkan pulung itulah yang nantinya akan keluar sebagai pemenang di
pemilihan calon lurah.
Jadi
selain sibuk berkampanye dengan mendatangi satu persatu rumah penduduk untuk
meminta dukungan, atau menempelkan lambang gambarnya di jalan dan pohon-pohon
untuk sosialisasi, seorang calon lurah juga berikhtiar agar pulung lurah jatuh
kepada dirinya. Tidak ada gunanya didukung rakyat banyak jika pulung itu
ternyata hinggap di calon lain. Mereka mempercayai pulung itulah yang akan
memenangkan pencalonan mereka sebagai lurah.
Seperti
dalam dongeng pewayangan, seorang calon raja harus menerima wahyu cakraningrat
terlebih dahulu dengan cara bertapa di suatu tempat dalam kurun waktu tertentu.
Begitu pula seorang lurah, biasanya para calon itu akan mendatangi punden desa
untuk meminta restu akan pencalonan mereka sebagai lurah desa. Setelah
melakukan ritual tertentu di punden tersebut biasanya masing-masing calon akan
mendapatkan isyarat yang berbeda-beda.
***
Beberapa
pekan sebelum pencalonan lurah, para calon lurah maupun botohnya sibuk mencari dukungan,
baik secara moril maupun spiritual. Ada yang mendatangi dukun-dukun sakti, ada
yang mendatangi tempat-tempat keramat, menggelar istighosah pemenangan, hingga mencari
syarengat yang sesuai petunjuk dari masing-masing tokoh spiritual.
Malam
itu adalam malam Jumat Kliwon, tepat satu minggu sebelum digelarnya pemilihan
lurah. Kang Mus bersama Kang Jo yang mendukung pencalonan salah satu calon lurah
mendapat tugas untuk mencari tujuh sumber mata air dan segenggam tanah di satu
dusun dekat punden desa. Dan pekerjaan itu jangan sampai diketahui oleh
pendukung calon lainnya. Tensi persaingan pemilihan lurah kali ini memang
terasa panas, sehingga para botoh perlu berhati-hati dalam bertindak.
“Kang
Jo, nanti tepat tengah malam kita ke punden desa ya? ajak Kang Mus mengawali
obrolannya di rumah Kang Jo. Rumah kang Jo memang berada di tepi desa dekat
dengan punden, sehingga memudahkan mereka untuk melancarkan maksudnya.
“Iya,
nanti siapkan botol wadah air, sebentar lagi kita berangkat, ini mendekati
tengah malam, dan jangan lupa senternya sekalian kamu bawa” Jawab Kang Mus
sambil melihat jam yang ada di atas dinding rumah yang terbuat dari anyaman
bambu.
Saat
jam dinding menunjukkan angka 12, dua botoh dari Kang Sogol itu keluar rumah.
Mereka berdua berjalan menerobos jalan setapak, agar tidak diketahui oleh
orang-orang yang mungkin belum tidur. Kang Mus dan Kang Jo berjalan beriringan
dalam gelap, menuju punden desa yang berada di tengah sawah. Punden desa itu
berupa sumur kecil di bawah pohon trembesi besar yang usianya mungkin sudah
ratusan tahun, sumur kecil itu airnya tidak pernah kering. Orang-orang
menyebutnya sebagai sumur Ngasinan.
Sesampainya
di sumur itu, Kang Jo segera mengambil gayung sumur dari tempurung kelapa. Kang
Jo menahan nafas kemudian menghentakkan kakinya ke tanah tiga kali, setelah itu
merapal doa yang telah diajarkan oleh guru spiritual Kang Sogol, baru kemudian
ia mengambil air dan memasukkannya ke wadah botol yang dibawanya.
“Ayo
kita berburu dengan waktu, Kang Jo, saya akan mengambil segenggem tanah di
sini, setelah itu mari segera meninggalkan tempat ini, dan kita ambil air dari
sumur-sumur penduduk di dusun sini”. Kata Kang Mus mengomando dirinya sendiri.
Setelah
selesai dari sumur punden, mereka berdua bergegas kembali ke dusun. Dengan
perlahan Kang Mus dan Kang Jo mengendap mencari sumurnya penduduk. Tak
berlangsung lama, tugas yang diemban oleh kedua botoh itu selesai dengan tanpa
meninggalkan masalah. Kemudian mereka berdua kembali ke rumah Kang Jo.
***
Di
hari pemilihan orang-orang sama berbondong-bondong mendatangi TPS (Tempat
Pemungutan Suara) yang ada di balai desa. Satu demi satu antrian masuk ke bilik
suara. Beberapa Hansip desa mengatur masuknya antrian, agar tidak
berdesak-desakan. Tiga calon lurah duduk di pendopo balai desa dengan latar
belakang lambang gambar masing-masing. Padi, jagung,dan kelapa, tiga lambang
gambar untuk pemilihan lurah di desa Bangilan.
Kang
Sogol calon lurah dengan gambar padi telah datang di awal sebelum kedua calon
datang. Bahkan matahari belum muncul Kang Sogol telah menduduki kursinya, Ia
berharap kedatangan awalnya menjadi pertanda baik sebagai pemenang di pemilihan
lurah. Kang Mukri datang paling akhir, karena atas petunjuk dukunnya ia disuruh
berkeliling kampung dulu dengan tanpa memakai alas kaki, sebelum sampai ke
balai desa, dengan harapan seluruh tempat yang ia lewati dan terkena telapak
kakinya akan memilihnya menjadi lurah baru. Sedang Kang Amin, santai saja. Ia
mempercayai bahwa Tuhan akan membela orang-orang baik. Di belakangnya ada
Tuhan. Dia datang pukul tujuh, sebagaimana orang-orang berangkat untuk
beraktivitas. Kang Amin tidak melakukan hal-hal yang aneh, dia seorang
rasionalis dan terlalu baik untuk melakukan hal-hal yang diluar nalar.
Demokrasi
memang sebuah misteri, walau kebenaran adalah milik mayoritas, namun mayoritas
belum tentu memilih yang benar. Belum tentu orang baik akan dipilih sebagai
lurah. Pimpinan dalam demokrasi tidak perlu orang baik, asal terpilih mayoritas
ia punya legalitas menjadi pemimpin masyarakat. Entah bagaimana dulu asal
muasal dan legenda tentang lahirnya demokrasi di negeri ini.
Dalam
penelusuran jejak-jejak sejarah nenek moyang, zaman dahulu proses memilih
pimpinan kelompok tidak menggunakan demokrasi. Entahlah mungkin demokrasi memang
belumlah lahir. Hanya orang hebat, kuat, dan memiliki kecerdasan lebih yang
akan dijadikan pimpinan, orang-orang pintar menyebutnya sebagai proses primus
interpares. Semenjak demokrasi lahir yang entah kapan, hal itu sudah tidak
berlaku kembali.
Hari
telah siang, orang-orang masih berkerumun di dekat balai desa. Mereka menunggu
hasil penghitungan suara. Setelah semua orang memberikan hak suaranya, penghitungan
pun di mulai oleh pihak panitia. Pak Pandi yang bertugas membaca kertas suara
meraih microfon, setelah lipatan kertas dibuka dan ditunjukkan ke khalayak, ia
pun membaca kertas itu dengan suara keras, “Jagung, jagung, padi...” kemudian
bagian saksi meneliti bekas coblosan di kertas suara dan menimpali suara pak Pandi dengan teriakan juga, “Sah”.
Penghitungan
dilaksanakan hingga menjelang senja, para calon lurah masih juga duduk di
kursinya, berharap dirinya yang mendapatkan suara terbanyak. Wajah ketiga calon
lurah itu tampak lelah dan tegang, maklum seharian mereka duduk di sana.
Setelah
penghitungan selesai panitia pun merekap data, dan pemenangnya ternyata adalah
Kang Sogol, kemudian disusul suara dari Kang Mukri, dan itu terpaut sekitar
ratusan suara.
“Keparat!!!
Hai Tarmu, kau kemanakan uang-uangku? Mengapa orang-orang yang kau beli tidak
memilih gambarku? Kang Mukri merah padam, ia murka karena uang yang dikucurkan
untuk pemenangan dirinya ternyata tidak sampai ke penduduk, uang itu entah raib
kemana. Para kerabat Kang Mukri menenangkannya, karena bagaimanapun pemilihan
telah usai, dan ia harus menerima kekalahan yang menyakitkan itu.
Orang-orang
di balai desa sama berteriak menyanjung nama Kang Sogol sebagai pemenang lurah
desa Bangilan, “Sogol, Sogol, Sogol!” Pulung lurah desa Bangilan jatuh ke
pangkuan Kang Sogol. Para pendukung Kang Sogol kemudian mengerumuninya, suasana
histeria menyelimuti senja penghabisan di pendopo balai desa. Dengan berjalan
kaki para pendukung Kang Sogol membobong lurah baru itu hingga ke rumahnya. Dan
dipastikan malamnya akan ada pesta besar di rumah Kang Sogol. Seekor sapi besar
telah disiapkan untuk menjamu orang-orang yang datang ke rumahnya.
Pak
Mukri akhirnya hanya diam pasrah, ia pun pulang dengan langkah gontai dan menundukkan
kepala. Ada beberapa orang yang mengikutinya, dipastikan itu bukan botoh-botoh
dari Pak Mukri. Karena ternyata botoh-botohnya berkhianat. Uang yang
dikucurkannya sejumlah ratusan juta ludes tanpa membawa hasil yang diharapkannya.
Sedang Pak Amin juga harus menerima
dengan dada terbuka akan kekalahannya, kini ia mengerti bahwa demokrasi
ternyata belum memberikan tempat kepada orang baik seperti dirinya. Budi baiknya
kalah dengan suara “Tuhan”.
Di
pojok balai desa di sebuah warung kopi, Kang Mus dan Kang Jo duduk dengan
tenang sambil menyeruput kopi pengabisan di cangkirnya. Kretek yang di hisap
juga hampir padam, tinggal tersisa beberapa hisapan. Mereka berdua kemudian
bergegas meninggalkan warung kopi.