Selasa, 04 April 2017

Kartini dan Gerakan Literasi Kaum Perempuan

Kartini dan Gerakan Literasi Kaum Perempuan
Oleh : Joyojuwoto

Bulan April adalah Kartini, dan Kartini bisa bermakna beragam, mulai dari lomba memasak, memakai sanggul, berkebaya, memakai jarit, dan berbagai hal yang berkenaan dengan kaum perempuan Jawa. Semua perayaan-perayaan dalam rangka memperingati hari Kartini yang saya sebutkan di depan tentu tidak ada salah, namun tentu kita tidak ingin peringatan hari Kartini yang kita klaim sebagai hari emansipasi kaum perempuan hanya berhenti pada tataran seremonial berdandan dan berpakaian seperti Kartini semata.

Ada makna lebih yang perlu kita kembangkan dari sekedar trend kartinian di negeri ini dengan segala pernak-perniknya. Kita harus memandang Kartini utuh sebagai pribadi wanita Jawa, sekaligus juga memandang Kartini sebagai seorang yang mempunyai tekad dan semangat yang kuat untuk mengubah nasib perempuan. Saya tekankan kembali, bahwa Kartini adalah sosok yang berani menentang ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang telah diwariskan secara turun temurun dalam tata hirarki kehidupan masyarakat Jawa kala itu.

Jadi jangan sampai kita memandang Kartini hanya dari sanggul dan kondenya, jangan hanya melihat Kartini dari jarit dan kebaya yang dipakainya, jangan hanya menilai Kartini dari sampul luarnya saja, kita harus mulai masuk ke dalam, melihat jatidiri dan apa yang menjadi cita-cita besar dari Putri R. M. Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara ini. Coba sekarang kita mulai membuka cakrawala berfikir kita, mari dengan arif kembali membuka lembaran ke masa di mana Kartini hidup.

Kartini adalah seorang anak perempuan, di masa itu nasib kaum perempuan terkungkung oleh adat, begitu pula dengan Kartini. Ia walaupun anak seorang Bupati, nasibnya tidak begitu jauh dari perempuan-perempuan kebanyakan. Perempuan menjadi kanca wingking, menjadi subordinasi bagi kaum laki-laki. Kartini sadar betul, ia tidak memiliki apa-apa untuk melawan ketertindasan kaumnya. Namun Kartini harus melawan arus besar dan membebaskan kaumnya dari perbudakan yang dibungkus atas nama adat.

Menurut apa yang ditulis olehPram, dalam “Panggil Aku Kartini Saja”, bahwa Kartini tidak memiliki masa, tidak memiliki uang, Kartini hanya memiliki kepekaan dan keprihatinan dan ia tulislah segala-gala perasaannya yang tertekan itu. Iya, ketika Kartini dalam ketidakberdayaan yang dilakukan adalah menulis, dan tulisannya inilah yang akhirnya menjadi peluru yang menerjang tembok dinding penghalang kemajuan kaumnya.

Sebagaimana yang diucapkan oleh Sayyid Qutub bahwa, satu tulisan ibarat peluru yang mampu menembus ribuan bahkan jutaan kepala. Inilah yang dilakukan oleh Kartini, ia menulis dan menulis, sehingga tulisannya mampu melambungkan namanya dan berguna bagi nasib kaumnya dan bagi masa depan bangsanya. Jadi jika kita tidak punya senjata apapun untuk mengubah dunia, maka gunakanlah ujung pena untuk mengubahnya.

Menulis adalah tugas sosial, sebagaimana tugas-tugas lain dalam membentuk dan mengembangkan peradaban umat manusia, sehingga tak ada kata berhenti untuk menulis. Jeda boleh, berhenti jangan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Stephen Leigh, “You may be able to take abreak from writing, but You won’t to be able to take a break from being a writer.” (Anda boleh jeda dari menulis, namun jangan pernah berfikir untuk berhenti sebagai penulis).

Kartini banyak menulis karya sastra, puisi, prosa, dan surat-surat. Sayang tidak semua karya Kartini terbukukan dengan baik, banyak karya tulis Kartini yang hilang. Walau demikian masih ada pula yang terselamatkan hingga sampai kepada kita. Dari karya-karya Kartini inilah yang akhirnya menjadikan ia sebagai icon gerakan emansipasi kaum wanita. Bukan karena sanggul dan kondenya, bukan karena jarit dan kebayanya.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Pram, “Menulis adalah bekerja untuk keabadian,” Kartini menulis dan mengabadi bersama karyanya “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Sehingga jika dilihat dari kiprah Kartini dalam menulis, saya ingin memberikan julukan baru bagi Kartini, yaitu sebagai Pahlawan Literasi Kaum Perempuan.

 Menjadi perempuan adalah keniscayaan, dan menulis adalah sebuah pilihan. Wahai Perempuan, mari memperingati hari Kartini dengan semangat gerakan berliterasi. Salam Kartini, salam literasi untuk Indonesia yang berperadaban.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar