Sabtu, 30 September 2017

Menggapai Khusyu’ Dalam Shalat

google.com
Menggapai Khusyu’ Dalam Shalat
Oleh : Joyo Juwoto

Shalat adalah salah satu cara seorang hamba menyapa Tuhannya, seseorang tidak akan bisa menyapa Tuhan dengan penuh kekhusyukan dan ketawadhuan, sebelum hamba tersebut benar-benar mengenal Tuhannya dengan baik. Dan seseorang tidak akan sampai pada maqam mengenal Tuhan jika ia belum mengenal dan memahami dirinya sendiri.

Ada istilah tak kenal maka tak cinta, begitu pula dalam ibadah shalat, jika seorang hamba belum mengenali Tuhannya mustahil ia bisa menyapa Tuhan dalam shalatnya. Sehingga dalam shalat tidak didapati rasa kenikmatan, ketenangan dan keintiman. Hamba yang kehilangan makna dan hakekat shalat akan menjadikan shalat hanya sebagai penggugur kewajiban saja, shalat sambil lalu, tanpa sampai pada maqam hakekat dari ibadah shalat.

Seorang hamba yang merasakan cinta, tentu akan merasa butuh dan ingin selalu bertemu dengan yang dicintainya.  Begitu juga perumpamaan jika kita mencintai Tuhan dan butuh akan kehadiran-Nya. Perasaan cinta dan merasa butuh inilah yang akan menjadi sebuah energi untuk mendekatkan diri seorang hamba kepada Tuhannya. Karena tak ada kedekatan dan keintiman melebihi perasaan jatuh cinta.

Ibadah shalat ini adalah ibadah yang paling utama, ibadah yang menjadi barometer amal ibadah lain diterima atau tidak. Ibadah yang besok pertama kalinya dihisap di hari kiamat. Ibadah shalat adalah salah satu medium pertemuan sakral antara makhluk dengan Sang Khaliq. Dalam shalat yang khusyu’ seorang hamba akan mampu menghadirkan eksistensi ilahiyyah ke tempat di mana ia bersujud.

Jika Rasulullah Saw bertemu Tuhan di sidratil muntaha dengan cara di isra’ dan dimi’rajkan, maka seorang hamba yang beriman bisa menemui Tuhannya dengan cara menjalankan shalat. Rasulullah Saw, menyabdakan bahwasanya ibadah shalat adalah mi’rajnya seorang hamba yang beriman kehadirat Tuhannya.

Sungguh beruntung sekali orang-orang yang bisa menjalankan shalat dengan khuyu’, karena ukuran keimanan seseorang terletak sampai seberapa ia bisa khusyu’ dalam menjalankan shalat. Dalam Al Qur’an Allah Swt, berfirman yang artinya :

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya.” (Al Mu’min  ayat 1-2)

Ibadah shalat bukan hanya sekedar aktifitas fiqhiyyah semata, bisa saja secara hukum fiqih shalat seseorang sah, namun amalan shalatnya tidak mampu mewarnai kehidupannya sehari-hari. Shalat hanya sekedar rutinitas tanpa makna. Hal ini karena shalat yang dikerjakan hanya sebagai peristiwa biologis semata, tanpa menyertakan amal batiniyyah, tanpa menyertakan kekhusyukan.

Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw. bersabda : “Barang siapa yang hatinya belum bisa khusyu’, maka shalatnya dikembalikan (ditolak).

Oleh karena itu selain menetapi rukun dan syarat sahnya shalat, seorang hamba perlu menghadirkan rasa khusyu’ dalam shalatnya sehingga ia merasakan cahaya ketuhanan merasuk memenuhi rongga jiwanya. Setelah cahaya ketuhanan masuk, menembus hijab hamba dengan Tuhannya maka cahaya itu akan menjelma menjadi rahmatan lil ‘alamin yang terpancar memenuhi lingkungan sosial dan semesta.

Semoga kita termasuk orang-orang yang mampu menyempurnakan shalat dengan kekhusyukan dan ketawadhuan di hadapan Tuhan.



*Joyo Juwoto, Santri Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban. Diantara buku yang ditulisnya adalah: Jejak Sang Rasul (2016); Secercah Cahaya Hikmah (2016), Dalang Kentrung Terakhir (2017,) dan menulis beberapa buku antologi bersama Sahabat Pena Nusantara dan beberapa komunitas literasi lainnya.”

Sabtu, 23 September 2017

Namira

Namira
Oleh : Joyo Juwoto

Namira bukanlah nama istri saya, atau nama anak-anak saya yang di foto yang saya pakai gambar tulisan ini. Namira juga bukanlah nama seorang gadis cantik, walau dari namanya kelihatan nuansa kecantikanya. Namira adalah sebuah masjid cantik yang konon bernuansa timur tengah, tepatnya bernuansa masjidil haram yang ada di Makkah. Begitu kata bapak dan ibu mertua saya yang sudah pernah umroh.

Kebetulan kemarin saya bersama keluarga ada acara ke Lamongan, akhirnya kami sengaja mampir ke Namira untuk menjalankan sholat Jumat. Memang benar masjid yang berada di kota soto, Lamongan ini cukup cantik dengan tampilannya yang minimalis dan unik.

Yang saya kagumi dari masjid ini adalah fasilitas layanannya. Mulai dari lahan parkir yang luas dengan pemandangan yang cukup indah, ruangan masjidnya juga adem dan menyegarkan. Aromanya wangi khas, entah minyak apa yang dipakai untuk mewangikan masjid itu. Kamar mandi dan tempat wudhunya pun bersih. Di depan tempat wudhu terdapat kolam ikan hias yang cukup menyita perhatian Naila dan Nafa, kedua putri saya. Selain nyaman dipakai untuk menjalankan ibadah, masjid Namira ini juga ramah dipakai untuk wisata religi keluarga.

Satu lagi yang membuat saya takjub dan tercengang adalah masjid Namira ini menyediakan minuman dingin yang bisa dinikmati oleh para pengunjung secara gratis. Dan saat saya selesai berwudhu di salah satu layar informasi di dekat tempat wudhu menampilkan beberapa layanan masjid Namira, seperti kontak person masjid, layanan group Whatshap, jadwal pengajian, hingga informasi sarapan pagi gratis di setiap hari ahad setelah sholat subuh.

Dengan segala layanan dan fasilitas yang ada di masjid Namira, kita merasa sangat dimuliakan ketika berada di baitullah. Sangat nyaman dan menyenangkan. Hal ini kayaknya juga dirasakan oleh para pengunjung di masjid Namira, walau saya tidak mewancarai mereka. Terlihat selesai mengerjakan sholat saya lihat banyak pengunjung yang berfoto ria dengan latar belakang tulisan Namira.


Selain sarana dan prasarana yang menakjubkan, masjid Namira ini juga menyediakan imam sholat yang bernuansa Masjidil Haram. Saya tahu ini karena pernah mendengar para imam sholat Masjidil Haram di layar televisi saat bulan puasa, karena memang saya belum mendapat jatah panggilan untuk ke sana. Do’akan saja saya dan keluarga serta orang-orang yang punya keinginan kuat ke sana, semoga segera bisa pergi ke baitullah untuk menjalankan ibadah haji maupun umroh. Joyo

Jumat, 22 September 2017

Gebyar Muharram Ponpes ASSALAM Bangilan Tuban

Gebyar Muharram Ponpes ASSALAM Bangilan Tuban
Oleh : Joyo Juwoto

Peringatan 1 Muharram  1439 Hijriyah di Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban cukup meriah, selain mengadakan aneka macam perlombaan antar santri, peringatan tahun baru Islam yang jatuh pada hari Kamis (21/9/2017) itu juga dimeriahkan dengan berbagai kegiatan  yang menampilkan aneka kreasi dan kolaborasi karya-karya santri Ponpes ASSALAM Bangilan di panggung akbar Arena Gembira.

Acara yang ditampilkan di Arena Gembira cukup menarik perhatian pengunjung yang hadir, berbagai macam tontonan disajikan dengan dengan spektakuler, ada nasyid, hadroh, seni musik tongklek, perkusi, akustika, step pramuka, hingga pertunjukan barongan gendruwon.

Selain pentas Arena Gembira, juga digelar pameran galeri santri yang mendisplykan berbagai macam kreasi santri. Ada lukisan, kaligrafi, hasta karya, pohon buku yang berdaun buku-buku karya santri dan alumni, dan berbagai ragam benda-benda seni lainnya.


Pohon buku menjadi pajangan yang sangat unik dan menarik, apalagi buku-bukunya adalah karya dari keluarga besar pondok pesantren ASSALAM sendiri, seperti kumpulan cerpen yang berjudul : Sialan Ini hanya Tumpukan Sampah, Sebelas Keping Cerita, karya Ikal Hidayat Nur, Pelukan Terakhir Alya, Karya Mashari, Sajak Senja (kumpulan Puisi) karya Syamsuddin, Batu di Kepala Emak, AS (Novel) karya Ayra , Senja dan Burung-burung Pemakan Kenangan Karya Adib Riyanto, Let’s Move On karya Nindya Sintya R., Jejak Sang Rasul, Secercah Cahaya Hikmah, Dalang Kentrung Terakhir, karya Joyo Juwoto, dan beberapa buku lainnya.

Santri-santri ASSALAM ternyata selain pandai mengaji, berorganisasi, juga pandai berkarya seni guna mengukuhkan identitas bangsa dan kecintaan terhadap Nusa dan bangsa, serta ikut serta menjaga dan melestarikan budaya Nusantara.

Menurut Pengasuh Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan, KH. Yunan Jauhar, M.Pd.I kegiatan Arena Gembira ini dilaksanakan rutin setiap tahunnya untuk mengasah bakat dan kemampuan santri dalam bersinergi, berkarya, berinovasi guna mempersiapkan generasi-generasi muda Islam Indonesia yang siap terjun di tengah-tengah masyarakat.

“Santri-santri ASSALAM di pondok dididik, diajar, dan digembleng dengan berbagai macam ilmu pengetahuan dan ketrampilan  agar nantinya  siap berkhidmad untuk umat serta menjadi mundirul qaumi di seluruh persada bumi nusantara” lebih lanjut, Abah Yunan Jauhar mengatakan bahwa santri-santri ASSALAM akan bersama-sama menapak bumi, meniti jalan, menggapai dunia, meraih ridho Allah Swt”.

Kamis, 21 September 2017

Arif Punakawan - Matematikus Penggemar Wayang

Arif Punakawan - Matematikus Penggemar Wayang
Oleh : Joyo Juwoto

Jika mengenal sosok yang menyukai matematika, atau setidaknya orang yang berlatar belakang pendidikan matematika saya selalu kagum. Bahasa hiperbolisnya terpesona cetar membahana seantero jagad raya. Kekaguman saya tentu bukan mengada-ada, karena memang sejak sekolah dasar saya sudah merasa resah bin gelisah jika harus berhadapan dengan makhluk astral yang bernama matematika.

Andai waktu itu saya sudah mengenal sosok Sujiwo Tejo, tentu saya tidak akan seresah seperti dulu-dulu. Saya selalu mengagumi dalang mbeling ini. Beliau dengan seninya mampu menerangkan identitas matematika dengan bahasa yang dapat saya tangkap dari kedalaman palung hati. Walau saya masih tidak bisa memahami bahasa matematika, namun saya diam-diam mencintai matematika. Bagaimana saya tidak jatuh cinta, lha wong kata-katanya itu lho menyihir dan makjleb di sini (sambil nunjuk dada).

     "Matematika adalah kemampuan menangkap pola dari sesuatu yang semula tidak berpola" (Sujiwo Tejo).

“Matematika adalah orkestrasi dari seluruh konsep, sementara musik adalah matematika yang berbunyi” (Sujiwo Tejo).

Saya sebenarnya kurang begitu memahami dua kalimat di atas, Cuma saya tertarik dengan susunan keindahan kalimat yang dibuat oleh Sujiwo Tejo. Daripada saya bingung ada baiknya kalimat itu saya konfirmasikan ke salah satu sahabat saya yang pakar matematika, namanya Mas Arif SW. Atau lebih kental dikenal sebagai ArifPunakawan. Biarlah nanti beliaunya yang menjlenterkan kalimat itu.

Mas Arif ini seorang mahasiswa purna jurusan matematika di Universitas dr. Soetomo Surabaya, dan kabarnya bulan ini diwisuda, Alhamdulillah, semoga ilmu yang beliau dapatkan manfaat barakah. Selain bergelut dengan angka-angka dan simbol-simbol dalam ilmu matematika, ternyata beliaunya ini juga seorang yang mencintai dunia seni. Mas Arif ini ternyata seorang pejuang teater militan.

Di kampusnya Mas Arif bergabung di teater KU, namanya sangat singkat namun penuh misteri dan daya magis yang kuat. Saya berfikir KU ini berasal dari kata (A)KU, sedang AKU ini bermakna keadaran akan makna kesejatian diri, bukan AKU yang bermakna ego. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Mas Arif, bahwa dalam bermain teater KU, Mas Arif ini merasa menemukan kesadaran akan kesejatian hidupnya.

Doc. Mas Arif SW.

“KU mengajarkan kesadaran hidup yang luar biasa. Bahwa kita jadi apapun di dunia ini, entah itu orang kaya, miskin, pejabat, gelandangan, pahlawan, atau orang biasa, itu hanyalah peran sementara yang diberikan Sang Maha Sutradara. Yang perlu kita lakukan hanyalah menjalankan peran dengan sebaik-baiknya (bersyukur).” (Arif SW.)

Dari kalimat di atas kita sebagai manusia menyadari bahwa hidup kita hanya sebatas akting belaka, semua telah diskenario oleh Sang Sutradara. Tak perlu galau menjalankan peran yang sementara ini, dan tak perlu berbangga berlebihan dengan kedudukan tinggi dalam peran di pentas panggung kehidupan, karena pada dasarnya semua hanyalah panggung sandiwara semata, semuanya hanyalah teaterikal kehidupan yang fana.

Pada awalnya saya mengira Mas Arif SW. ini seorang pengagum Sujiwo Tejo, karena keduanya banyak memiliki kesamaan. Sujiwo Tejo yang seorang dalang wayang ini latar belakang pendidikannya juga matematika, walau tidak sampai tamat, Mas Arif juga seorang matematikus yang menyukai wayang. Khususnya wayang punakawan dengan segala makna dan filosofinya. Oleh karena itu tidak heran jika nama yang dipakai oleh Mas Arif di media sosial adalah Arif Punakawan. Sedang blognya Mas Arif menggabungkan nama teaternya dan juga wayang punakawan. Namanya blognya adalah http://www.punakawanku.com/

Jika hari ini anak muda banyak menggemari dan mengidolakan budaya luar negeri, saya patut merasa bangga dengan Mas Arif Punakawan. Hari gini masih ada anak muda yang peduli dan memiliki ketertarikan dengan budayanya sendiri. Sebagai generasi muda Indonesia tentunya kita harus ikut serta menjaga dan melestarikan budaya peninggalan nenek moyang kita. Semoga hal ini menginspirasi bagi generasi-generasi muda lainnya, untuk lebih mencintai budayanya sendiri. Mari Kenali Budaya Sendiri, dan Ciptakan Karakter Bangsa.” Salam.

Rabu, 20 September 2017

Pulung Lurah

Pulung Lurah
Oleh : Joyo Juwoto

Udara dingin musim kemarau di desa Bangilan belum sirna, penduduknya biasanya masih berselimut sarung, duduk-duduk di depan bediang menghangatkan badan sambil menikmati kretek dan secangkir kopi hitam. Asap dari perapian yang sebenarnya untuk menghangatkan ternak-ternak di kandang dan pengusir nyamuk itu masih mengepulkan asap putih dengan bau sangit yang sangat menyengat. Tapi aroma itu sudah biasa bagi warga desa, sangat biasa dengan kehidupan mereka di desa.

Pagi itu penduduk Bangilan tidak berangkat ke ladang maupun ke pasar. Hari itu penduduk kampung sedang menyelenggarakan pesta rakyat, pemilihan lurah baru. Pagi-pagi sekali penduduk telah bersiap untuk pergi ke balai desa, mereka akan memberikan suaranya kepada calon lurah baru yang dipilihnya.

“Kang Parjo, nanti kamu pilih siapa? Tanya Diman kepada teman ngopinya di warung Mbok Darmi

“Ah, rahasia to Kang, yang pasti jagoku jelas menang” Jawab Parjo dengan penuh kebanggaan dan kepedean tingkat dewa.

“Kalau aku siapapun yang menang sih sama saja, kita rakyat akan tetap menjadi rakyat jika tidak bekerja toh tidak akan makan. Ya hanya saat pencalonan lurah saja suara kita ada harganya, diperhitungkan. Setelah ini toh kita tetap sebagai rakyat biasa.” Sahut Paimo yang duduk di sudut warung.

“Benar sekali, hanya kali ini saja wong-wong gede itu peduli sama kita, lha wong ada maunya. Coba nanti kalau sudah terpilih, mereka tidak akan kenal dengan wajah kita-kita wong cilik ini, jadi siapapun yang memberi kita uang yang paling banyak itu yang kita pilih nantinya” Kata Diman penuh semangat.

Di warung mbok Darmi pagi itu cukup ramai, rata-rata bapak-bapak yang akan berangkat ke balai desa untuk memberikan suaranya. Warung mbok Darmi memang bisa dikatakan punya peran penting dalam menyukseskan pemilihan lurah. Dari warung itu segala informasi bisa diserap oleh para botoh calon lurah, kemudian strategi apa yang selanjutnya akan dimainkan. Bahkan tidak jarang pula warung mbok Darmi dipakai sebagai markas pemenangan salah satu calon lurah.

Para botoh biasanya memboking warung mbok Darmi, siapapun yang marung di situ di hari tertentu dalam masa pencalonan gratis tis tanpa di suruh membayar. Tidak heran warung yang memiliki tanda bokingan salah satu calon lurah ramai dikunjungi oleh penduduk kampung. Bisa ditebak siapa yang memiliki amunisi dana kuat yang mampu menggaet suara dari warung itu.

Kali itu calon lurah baru desa Bangilan ada tiga orang, pertama Kang Sogol dengan lambang gambar jagung, kedua Pak Amin dengan lambang gambar kelapa, dan Kang Mukri dengan lambang gambar padi. Ketiga calon lurah baru desa Bangilan ini memiliki pendukung yang solid.

Kang Sogol yang berlatar belakang sebagai seorang tokoh pemuda yang malang melintang di dunia jalanan, memiliki peluang suara dari anak-anak muda. Kang Sogol pun memiliki banyak akses ke orang-orang pemerintahan, karena keluwesannya dalam pergaulan. Pak Amin, yang seorang santri dermawan, baik hati, dan tak memiliki cela yang berarti memiliki peluang mendapatkan suara dari kaum santri dan orang-orang soleh. Dengan kebaikannya itu Pak Amin bertaruh dengan dalam pemilihan jabat lurah. Sedang Kang Mukri yang seorang abangan, mengandalkan kerja botohnya yang cukup piawai dalam memenangkan seorang calon lurah. Kang Mukri memang kurang luwes dalam pergaulan, namun uang bisa menjadikannya tampak baik, hari-hari ini. Apalagi didukung dana yang cukup kuat, Kang Mukri merasa berada di atas angin dalam memenangkan kontes pemilihan lurah kali ini.

Walau dibilang pemilihan lurah adalah ajang demokratisasi di desa, namun sebenarnya penduduk tidak begitu memahami tetek bengeknya demokrasi-demokrasi itu, penduduk masih mempercayai bahwa lurah adalah jabatan yang mengandalkan semisal wahyu keprabon. Atau orang-orang menyebutnya sebagai pulung lurah. Calon yang mendapatkan pulung itulah yang nantinya akan keluar sebagai pemenang di pemilihan calon lurah.

Jadi selain sibuk berkampanye dengan mendatangi satu persatu rumah penduduk untuk meminta dukungan, atau menempelkan lambang gambarnya di jalan dan pohon-pohon untuk sosialisasi, seorang calon lurah juga berikhtiar agar pulung lurah jatuh kepada dirinya. Tidak ada gunanya didukung rakyat banyak jika pulung itu ternyata hinggap di calon lain. Mereka mempercayai pulung itulah yang akan memenangkan pencalonan mereka sebagai lurah.

Seperti dalam dongeng pewayangan, seorang calon raja harus menerima wahyu cakraningrat terlebih dahulu dengan cara bertapa di suatu tempat dalam kurun waktu tertentu. Begitu pula seorang lurah, biasanya para calon itu akan mendatangi punden desa untuk meminta restu akan pencalonan mereka sebagai lurah desa. Setelah melakukan ritual tertentu di punden tersebut biasanya masing-masing calon akan mendapatkan isyarat yang berbeda-beda.

***
Beberapa pekan sebelum pencalonan lurah, para calon lurah maupun botohnya sibuk mencari dukungan, baik secara moril maupun spiritual. Ada yang mendatangi dukun-dukun sakti, ada yang mendatangi tempat-tempat keramat, menggelar istighosah pemenangan, hingga mencari syarengat yang sesuai petunjuk dari masing-masing tokoh spiritual.

Malam itu adalam malam Jumat Kliwon, tepat satu minggu sebelum digelarnya pemilihan lurah. Kang Mus bersama Kang Jo yang mendukung pencalonan salah satu calon lurah mendapat tugas untuk mencari tujuh sumber mata air dan segenggam tanah di satu dusun dekat punden desa. Dan pekerjaan itu jangan sampai diketahui oleh pendukung calon lainnya. Tensi persaingan pemilihan lurah kali ini memang terasa panas, sehingga para botoh perlu berhati-hati dalam bertindak.

“Kang Jo, nanti tepat tengah malam kita ke punden desa ya? ajak Kang Mus mengawali obrolannya di rumah Kang Jo. Rumah kang Jo memang berada di tepi desa dekat dengan punden, sehingga memudahkan mereka untuk melancarkan maksudnya.

“Iya, nanti siapkan botol wadah air, sebentar lagi kita berangkat, ini mendekati tengah malam, dan jangan lupa senternya sekalian kamu bawa” Jawab Kang Mus sambil melihat jam yang ada di atas dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu.

Saat jam dinding menunjukkan angka 12, dua botoh dari Kang Sogol itu keluar rumah. Mereka berdua berjalan menerobos jalan setapak, agar tidak diketahui oleh orang-orang yang mungkin belum tidur. Kang Mus dan Kang Jo berjalan beriringan dalam gelap, menuju punden desa yang berada di tengah sawah. Punden desa itu berupa sumur kecil di bawah pohon trembesi besar yang usianya mungkin sudah ratusan tahun, sumur kecil itu airnya tidak pernah kering. Orang-orang menyebutnya sebagai sumur Ngasinan.

Sesampainya di sumur itu, Kang Jo segera mengambil gayung sumur dari tempurung kelapa. Kang Jo menahan nafas kemudian menghentakkan kakinya ke tanah tiga kali, setelah itu merapal doa yang telah diajarkan oleh guru spiritual Kang Sogol, baru kemudian ia mengambil air dan memasukkannya ke wadah botol  yang dibawanya.

“Ayo kita berburu dengan waktu, Kang Jo, saya akan mengambil segenggem tanah di sini, setelah itu mari segera meninggalkan tempat ini, dan kita ambil air dari sumur-sumur penduduk di dusun sini”. Kata Kang Mus mengomando dirinya sendiri.

Setelah selesai dari sumur punden, mereka berdua bergegas kembali ke dusun. Dengan perlahan Kang Mus dan Kang Jo mengendap mencari sumurnya penduduk. Tak berlangsung lama, tugas yang diemban oleh kedua botoh itu selesai dengan tanpa meninggalkan masalah. Kemudian mereka berdua kembali ke rumah Kang Jo.

***
Di hari pemilihan orang-orang sama berbondong-bondong mendatangi TPS (Tempat Pemungutan Suara) yang ada di balai desa. Satu demi satu antrian masuk ke bilik suara. Beberapa Hansip desa mengatur masuknya antrian, agar tidak berdesak-desakan. Tiga calon lurah duduk di pendopo balai desa dengan latar belakang lambang gambar masing-masing. Padi, jagung,dan kelapa, tiga lambang gambar untuk pemilihan lurah di desa Bangilan.

Kang Sogol calon lurah dengan gambar padi telah datang di awal sebelum kedua calon datang. Bahkan matahari belum muncul Kang Sogol telah menduduki kursinya, Ia berharap kedatangan awalnya menjadi pertanda baik sebagai pemenang di pemilihan lurah. Kang Mukri datang paling akhir, karena atas petunjuk dukunnya ia disuruh berkeliling kampung dulu dengan tanpa memakai alas kaki, sebelum sampai ke balai desa, dengan harapan seluruh tempat yang ia lewati dan terkena telapak kakinya akan memilihnya menjadi lurah baru. Sedang Kang Amin, santai saja. Ia mempercayai bahwa Tuhan akan membela orang-orang baik. Di belakangnya ada Tuhan. Dia datang pukul tujuh, sebagaimana orang-orang berangkat untuk beraktivitas. Kang Amin tidak melakukan hal-hal yang aneh, dia seorang rasionalis dan terlalu baik untuk melakukan hal-hal yang diluar nalar.

Demokrasi memang sebuah misteri, walau kebenaran adalah milik mayoritas, namun mayoritas belum tentu memilih yang benar. Belum tentu orang baik akan dipilih sebagai lurah. Pimpinan dalam demokrasi tidak perlu orang baik, asal terpilih mayoritas ia punya legalitas menjadi pemimpin masyarakat. Entah bagaimana dulu asal muasal dan legenda tentang lahirnya demokrasi di negeri ini.

Dalam penelusuran jejak-jejak sejarah nenek moyang, zaman dahulu proses memilih pimpinan kelompok tidak menggunakan demokrasi. Entahlah mungkin demokrasi memang belumlah lahir. Hanya orang hebat, kuat, dan memiliki kecerdasan lebih yang akan dijadikan pimpinan, orang-orang pintar menyebutnya sebagai proses primus interpares. Semenjak demokrasi lahir yang entah kapan, hal itu sudah tidak berlaku kembali.

Hari telah siang, orang-orang masih berkerumun di dekat balai desa. Mereka menunggu hasil penghitungan suara. Setelah semua orang memberikan hak suaranya, penghitungan pun di mulai oleh pihak panitia. Pak Pandi yang bertugas membaca kertas suara meraih microfon, setelah lipatan kertas dibuka dan ditunjukkan ke khalayak, ia pun membaca kertas itu dengan suara keras, “Jagung, jagung, padi...” kemudian bagian saksi meneliti bekas coblosan di kertas suara dan menimpali suara pak Pandi dengan teriakan juga, “Sah”.

Penghitungan dilaksanakan hingga menjelang senja, para calon lurah masih juga duduk di kursinya, berharap dirinya yang mendapatkan suara terbanyak. Wajah ketiga calon lurah itu tampak lelah dan tegang, maklum seharian mereka duduk di sana.

Setelah penghitungan selesai panitia pun merekap data, dan pemenangnya ternyata adalah Kang Sogol, kemudian disusul suara dari Kang Mukri, dan itu terpaut sekitar ratusan suara.

“Keparat!!! Hai Tarmu, kau kemanakan uang-uangku? Mengapa orang-orang yang kau beli tidak memilih gambarku? Kang Mukri merah padam, ia murka karena uang yang dikucurkan untuk pemenangan dirinya ternyata tidak sampai ke penduduk, uang itu entah raib kemana. Para kerabat Kang Mukri menenangkannya, karena bagaimanapun pemilihan telah usai, dan ia harus menerima kekalahan yang menyakitkan itu.

Orang-orang di balai desa sama berteriak menyanjung nama Kang Sogol sebagai pemenang lurah desa Bangilan, “Sogol, Sogol, Sogol!” Pulung lurah desa Bangilan jatuh ke pangkuan Kang Sogol. Para pendukung Kang Sogol kemudian mengerumuninya, suasana histeria menyelimuti senja penghabisan di pendopo balai desa. Dengan berjalan kaki para pendukung Kang Sogol membobong lurah baru itu hingga ke rumahnya. Dan dipastikan malamnya akan ada pesta besar di rumah Kang Sogol. Seekor sapi besar telah disiapkan untuk menjamu orang-orang yang datang ke rumahnya.

Pak Mukri akhirnya hanya diam pasrah, ia pun pulang dengan langkah gontai dan menundukkan kepala. Ada beberapa orang yang mengikutinya, dipastikan itu bukan botoh-botoh dari Pak Mukri. Karena ternyata botoh-botohnya berkhianat. Uang yang dikucurkannya sejumlah ratusan juta ludes tanpa membawa hasil yang diharapkannya.  Sedang Pak Amin juga harus menerima dengan dada terbuka akan kekalahannya, kini ia mengerti bahwa demokrasi ternyata belum memberikan tempat kepada orang baik seperti dirinya. Budi baiknya kalah dengan suara “Tuhan”.

Di pojok balai desa di sebuah warung kopi, Kang Mus dan Kang Jo duduk dengan tenang sambil menyeruput kopi pengabisan di cangkirnya. Kretek yang di hisap juga hampir padam, tinggal tersisa beberapa hisapan. Mereka berdua kemudian bergegas meninggalkan warung kopi.



Selasa, 19 September 2017

Syahadatnya Saridin

Syahadatnya Saridin
Oleh : Joyo Juwoto

Saridin atau lebih dikenal sebagai Syekh Jangkung adalah murid dari Kanjeng Sunan Kudus dari Pati Jawa Tengah, Saridin tidak seperti santri-santri Sunan Kudus yang lainnya, ia termasuk orang yang memiliki keyakinan yang kuat, pemberani dan tanpa tedeng aling-aling dalam menjalankan keyakinannya, bahkan untuk hal-hal yang kelihatannya membahayakan sekalipun.

Ketika untuk pertama kalinya Sunan Kudus memperkenalkan ajaran Islam kepada para santri, Sunan Kudus mengajari dan menuntun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat. Saridin termasuk diantara orang yang baru mengikrarkan syahadat tauhid dan syahadat rasul di hadapan Sunan Kudus.

Tidak seperti santri-santri lain yang mengikuti ucapan kalimat syahadat yang diajarkan oleh Sunan Kudus, ketika giliran Saridin disuruh mengucapkan kalimat syahadat, ia justru berdiri dari tempat duduknya, kemudian Saridin mendekati pohon kelapa yang ada di halaman pesantren, selanjutnya Saridin naik ke atas pohon kelapa. Sesampai di atas dengan tanpa rasa takut Saridin menjatuhkan diri dari atas pohon. Wusss....semua santri yang melihat adegan itu terkejut, termasuk juga Sunan Kudus. Aneh bin ajaib, walau terjatuh dari atas pohon kelapa yang cukup tinggi Saridin tidak cidera, bahkan ia hanya senyum-senyum saja, seperti tidak terjadi apa-apa.

Kanjeng Sunan Kudus bertanya kepada Saridin. “Saridin, apa yang kamu lakukan itu?

“Saya sedang bersyahadat sebagaimana yang Kanjeng Sunan minta? Jawab Saridin enteng

            Kisah Saridin di atas bisa jadi benar bisa jadi hanya sebuah cerita kiasan saja, karena memang dalam khasanah masyarakat Jawa sering menggunakan kiasan dan pralambang untuk menyampaikan suatu hal. Namun yang pasti kisah Saridin di atas menjadi satu pelajaran penting bagi kita, bahwa jika seseorang telah bersyahadat maka tidak ada sesuatu yang membahayakan di dunia dan bagi kehidupan kita kecuali hanya Allah Swt, semata. Dengan pengakuan syahadat maka tidak ada yang kita takuti kecuali hanya takut kepada Allah Swt saja, sebagaimana syahadat yang dipraktekkan oleh Saridin di hadapan gurunya Sunan Kudus.

            Saya dan kita semua mungkin telah bersyahadat lisan secara terus menerus, dalam sehari semalam setidaknya sepuluh kali kita berikrar syahadat di dalam shalat kita, namun hati kita masih belum yakin dengan haqqul yakin akan syahadat yang kita lafalkan. Walau kita mengucapkan kalimat syahadat itu dengan tartil dan fasih namun nyatanya atsar dari syahadat yang kita ucapkan belum memiliki dampak yang berarti bagi kehidupan kita.

            Betapa lisan ini mengatakan bersaksi tidak ada Tuhan yang layak disembah kecuali Allah, “Laa ilaaha illallah” namun perbuatan yang kita lakukan sehari-hari secara hakiki, belum mencerminkan pengakuan itu, lain di hati lain dimulut. Ada banyak Tuhan yang kita sembah, ada banyak Allah yang bersemayam di dalam dada kita.

Tuhan itu bisa bernama harta, jabatan, popularitas, uang, atasan atau bos kita, perempuan, mobil mewah, rumah megah dan seabrek kepentingan duniawi lainnya. Betapa mudahnya lisan ini mengucapkan ‘Asyhadu an laa ilaaha illallah, tapi pada kenyataannya ‘Asyhadu kita untuk selain Allah Swt. ‘Asyhadu kita bukan lillah, tapi lighairillah.

Kalimat Syahadat adalah kalimat yang sangat mudah dan ringan diucapkan oleh lisan, tetapi pembenaran di dalam hati dan pengaplikasiannya di dalam amal perbuatan sungguh berat. Karena jika kita telah bersyahadat maka konsekuensinya adalah kita telah rela menerima segala aturan yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Jadi syahadat tidak hanya berhenti pada persaksian lisan semata, namun harus dibuktikan dengan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, ketika Rasulullah Saw, menawarkan dakwah kalimat syahadat ini kepada orang-orang Makkah, maka Abu Lahab dengan lantang menolaknya.

تبّا لَكَ سَائِرَ الْيَوْمِ, أَمَا دَعَوْتَناَ إِلاَّ لِهذاَ ؟
Artinya :“Sesungguhnya celaka kamu sepanjang hari ini, hanya untuk inikah kamu mengumpulkan kami ?.”

Karena Abu Lahab paham betul tentang makna dari syahadat, tidak cukup hanya diucapkan di lisan saja, namun harus diikuti dan dipertanggungjawabkan dengan tindakan amal perbuatan. Penolakan Abu Lahab terhadap kalimat syahadat ini ternyata tidak hanya menyinggung Nabi Muhammad, namun Allah pun tersinggung, sehingga laknat kepada Abu Lahab diabadikan oleh Allah di dalam Al Qur’an pada surat Al Lahab. Inilah pelajaran berharga bagi orang-orang yang menolak kalimat syahadat.

Bersyahadat berarti kita telah berikrar, kita telah bersumpah, berbaiat, dan kita telah mengikat tali perjanjian dengan Allah Swt secara langsung. Jika kita telah mengakui bahwa Al Ilah adalah Allah, maka apa yang kita harapkan, apa yang kita takuti, apa yang kita cintai hanya semata Allah saja, tidak yang lainnya.

Kita hari ini lebih khawatir dimusuhi manusia daripada dimusuhi Allah, kita lebih takut kekurangan harta benda daripada takut kepada Allah, kita lebih takut kehilangan jabatan dibanding takut kehilangan Allah Swt, sehingga dengan segala daya dan upaya harta kekayaan kita kumpulkan sebanyak-banyaknya, jabatan kita pertahankan sekuat-kuatnya, bahkan kadang sampai tidak memperhatikan lagi apakah harta dan jabatan itu didapat dengan cara yang halal ataupun haram.

Bahkan lebih kacau dan menyedihkan lagi ada orang-orang yang mengatakan begini “Hari gini mikir halal ataukah haram, yang haram saja susah dapatnya, apalagi yang halalnaudzubillah min dzalik.

Begitulah jika syahadat tidak dipahami dengan benar, sehingga syahadat hanya dianggap sebagai bunga di bibir saja, dan tidak memberikan dampak positif bagi kehidupan di dunia. Hari ini jabatan lebih banyak diperebutkan, popularitas, dan kemewahan menjadi incaran setiap manusia, mereka lupa dengan syahadat yang telah diucapkan, bahwa dengan syahadat seharusnya dunia tidak lebih berat dibanding sepasang sayap seekor lalat.

Dengan kalimat syahadat inilah seseorang mampu menanggung resiko kematian yang menyakitkan sekalipun, dengan kalimat ini pula seseorang mampu bertahan dari siksaan yang berat, dengan kalimat ini seseorang mampu dan berani meninggalkan segala kemewahan duniawi, bahkan dengan kalimat ini pula pintu-pintu surga akan terbuka.

Dalam banyak kisah shohabiyah diterangkan demi tegaknya kalimat syahadat ini Bilal bin Rabbah rela dipanggang diterik matahari padang pasir yang panas, demi dakwah kalimat tauhid ini pula, Mush’ab bin Umair rela kehilangan kemewahan dalam keluarganya, ia dikurung dan diboikot oleh keluarganya agar meninggalkan agama Rasul. Demi kokohnya kalimat syahadat ini keluarga Yasir menanggung beban siksa yang tak terperikan, seluruh keluarga mereka dibakar pada bara api yang menyala-nyala.

Bahkan Sumayyah, istri Yasir dibunuh secara kejam dengan ditusuk tombak pada bagian kehormatannya oleh Abu Jahal, hingga Sumayyah menemui kesyahidannya. Sampai-sampai Rasulullah Saw menghibur keluarga Yasir “Shabran Abal Yakhdzan, shabran ya Ahla Yaasirin, Fa Inna Mauidakum Al Jannah”  “Bersabarlah wahai Abu Yakhdzan,, bersabarlah wahai keluarga Yasir, sesungguhnya tempat kalian kelak di surga. Allahu Akbar.

Demi mempertahankan kalimat tauhid ini pula Saad bin Abi Waqqash sampai menghadapi aksi mogok yang dilakukan oleh ibunya sendiri. Hingga Saad yang sangat mencintai ibunya itu harus mengatakan sesuatu yang menggetarkan penduduk langit. “Wahai ibu demi Allah, seandainya ibu mempunyai 100 nyawa. Lalu satu persatu nyawa itu binasa. Aku tidak akan meninggalkan agama ini sedikitpun. Makanlah wahai ibu...jika ibu menginginkannya. Jika tidak, itu juga pilihan ibu.” Dari peristiwa ini, Allah Swt, menurunkan salah satu dari surat Al Qur’an, surat Luqman ayat 15 :

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Artinya : “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS: Luqman  Ayat: 15).

            Begitulah, betapa dahsyatnya efek kalimat syahadat yang telah diucapkan dan menyatu dengan jiwa dan raga seorang hamba yang meneguhkan keimanannya, hingga tidak ada sesuatupun di dunia ini yang mampu menghalang-halangi, bahkan kematian sekalipun. Hanya pahala dan surga yang menjadi balasan bagi orang-orang yang bersyahadat dengan sebenar-benar  syahadat.

            Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw bersabda :
مَنْ قَالَ لَا اِلهَ اِلّا الله خَالِصًا مُخْلِصًا دَخَلَ الْجَنَّةَ.
Artinya : “Barangsiapa mengucapkan ‘Laa ilaha illallah’ dengan ikhlas semata-mata karena Allah, maka dia masuk surga.”
           
            Hadits di atas menyatakan pengucapan kalimat syahadat harus dengan ikhlas semata-mata karena Allah, maka dia akan masuk surga. Ikhlas di sini bermakna ridha dengan segala ketentuan yang datang dari Allah Swt, baik berat maupun ringan, baik suka maupun tidak suka.

Jika Allah telah menjadi titik tolak dari segala tindakan dan perbuatan manusia yang bersyahadat, maka layak bagi seorang hamba untuk memegang ‘miftahul jannah Laa ilaha illallah’ kunci surga adalah kalimat persaksian tiada Tuhan selain Allah. Oleh karena itu mari berislam yang tidak sekedar di lisan namun juga menjadi sebuah keyakinan yang menghunjam di lubuk hati yang paling dalam.


Jumat, 15 September 2017

Musim Penghujan Di Rumah Nenek

Musim Penghujan Di Rumah Nenek
Oleh : Joyo Juwoto

Bulan Desember adalah libur awal semester pertama. Naila yang saat ini duduk di bangku sekolah Ibtidayiyah kelas satu juga libur.  Bulan Desember oleh orang Jawa disebut sebagai gedhe-gedhene sumber itu terasa dingin dan basah. Maklum hampir setiap hari hujan turun membasahi langit bulan Desember.

Mendung selalu menggantung dan menghiasi langit sepanjang waktu, kilat dan guntur menyambar bersautan, sebentar-bentar rintik hujan turun, sehingga alam tampak kelabu. Hawa dingin sangat terasa, apalagi jika angin bertiup kencang menerbangkan udara yang bercampur dengan uap air.

Di awal liburan itu, Naila pergi berlibur di rumah neneknya yang ada di kampung. Ia menginap di sana untuk beberapa hari. Di rumah neneknya inilah Naila biasa bermain dengan temennya, Agis, Windi, dan Indah. Tidak ketinggalan Nafa adiknya Naila juga ikut menikmati liburan di kampung sang Nenek.

Pagi-pagi sekali Naila dan teman-temannya bangun, setelah menjalanankan sholat shubuh di langgar dekat rumah nenek, Naila dan temen-temennya berencana bermain masak-masakan di pekarangan belakang rumah. Namun sayang sekali pagi itu hujan turun dengan derasnya.

“Ya! gak jadi bermain donk kita! hujannya deras sekali Nel? kata Agis sambil menutupi tubuhnya dari udara dingin.

“Iya, semoga hujannya segera reda, ya Gis? Sambung Windi yang duduk bersebelahan dengan Agis.

“Sepagi ini sudah hujan, kalau nanti bermain pasar-pasaran kan becek tanahnya, gak asik deh! Seru Naila.

Nafa hanya terdiam, dia sibuk bermain air hujan yang menetes dari tritisan di emperan rumah neneknya. Tangannya sibuk mewadahi air yang jatuh dari atas genteng rumah.

“Kita main hujan-hujanan saja yuk! Kata Nafa sambil terus bermain air hujan.

“Gak mau ah, dingin” Seru Windi.

“Tapi kan asik, bermain air, lihat ini” balas Nafa sambil terus menadongi air dengan kedua telapak tangannya. Sesekali ia mengibaskan tangannya menghalau air yang deras mengalir dari atas genting.

“Iya Win, ayo kita main hujan-hujanan di belakang rumah, nanti kita main slurutan di tebing sungai” Ajak Agis penuh semangat.

Agis memang paling suka bermain slurutan di tanah yang berlumpur, ia suka melihat para peselancar di televisi, dan ia ingin bermaian selancar seperti itu. “Bagaimana Nel, ayuk kita bermain lumpur di tepi sungai! Ajak Agis.

“Aku sich ok saja, yang penting kita heppy walau hujan turun di pagi hari” Jawab Naila.

“Ayo! Siapp” Kata keempat anak tersebut hampir bersamaan penuh semangat.

Windi yang tadinya ogah-ogahan pun akhirnya ikut bersemangat bermain selancar di atas lumpur di tebing sungai di belakang rumah nenek Naila.

Hujan belum reda, keempat anak itu segera beranjak ke belakang rumah. Seperti tidak merasakan dinginnya pagi, di bawah guyuran hujan yang deras mereka bermain dengan ceria. Berlari, berjatuhan di tanah, saling melempar tanah basah, hingga tubuh mereka belepotan lumpur, mereka juga bermain slurutan di tebing sungai, setelah puas mereka pun membersihkan diri di sungai kemudian pulang ke rumah nenek dengan wajah senang.