Minggu, 07 Mei 2017

Cerita Dari Desa

Cerita Dari Desa
Oleh : Joyo Juwoto

Persawahan, ladang, padang rumput dan hutan-hutan menjadi bagian tak terpisahkan dari tempatku tinggal. Sebuah desa kecil yang hijau dan penuh dengan kedamaian, terletak di ujung barat kota kecamatan Bangilan, jauh dari segala hiruk pikuk dan glamournya kehidupan modern. Di desa itulah segala cerita dan kenangan mengabadi sepanjang waktu. Tak lapuk oleh waktu, tak lekang oleh zaman. Kenangan kadang mampu menjadi mata air yang menyejukkan bagi jiwa yang kadang dirundung murung dan kesepian-kesepian panjang di tengah sahara kehidupan yang kering kerontang.
          Di desa antara persawahan dan kampung tempat tinggal penduduknya, dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Sungai itu tidak mengalir sepanjang waktu, hanya di musim hujan saja sungai itu airnya melimpah, sedang jika musim kemarau, sungainya mengalir kecil, namun ada banyak kedung-kedung yang menjadi sumber simpanan air yang cukup melimpah.
“Ayo mandi ke sungai ! ajakku kepada beberapa  temanku yang masih berkerudung sarung. Dinginnya malam masih tersisa, sehingga memaksa kami untuk merapatkan kain sarung. Kami baru saja pulang dari langgar. Sudah menjadi kebiasaan anak laki-laki di kampung, tidur di langgar pada malam hari, esoknya kami pulang ke rumah.
“Ayo, mumpung sekolah nanti liburkan ? kita bisa bermain sepuasnya di sungai” Sambut Temon, teman kami yang paling kecil. Temon paling suka jika diajak mandi ke sungai, karena ia jago berenang, di sekolahnya, Temon adalah juara tingkat kecamatan lomba renang dalam rangka hari Agustusan.
Kami bertiga kemudian menuju sungai di pinggiran kampung, sedang dua orang temanku yang lain langsung pulang ke rumah. Sesampai di sungai, Temon langsung terjun ke kedung, ia melompat dari tebing yang paling tinggi di tepi sungai, gerakannya indah, bersalto kemudian meluncur ke bawah. Byurr...tubuh mungilnya lenyap di dalam air, kemudian sepersekian menit ia muncul sambil tertawa-tawa. Dengan penuh riang gembira Temon berenang ke sana kemari.
Saya dan Hari masih di pinggiran sungai, kami berdua memang lebih suka bermain pasir. Saya dan Hari membuat bola-bola dari pasir, bola itu nantinya akan kami adu, milik siapa yang terkuat adalah yang tidak pecah jika kami lempar dengan posisi horizontal dari atas ke bawah.
Sungai di kampung kami ini memang menjadi ibu kedua bagi anak-anak, karena di tempat itulah kami biasa bercengkrama, bermain dan bermanja menghabiskan waktu pagi dan sore hari.
          Dari kebeningan air di kedung-kedungnya, kami mandi dan mencuci pakaian, pasir-pasirnya yang lembut  nan hangat di pagi dan sore hari memeluk tubuh-tubuh anak-anak yang bermain di hamparannya yang luas, dari belik-beliknya yang jernih juga biasa dikonsumsi untuk air minum, bagi ternak-ternak juga manusianya. Sebelum masyarakat mempunyai sumur-sumur yang di gali di pelataran rumah mereka.
“Nanti kita menggembala di pinggiran hutan yuk,” Ajak Temon, kami hanya mengangguk. Karena memang selepas bermain dan mandi di sungai, biasanya saya akan membantu bapak mencarikan rumput untuk kedua sapi yang dipelihara bapak sejak beliau belum berumah tangga, namun saya lebih suka menggembala sapi. Karena kami bisa bermain sambil menggembala hingga sore hari. Dan ini adalah aktivitas yang sangat menggembirakan bagi kami, anak-anak kampung.
Siang panas menyengat, saya, Temon dan Hari bersama menggiring sapi-sapi ke pinggiran hutan, diujung kampung. Sangat menyenangkan, di tepi hutan bersama teman-teman mbakar jagung, singkong ataupun telo. Sambil menunggu sapi yang merumput, kami makan bersama, bercanda, bercerita, dengan penuh keakraban. Untuk minum biasanya kami bawa sebotol air dari rumah, kalau tidak begitu kami pun tidak perlu susah. Di tepi hutan banyak tersimpan sumber air atau belik yang bisa kami minum tanpa perlu memasakknya terlebih dahulu. Atau lebih ekstrim lagi kami juga biasa minum dari leng yuyu dengan sedotan dari papah pohon pepaya, yang banyak tumbuh di tegalan.
Jika kami dapat belalang atau manuk emprit, biasanya kami bakar dengan bara api yang kami buat dengan kotoran sapi kering, atau kalau tidak begitu, biasanya kami bawa umplung wadah cat ukuran sedang. Umplung itu kedua sisinya kami beri tali dari kawat biar bisa  dicangking kemana-mana.  Umplung yang telah kami lubangi sisi-sisinya itu kami isi dengan kayu atau arang, kemudian kami nyalakan sebagai tungku untuk membakar binatang buruan tadi.
Selain berfungsi sebagai tungku, umplung itu juga kami pakai untuk mengasapi sapi agar terhindar dari gigitan nyamuk, lalat, dan pela-pelu. Biasanya tungku umplung itu kami bawa jika kami menggembala seharian mulai dari pagi hingga sore hari. Selain itu juga kami pakai untuk penghangat badan  saat menggembala di musim bediding.
Rutinitas menggembala pada musim kemarau lebih sering saya lakukan daripada musim penghujan, karena di musim kemarau untuk mencari rumput susah, sehingga lebih baik sapinya dilepas di padang gembala saja. Jika di musim hujan saya agak jarang membawa sapi-sapi itu ke padang rumput, karena selain banyak rumput yang bisa di sabit untuk makanan sapi, biasanya di musim penghujan sapi-sapi itu dipakai oleh bapak untuk menggarap lahan sawah dan ladangnya.
Menjelang senja, kami menggiring sapi-sapi pulang ke kandang, biasanya setiba di sungai sapi-sapi akan berebut minum di sungai, sambil sekalian mandi di kedung, agar setiba di rumah sapi dalam keadaan bersih dan segar. Sambil menunggu sapi-sapi mandi, Temon dan Hari ikut mandi, mereka berdua menaiki punggung sapi yang berenang di kedung. Saya sendiri memilih menunggu di pinggiran tebing, sambil sesekali meniup seruling bambu. Alunannya menggema menyusuri tebing dan lembah sungai, berbaur dengan desau angin senja bertiup sepoi-sepoi, membelai daun-daun bambu di pinggiran sungai.
Semburat senja berwarna jingga di langit barat bercerita, tentang keindahan alam desaku yang mempesona, dan sebentar lagi malam akan tiba. Saatnya kami pulang membawa sapi-sapi ke kandang. Usai mandi dari Sungai kami bertiga pulang ke rumah masing-masing, dan nanti malam akan bertemu kembali di langgar.
“Temon, Hari... nanti malam saya kayaknya tidak tidur langgar, kakek sakit, tadi saya disuruh menemani beliau” pamit saya kepada kedua temanku, saat kami berpisah di persimpangan jalan.
“Wah...gak asyik, kalau kamu gak datang ! nanti kan pas bulan purnama, kita bisa main sepuasnya di pelataran langgar” jawab Hari
“Tapi ya gak apalah, kasian kakekmu di rumah sendiri, temani kakekmu saja” sambung Temon. Kemudian kami pun berpisah menuju rumah masing-masing.
          Waktu itu listrik dari PLN belumlah ada, Masyarakat lebih banyak menggunakan lampu umpling  untuk menerangi rumahnya di malam hari, lampu itu dibuat dari botol bekas sirup yang diisi minyak tanah, kemudian dipasang sumbu dari kain bekas. Jika dinyalakan maka apinya menyala merah dengan kepulan asap hitam memenuhi ruangan rumah. Hingga dinding-dinding rumah kami yang terbuat dari anyaman bambu, berwarna hitam legam. Sedang penduduk yang terbilang berpunya menggunakan lampu teplok atau lampu petromax yang memakai semprong dari kaca, yang dibeli dari pasar kecamatan, itu pun tidak sepanjang malam dinyalakan.
          Purnama sidi adalah waktu yang banyak ditunggu oleh anak-anak kampung, juga para orang tua kami, di mana saat itu rembulan sedang bundar-bundarnya. Di setiap pertengahan bulan, khususnya di musim tidak turun hujan, kampung kami berpesta ria bermandikan cahaya purnama.
Anak-anak akan bermain beraneka macam permainan tradisional, ada yang main engklek, betengan, jamuran, obak sodor, sedang para orang tua akan menggelar tikar pandan di halaman rumah, berkumpul bersama keluarga lainnya, menembangkan kidung-kidung macapat, saling bercerita tentang apa saja, tentang tempat angker, hantu dan gendruwo, juga tentang kisah Damar Wulan, Ande-Ande Lumut, tentang tanaman jagung dan ketela di tepi hutan yang dirusak celeng-celeng, tentang sapi-sapi, dan kadang pula tentang si A si B dan si C.
Di bawah cahaya keemasan purnama, kampung kami bergembira menikmati malam-malam bersama penuh canda dan ceria. Hingga lingsir wengi tiba, dan rembulan pucat untuk istirahat. Orang-orang pun pulang keperaduan.
           Jika bulan telah mati, penduduk kampung lebih banyak menghabiskan malam-malam di dalam rumah, mereka hanya akan keluar jika  ada hajat yang penting-penting saja, selebihnya hanya anak-anak yang kadang masih bermain di luar rumah.
Di musim kemarau, anak-anak kampung biasanya mencari Jangkrik di ladang ketela atau tanaman lombok, jangkrik-jangkrik itu akan diadu, siapa yang punya jangkrik terkuat namanya akan masyhur seantero kampung. Biasanya jangkrik terkuat diambil dari tempat-tempat angker, yang tidak semua anak berani mengambilnya. Seperti di punden desa, di kuburan yang angker, atau di tempat-tempat keramat. Kalau tidak begitu kami akan mencari jangkrik yang membuat leng (lubang) di galengan ladang,kami menyebutnya sebagai jangkrik jegol galeng (Jangkrik penjebol pematang). Jangkrik ini juga tergolong petarung yang hebat walau tentu tak sehebat jangkrik dari tempat yang keramat tadi.
Jangkrik-jangkrik hasil berburu yang akan kami adu kebanyakan punya nama atau julukan, jika jangkriknya berwarna hitam, kami menyebutnya jlithengan, jika berwarna kemerahan kami menyebutnya jabrangan, menyesuaikan dengan warnanya.
Temanku yang jago ngadu jangkrik adalah Karsono, dia adalah botoh yang baik bagi jangkrik-jangkriknya. Oleh karena itu kadang Karsono di bon dalam kompetisi adu jangkrik antar kampung. Dijamin jika jangkrik di bawah asuhan Karsono, ketika diikutkan pertandingan pasti menang. Entah dia punya mantra apa, sehingga jangkrik yang dikileni karsono menjadi sangat beringas dalam melibas lawan-lawannya.
Selain berburu jangkrik, anak-anak juga suka berburu kunang-kunang, biasanya kunang-kunang itu kami kumpulkan dan kami wadahi botol bekas air minum atau plastik bening, cahaya dari kumpulan kunang-kunang seperti bola lampu listrik lima watt, atau kadang pergi ke tepi hutan mencari burung-burung liar. Jika musim penghujan biasanya mencari belut di lumpur-lumpur persawahan.
Malam itu saya tidak pergi ke langgar, saya telah pamit untuk tidak mengikuti ritual purnama di langgar. Saya harus menemani kakek saya yang sedang sakit. Maka setelah shalat magrib di rumah, saya pergi ke rumah kakek yang berada di ujung kampung di seberang sungai, di bawah rumpun bambu. Gremicik airnya sangat sahdu, apalagi di malam hari yang sunyi, suara itu seperti mengantarkan jiwa ke alam yang hening, membasuh jiwa memurnikan pikiran dan hati.
Rumah kakek saya memang terpencil, walau tidak terlalu kauh dari perkampungan, Rumah kakek berada diantara ladang penduduk. Semenjak nenek meninggal dunia, kakek hidup sebatang kara. Beliau tidak mau tinggal bersama kami, tidak ingin merepotkan, katanya. Walau demikian saya sering kesana, baik untuk bermain ataupun saat saya mencari rumput di pinggiran sungai dekat tempat tinggal kakek.
“Assalamu’alaikum, Kek ! Sambil mendorong pintu, saya pun masuk, karena pintu rumah kakek memang tidak pernah dikunci, tepatnya tidak memakai piranti kunci segala.
“Wa’alaikum salam, e ! Angger Cucuku, Kakek di sini, sini kemari ! sahut kakek yang ternyata tidak di dalam rumah, beliau sedang duduk di amben di samping rumah di bawah pohon beringin. Saya pun keluar mendekati Kakek yang sedang asyik menghisap klobotnya. Asap putih mengepul keluar dari sela-sela bibirnya yang menghitam dan keriput.
“Katanya kakek sakit ? tanyaku sambil duduk di dekat beliau.
Ah, tidak, Cuma capek saja, Kakek minta pijit ya ? sambil mendelosorkan kedua kakinya, beliau meminta agar saya memijitnya. Dengan perlahan saya pun menggerakkan kedua tangan saya memijit kaki kakek. Saya paling suka jika disuruh memijit, karena biasanya beliau akan banyak bercerita tentang apa saja, cerita wayang yang paling saya suka. Kakek sering bercerita tentang Mahabarata. Menurut beliau wayang adalah gambaran dari kehidupan yang sebenarnya, tentang pertarungan kebaikan melawan kejahatan, dan tentu ceritanya selalu dimenangkan oleh pihak Pandawa.
Kali ini kakek banyak diam, beliau hanya sesekali menghisap klobotnya yang hampir habis. nafasnya terasa agak berat, mungkin benar beliau sedang sakit, atau mungkin juga kecapekan setelah seharian penuh mengurus ladang di samping rumah.
“Kek, kok diam saja, biasanya jika tak pijiti, kakek cerita, ayolah kek cerita seperti biasanya, tentang Werkudara atau tentang Janaka !” pintaku sambil terus memijit kaki Kakek.
Kakek hanya diam, suara gremicik air dari sungai terdengar berirama, syahdu membentuk melodi semesta. Tidak seperti biasanya, kali ini saya seakan tersihir oleh gremicik suara air, ada semacam misteri yang susah untuk dijelaskan.  Seakan-akam alam sedang berbisik dan menyapa di kedalaman relung hati.
“Kampung tanah kelahiran derajadnya sama dengan ibu kandungmu, Cucuku, maka peliharalah jangan engkau merusaknya” kata kakek pelan, namun seakan suara itu berdegup di jantungku sendiri.
“Engkau minum dari kejernihan airnya, engkau makan dari hasil buminya, engkau menghirup udaranya, engkau tumbuh berkembang di atas bumi pertiwi ini, maka jagalah dan berbaktilah sebagaimana engkau diwajibkan oleh Tuhan, untuk berbakti kepada ibumu sendiri”
“Pada saatnya nanti, engkau juga akan kembali ke dalam pelukan bumi, ibu pertiwi” Lanjut kakek.

Saya hanya terdiam, sambil merenungi apa yang selama ini telah saya lakukan. Terbayang saat saya mengambil anak burung dari sarangnya di tepi hutan, terbayang saat saya mengadu jangkrik bersama Karsono, Temon, Hari, terbayang pula saat saya memerangkap kunang-kunang di dalam botol bekas air minum dan plastik. Saya jadi sedih, membayangkan itu semua. Dan saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar