Jumat, 28 Juli 2017

Mahabbatullah

Google
Mahabbatullah
Oleh : Joyo Juwoto*

Mahabbatullah atau mencintai Allah, adalah kecenderungan hati seorang hamba untuk cinta kepada Allah Swt.  Mahabbatullah ini menjadi salah satu jalan yang dipakai oleh para pencari Tuhan untuk berma’rifat kepada-Nya. Di dalam Al Qur’an sendiri, konsep  mahabbatullah ini banyak  tersebar di dalam berbagai ayat. Diantaranya adalah :

1.      Dalam surat Al-Maidah ayat 54, “Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya”.

2.      Dalam surat Ali Imron ayat 31, “Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

3.      Dan surat Al Baqarah ayat 165, “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah”.

Selain itu banyak sekali ulama-ulama yang mengkaji dan menginterpretasikan konsep mahabbatullah ini di dalam kegiatan ubudiyyahnya sehari-hari. Sehingga konsep mahabbatullah ini bukanlah sesuatu yang asing di dalam perjalanan sejarah peradaban umat Islam. Di dalam Kitab Risalah Qusyairiyah dinyatakan bahwa :

“Adapun mahabbah (cinta)  seorang hamba kepada Allah adalah suatu keadaan di mana si hamba mendapatkan /merasakan cinta itu dari hatinya suatu perasaan  yang amat halus, sulit sekali untuk digambarkan.”

Begitulah penggambaran mahabbatullah, baik dari ajaran Al Qur’an maupun dari pemaparan para ulama, di mana seorang hamba akan merasakan cinta yang sangat kepada Tuhannya, cinta yang hanya dapat dirasakan namun sulit untuk digambarkan dengan rangkaian kata-kata yang indah sekalipun.

Di dalam perjalanan perjalanan spiritual para sufi, kita mengenal seorang tokoh sufi perempuan bernama Rabi’ah Al Adawiyah, yang hidup sekitar tahun 95 M di kota Basrah. Rabi’ah ini memasukkan unsur mahabbatullah dalam kehidupan asketisnya. Menurut Rabi’ah maqam mahabbatullah adalah puncak tasawuf tertinggi, melebihi maqam lainnya, seperti maqam Khawf (rasa takut) dan maqam ar-Raja’ (pengharapan). Begitu juga dengan ulama-ulama lain seperti Muhyiddin Ibn’ Arabi yang menyatakan bahwa cinta adalah stasiun tertinggi jiwa untuk menuju Tuhannya.

Ibn al-Faridh yang mendapat julukan sebagai raja para pecinta (Al-Asyiqin) yang hidup sekitar tahun 576 H, dalam satu syairnya mengatakan : “Siapa yang tak mati karena cinta kepada Allah, tidaklah dia hidup bersama-Nya”. Oleh karena itu konsep cinta Ibn al-Faridh adalah fana’ fillah dalam mengarungi samudera kehidupan ini, seorang yang fana’ tidak akan terpengaruh dengan pesona dan daya tarik kehidupan duniawi yang melenakan.

            Cinta kepada Allah atau mahabbatullah inilah yang akan menghantarkan perjalanan suluk seorang hamba menuju Tuhannya, cinta yang suci dan murni inilah yang akan menjadi jalan penyaksian kesatuan hamba dengan Tuhannya, atau dalam khasanah sufisme Jawa dikenal sebagai term Manunggaling Kawula Gusti.

*Joyo Juwoto, Santri Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban. Diantara buku yang ditulisnya adalah: Jejak Sang Rasul (2016); Secercah Cahaya Hikmah (2016), Dalang Kentrung Terakhir (2017,) dan menulis beberapa buku antologi bersama Sahabat Pena Nusantara dan beberapa komunitas literasi lainnya.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar