Jumat, 31 Maret 2017

Janji Nabi, "Kebangkitan Islam Datang Dari Bumi Indonesia"

Janji Nabi, "Kebangkitan Islam Datang Dari Bumi Indonesia"
Oleh : Joyojuwoto*

Kehidupan terus berputar dan bergilir, bagai roda yang terus berputar saling bergantian, ada siang ada malam, ada atas ada bawah, ada kemenangan dan ada pula kekalahan, begitulah Allah Swt, mempergilirkan kehidupan manusia, Wa Tilkal Ayyaamu Nudaawiluha Bainannas, dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu kami pergilirkan diantara manusia. Begitulah sunnatullah, bahwa kehidupan akan mengalami pasang surut, tidak terkecuali agama Islam sendiri dengan peradabannya juga akan mengalami masa pasang dan surut.

Pada awalnya Islam terlahir dari bumi Makkah, selanjutnya berkembang pesat di Madinah, dan dilanjutkan perkembangannya pada masa Khulafaur rasyidin menguasai tidak hanya jazirah arabia, namun meluas hingga Mesir, Persia, Syam, hingga Afrika. Setelah itu dilanjutkan kekuasaan Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, dinasti Ayyubiyah, Fatimiyyah, kemudian di Spanyol kala itu juga berdiri kekuasaan Islam Cordova, Andalusia, dilanjut Turki Usmani hingga akhirnya kekuasaan Islam runtuh. Begitulah sunnatullah akan dipergilirkan, kejayaan dan kehancuran diantara peradaban manusia pasti terjadi.

Setelah umat Islam mengalami kemunduran nanti pada saatnya roda kehidupan akan membawa umat Islam di puncak kejayaan kembali. Karena dalam sebuah hadits Rasulullah Saw pernah mengatakan bahwa kekuasaan Islam akan berkembang dari bumi timur hingga bumi barat, sebagaimana yang beliau lihat. Dalam sebuah hadits yang panjang Rasulullah Saw, bersabda yang artinya :

“Dari Tsauban ia berkata, Rasulullah saw bersabda: “ Sesungguhnya Allah telah melipat bumi untukku, maka aku bisa melihat ujung timur bumi dan ujung baratnya. Dan sesungguhnya kekuasaan umatku akan mencapai apa yang dilipat untukku (seluruh muka bumi, sejak ujung timur hingga ujung barat). Aku juga dikaruniai dua perbendaharaan (kekayaan), yaitu perbendaharaan merah dan perbendaharaan putih. Sungguh aku telah memohon pada Rabbku, agar umatku tidak dibinasakan semuanya dengan paceklik yang merata, juga tidak dengan musuh dari selain bangsa mereka yang merampas wilayah mereka. Maka Rabbku berfirman kepadaku: “Wahai Muhammad! Jika aku menetapkan sebuah ketetapan, niscaya tidak ada seorang pun yang bisa menolaknya. Aku telah menetapkan umatmu tidak akan binasa karena paceklik yang merata. Juga, umatmu tidak akan binasa karena dikalahkan oleh musuh dari selain bangsa mereka, yang menjajah wilayah mereka. Sekalipun musuh dari seluruh penjuru dunia bersatu untuk menghancurkan umatmu, (niscaya umatmu tidak akan hancur). Akan tetapi, umatku akan hancur lewat peperangan sebagian mereka dengan sebagian yang lain dan sebagian mereka melawan sebagian yang lain.”

Dari hadits ini ulama beberapa ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud perbendaharaan merah adalah kekayaan bangsa Romawi sedangkan perbendaharaan putih adalah harta kekayaan Persia. Ketika melihat perkembangan perjalanan sejarah dua imperium yang pernah berjaya itu akhirnya memang runtuh dan dapat dikuasai oleh umat Islam. Penafsiran ini yang kemungkinan dipakai oleh para ulama dalam menafsirkan perbendaharaan merah dan putih.

Dalam sebuah mauidhohnya, tanpa mengurangi takdzim dan hormat terhadap penafsiran para ulama terdahulu, Gus Rom, Mursyid Tarekat Akmaliyyah mengatakan, dalam sebuah perenungannya, bahwa yang dimaksud perbendaharaan merah dan putih tidak lain adalah bumi Nusantara, Indonesia tercinta ini (wAllahu a’lamu bisshowab). Sejak zaman dahulu simbol merah putih telah dipakai oleh masyarakat Nusantara. Majapahit benderanya adalah gula kelapa, merah dan putih. Kerajaan Sriwijaya juga menggunakan simbol merah-putih, Kerajaan Kediri, Prabu Joyoboyo juga menggunakan simbol abang-putih. Bahkan jauh sebelum itu masyarakat nusantara dalam berbagai sumber juga telah memakai simbol Getih-Getah, getih darah merah dan getah darah putih.

Simbol merah-putih ini telah menjadi lambang dari Nusantara sejak zaman dahulu kala, sehingga bunyi hadits Nabi yang mengatakan perbendaharaan merah dan putih di atas sesuai dengan apa yang menjadi keyakinan masyarakat Nusantara bahwa merah dan putih adalah jiwa dan jatidiri bangsa Indonesia.

Perbendaharaan merah dan putih sebagaimana yang disebut oleh Rasulullah Saw, itulah yang kelak menjadi perbendaharaan bagi kebangkitan dan kemajuan peradaban umat Islam di seluruh penjuru dunia, dari bumi barat hingga bumi timur, akan dimulai dari bumi merah-putih Nusantara sebagaimana hadits Nabi di atas.

Oleh karena itu ayo umat Islam Indonesia, mari bersatu menyongsong kebangkitan umat, hindari saling berpecah belah diantara umat Islam, karena kita adalah satu. Persiapkan diri anda dengan memperbanyak beramal sholeh, mengistiqomahkan dzikir, dan selalu berfikir bagi kebangkitan kembali umat Islam. Karena kebangkitan itu dimulai dari bumi di mana kita pijak ini, Bumi Merah Putih. Insyallah. Aamiin.


*Joyo Juwoto, Santri Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban, Penulis aktif diwww.4bangilan.blogspot.com. Saat ini telah menulis dua buku solo, Jejak Sang Rasul; Secercah Cahaya Hikmah dan menulis beberapa buku antologi. Silaturrahmi via Whatshap 085258611993 atau email di joyojuwoto@gmail.com.

Kamis, 30 Maret 2017

Kearifan Tembang Mijil Dalam Menyelesaikan Konflik Kehidupan

Kearifan Tembang Mijil Dalam Menyelesaikan Konflik Kehidupan
Oleh : Joyo Juwoto*

Dedalane Guna Lawan Sekti 
Kudu Andap Asor
Wani Ngalah Luhur Wekasane 
Tumungkulo Yen Dipun Dukani
Bapang Den Simpangi
Ana Catur Mungkur

 (Tembang Mijil)


Tembang di atas adalah salah satu wujud kearifan budaya lokal masyarakat Jawa yang adiluhung. Menurut riwayat tembang Mijil ini diciptakan oleh Walisongo dalam rangka untuk berdakwah kepada masyarakat Jawa dengan pendekatan sosiokultural. Tidak heran jika dakwah walisongo diterima dengan baik oleh masyarakat kala itu, karena dakwah yang dilakukan dengan penuh hikmah dan teladan yang baik. Merangkul bukan memukul, mengajak bukan menginjak, dan dengan penuh kelembutan dan akhlaq yang baik tentunya.

          Selain enak ditembangkan, tembang Mijil ini juga memiliki banyak hikmah dan pelajaran yang bisa kita petik untuk kehidupan kita sehari-hari, agar kehidupan yang kita jalani di tengah-tengah masyarakat penuh manfaat dan keberkahan baik secara lahir maupun batin.

          Tembang Mijil di atas hakekatnya mengajarkan banyak kearifan dalam menyelesaikan berbagai macam konflik dan problematika kehidupan. Namun sayang di era sekarang, generasi kita sudah enggan mempelajari tembang-tembang warisan budaya nenek moyang, sehingga tidak aneh jika generasi anak muda hari ini, jarang sekali yang mampu menggali dan menafsirkan makna dari tembang tersebut di atas.

          Berikut akan saya kupas sedikit mengenai isi dari tembang Mijil. Tembang ini dibuka dengan kalimat, Dedalane Guna Lawan Sekti, maknanya tujuan dari manusia menjalani kehidupan adalah dalam rangka berguna dan bermanfaat, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain maka hendaknya kita bersikap Kudu Andap Asor. Sikap andap asor, memiliki arti, seorang itu harus bisa menempatkan diri, bisa menghargai orang lain, dan tidak sombong, serta menempatkan orang lain lebih tinggi dari dirinya sendiri.

          Selain bisa ber-andap asor dengan orang lain, seseorang juga harus berani mengalahkan ego dan nafsunya sendiri dengan cara berani mengalah. Wani Ngalah Luhur Wekasane. Dalam konsep tembang mijil ini, siapa yang berani mengalah diakhirnya akan mendapatkan kemuliaan. Untuk menjadi mulai biasanya seseorang itu dituntut untuk menjadi pemenang, namun di sini kita dituntut untuk berani mengalah. Terminologi mengalah, menurut KH. Agus Sunyoto berasal dari kata ngAllah, yang berarti menuju Allah. Lebih lanjut beliau menjelaskan dalam bukunya Atlas Walisongo, kata mengalah itu bukan asli kosakata Jawa, tidak ada dalam bahasa kawi itu kata “kalah” kata ngalah atau “ngallah” sendiri diciptakan oleh para wali yang berarti menuju Allah. Semisal kata “Ngalas” maksudnya adalah menuju hutan, oleh karena itu untuk menanggulangi sifat tinggi hati dan suka menang-menangannya masyarakat Jawa, para wali membuat satu kata “Ngalah” sebagai wujud kearifan dan kebesaran jiwa untuk berani mengalah agar tercipta keharmonisan di dalam tata perikehidupan masyarakat.

          Di bait keempat dikatakan, Tumungkula Yen Dipun Dukani. Maksudnya jika kita dimarahi maka hendaknya kita diam. Diam di sini tidak bermakna pasif dan membiarkan masalah tanpa klarifikasi, namun diam di sini bermakna agar kita tidak gegabah dalam menanggapi sebuah kemarahan. Atau jika kita sendiri yang marah hendaknya kita heningkan diri terlebih dahulu untuk mencari solusi atas permasalahan yang kita hadapi. Lebih baik diam pada saat marah agar permasalahan tidak semakin runyam.

          Selanjutnya agar kehidupan seorang tidak terbelit banyak masalah khususnya dalam segi finansial, maka hendaknya mengamalkan ajaran Bapang Den Simpangi, maksudnya adalah seseorang itu hendaknya meninggalkan gaya hidup hura-hura. Sikap hura-hura adalah pangkal dari berbagai macam permasalahan hidup, kadang kita lebih suka mengedepankan keinginan daripada kebutuhan. Padahal sampai kapanpun yang namanya keinginan tidak akan ada habisnya. Oleh karena itu hendaknya kita bisa berqona’ah agar hidup kita penuh berkah. Mensyukuri  atas segala nikmat Tuhan, dan tidak serakah dan berlebihan.

          Sikap terakhir yang patut untuk kita teladani dari tembang mijil ini adalah Ana Catur Mungkur, maksudnya sebisa mungkin kita hindari perdebatan, walau mungkin kita berada dipihak yang benar sekalipun. Karena berdebat akan memicu perpecahan dan perselisihan. Oleh karena itu dalam sebuah hadits Rasulullah Saw, bersabda : “Saya memberikan jaminan rumah di pinggiran surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan walaupun dia orang yang benar.” (HR. Abu Dawud).


          Demikian beberapa kearifan tembang mijil dalam menyelesaikan berbagai macam konflik dan permasalahan di tengah-tengah kehidupan. Semoga kita bisa meneladani dan mengamalkan kearifan lokal yang telah diajarkan oleh pendahulu kita.


*Joyo Juwoto, Santri Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban, Penulis aktif di www.4bangilan.blogspot.com. Saat ini telah menulis dua buku solo, Jejak Sang Rasul; Secercah Cahaya Hikmah dan menulis beberapa buku antologi. Silaturrahmi via Whatshap 085258611993 atau email di joyojuwoto@gmail.com.

Senin, 27 Maret 2017

Padamnya Pelita Di Kota Bangilan

Jelang sepuluh hari dari kewafatan Abah Hasyim Muzadi, suasana berkabung di Bangilan masih terasa, kota kelahiran Abah Hasyim seakan terus mendendangkan tembang duka. Mendung duka belumlah sirna, dan langit-langit jiwa masih meneteskan air mata, bagai kilatan petir, kabar duka kembali terdengar. Dalam sebuah wall facebook, saya melihat sebuah tulisan yang membuat dada saya menjadi sesak seketika. 

"Innalillahi wa Inna Ilaihi Rajiun, telah berpulang KH. Musta'in Hasan Jatimulyo Kedungmulyo Bangilan Tuban. Pukul 01.30 WIB, Semoga Beliau Khusnul Khotimah."

Demikian sebuah tulisan yang dikirim oleh Ust. Mu'im Bekam Tuban, di sebuah group facebook. Kapundutnya Mbah Musta'in adalah kehilangan yang sangat mendalam bagi masyarakat Bangilan, bukan hanya masyrakatnya, namun juga Bangilan secara keseluruhan. Rumput-rumputnya, pohon-pohonnya, udaranya, airnya, buminya, langitnya, dan semuanya.

Kapundutnya orang alim adalah musibah terbesar yang dialami dunia, dalam sambutannya kemarin, KH. Nasiruddin Qodir dari Sendang Senori mengatakan, bahwa jika ada orang alim yang meninggal dunia, maka bumi ini retak, bumi ini berlubang, dan lubang itu tidak bisa digantikan kecuali ada orang alim atau generasi alim yang mampu menggantikannya.

Oleh karena itu, Mbah Nasir berpesan, "Jika kamu punya anak yang pintar, mbok yo dipondokkan, biar dikader menjadi ulama, menjadi orang yang alim, karena orang alim semisal mbah Yai Musta'in ini sudah sangat jarang sekali" Demikian salah satu pesan dari mbah Nasir saat memberikan mauidhohnya.

Tanggal 16 Maret 2017 Abah Hasyim Muzadi Kapundut, tepat sepuluh hari sesudahnya, yaitu tanggal 26 Maret 2017, Mbah Musta'in Hasan kapundut. Bumi Bangilan kembali kehilangan pilar dan pelitanya. Semoga beliau berdua, diampuni segala dosa-dosanya, diterima segala amal kebaikannya dan ditempatkan di sisi-Nya. Aamiin Ya Rabbal 'alamiin.

Rabu, 22 Maret 2017

Bangilan Tuban, Kota Kelahiran Abah Hasyim Muzadi

Bangilan Tuban, Kota Kelahiran Abah Hasyim Muzadi
Oleh : Joyojuwoto

Bangilan adalah sebuah kota kecamatan yang berada di Kabupaten Tuban.  Mungkin tidak semua orang mengenal dan tahu kota di mana Abah Hasyim Muzadi, seorang tokoh nasional bahkan internasional dilahirkan. Bangilan memang dalam percaturan politik dikancah nasional tidak begitu penting, sehingga wajar jika jarang yang mengetahuinya. Terlebih lagi Abah Hasyim Muzadi mengawali kariernya bukan dari kota Bangilan, namun dari Jl. Cengger Ayam, Malang Jawa Timur.

Walau demikian, sebenarnya kota kecil di bagian barat daya Tuban ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Bangilan dan Senori sejak zaman dahulu sudah sangat masyhur, menjadi kota santri dan kotanya para alim ulama. Dari kota ini banyak terlahir tokoh masyarakat, ulama, dan orang-orang yang berjasa bagi peradaban umat manusia. Dahulu memang penyebutan antara Senori dan Bangilan menjadi satu, walau pada dasarnya dua nama itu adalah dua tempat yang berbeda, namun secara kultur adalah sama.

Sebut Saja ada Mbah Abu Fadhol As-Senory-Al Bangilani, seorang ulama yang memiliki banyak karya tulis berbahasa arab, walau beliau hanya mondok pada KH. Hasyim Asy’ari selama tujuh bulan. Konon karya Mbah Abu Fadhol ini dijadikan rujukan di daerah timur tengah . Ada pula KH. Misbah Zainil Mustofa, seorang ulama pendiri pondok pesantren Al Balagh yang juga seorang penulis kitab yang produktif. Karya-karya Mbah Misbah sapaan beliau, menjadi rujukan hampir disebagian besar wilayah di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Selain dua nama ulama ternama di atas, masih banyak ulama-ulama hebat yang pernah tinggal mendiami bumi Bangilan. Seperti Mbah Muchit Muzadi, KH. Abd. Moehaimin Tamam, Pendiri pondok pesantren ASSALAM Bangilan, KH. Uzair Zawawi, KH. Gus Nafis Misbah, Gus Badi' Misbah, KH. Shonhadji Nasir, Bu Nyai Hanifah Muzadi, KH. Hasyim Muzadi, dan beberapa kiai-kiai lainnya.

Selain menjadi rumah bagi para kiai, Bangilan-Senori zaman dahulu juga pernah menjadi basis organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Bahkan sebelum PCNU ada di kota Tuban, PCNU lebih dulu berdiri di Bangilan- Senori sekitar tahun 1949, perkembangan NU di wilayah Tuban bagian selatan tidak terlepas dari jasa KH. Nur Salim, alumni pesantren Tebuireng. Sedang NU di Tuban pertama kali berdiri di Desa Kaliuntu, Kecamatan Jenu tahun 1935. Tidak heran jika ada guyonan masyarakat yang mengatakan bahwa Jenu itu berasal dari kata JElas NU.

Secara historis, ternyata Bangilan memiliki peran penting bagi perkembangan organisasi Nahdlatul Ulama yang ada di Kota Tuban, oleh karena itu tidak mengherankan jika saat itu kakak dari Abah Hasyim Muzadi, yaitu Mbah Muchit Muzadi ikut mengenalkan Hasyim Muzadi kepada tokoh-tokoh NU, sehingga hal ini menjadi bekal bagi kepemimpinan dari Abah Hasyim Muzadi kelak saat beliau menjadi pimpinan di organisasi terbesar yang ada di tanah air ini.


Dari kota kecil Bangilan inilah, Abah Hasyim Muzadi terlahir, kemudian beliau secara bertahap  dari nol, dari bawah berjuang dengan keras dan akhirnya menjadi tokoh yang berkiprah dan diperhitungkan oleh dunia internasional. Semoga jasa-jasa beliau mendapatkan balasan yang kebaikan dari Allah Swt, dan semoga kehidupan beliau menginspirasi kita semua, khususnya masyarakat Bangilan. Aamiin.

Mutiara Surat At Tin

Mutiara Surat At Tin
Oleh : Joyo Juwoto

Surat At Tin termasuk surat yang diturunkan di kota Makkah, jumlah ayatnya ada delapan. At-Tin di sini adalah merujuk pada nama sebuah pohon yang banyak tumbuh di daerah timur tengah, namun tanaman ini sekarang juga banyak dibudidayakan di Indonesia.

Nama pohon Tin ini disebut satu kali, yaitu dalam surat At-Tin ayat 1, “Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun”. Jika Allah menjadikan pohon ini sebagai lafal sumpah, tentu pohon ini punya keistimewaan yang lebih dibandingkan dengan pohon-pohon yang lainnya. Bahkan Rasulullah menyebutnya buah Tin sebagai salah satu buah dari di surga.

          Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw, bersabda mengenai buah Tin ini :
“Rasulullah telah diberi hadiah satu wadah buah Tin, kemudian Nabi Bersabda : “Makanlah kalian!” lalu beliau pun memakannya dan berkata, “Jika engkau berkata ada buah yang diturunkan dari surga, maka aku bisa katakan inilah buahnya, karena sesungguhnya buah dari surga tanpa biji. Oleh karena itu makanlah, karena buah Tin ini dapat menyembuhkan penyakit wasir dan encok.” (HR. Abu Darda)”.

          Selain berfungsi sebagai obat wasir dan encok, buah Tin ini banyak mengandung senyawa garam, kalsium, fosfor, dan zat besi. Selain itu juga mengandung vitamin A dan B. Buah Tin juga banyak mengandung vitamin C dan K yang memiliki fungsi menghentikan pendarahan saat proses pembekuan darah.

Pohon Tin ini selain keramat menurut pandangan umat Islam, dalam literatur agama samawi lainnya seperti Yahudi dan Nasrani juga menyebut mengenai pohon Tin ini. Yesus Kristus bahkan menjadikan pohon Tin atau pohon Ara sebagai perumpamaan yang diajarkan kepada murid-muridnya. “Tariklah pelajaran dari perumpamaan pohon ara: Apabila ranting-rantingnya melembut dan mulai bertunas, kamu tahu, bahwa musim panas sudah dekat...”.

Selain memiliki manfaat sebagai obat dan sebagai penanda musim, pohon Tin ini disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir Juz III, bahwa Ibnu Abbas ketika menafsiri lafadz “Waraqal Jannah” (daun-daun surga), dalam surat Thaha ayat 121, bahwa daun surga yang dimaksud itu adalah daun dari pohon Tin. Daun-daun Tin inilah yang dipakai oleh Adam dan Hawa untuk menutupi aurat-aurat mereka yang terbuka setelah memakan buah Khuldi atas bujukan dan rayuan sesat dari syetan.

          Sedangkan nama Zaitun disebut dalam Al Qur’an sebanyak 7 (tujuh) kali, yait pada surat Al An’am ayat 99; An Nahl ayat 11; al Mukminun ayat 20; an-Nur ayat 35; Abasa ayat 29; dan dalam surat At Tin ayat 1.

          Sebagaimana pohon Tin, pohon zaitun juga banyak memiliki manfaat. Sekarang ini produk olahan dari buah zaitun sangat banyak, dipakai sebagai obat maupun untuk komoditi lain, semisal sebagai bahan pembuatan sabun, kalium karbonat, sebagai obat penawar racun, bahan baku salep, sebagai pewarna produk-produk tekstil dan lain-lain. Hal ini juga sesuai yang disabdakan oleh Rasulullah Saw, bahwasanya Zaitun memiliki banyak manfaat dan keberkahan. Dalam sebuah hadits Nabi Bersabda : “Makanlah buah zaitun dan peraslah minyaknya, karena dia pohon yang membawa berkah.”

          Setelah Allah bersumpah dengan menyebut Tin dan Zaitun, dalam ayat kedua Allah menyebut Thursina, yaitu nama sebuah gunung yang berada di Semenanjung Sinai. Di gunung inilah Nabi Musa berbicara langsung dengan Allah, oleh karena itu Nabi Musa mendapatkan julukan “Kalimullah” maksudnya adalah beliau langsung bercakap-cakap dengan Allah tanpa melalui perantara Malaikat saat menerima wahyu di puncak bukit Thursina. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Swt dalam surat An Nisa’ ayat 164 yang artinya : “Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.”

          Di ayat ketiga, Allah Swt, bersumpah demi negeri yang dijadikan aman. Dalam tafsir Al Iklil yang ditulis oleh KH. Misbah Zainil Mustofa, dinyatakan bahwa negeri yang dimaksud adalah negeri Makkah. Negeri Makkah adalah tempat yang mendapatkan perlindungan langsung dari Allah Swt ketika pasukan gajah yang dipimpin oleh Raja Abrahah saat akan menghancurkan Ka’bah. Di tempat ini pula setiap orang akan merindukannya untuk menyempurnakan rukun Islam yang kelima, yaitu berangkat menunaikan ibdah haji.

          Ayat keempat dan kelima Allah menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang baik dan sempurna. Secara lahiriah kesempurnaan manusia sebagai makhluk Tuhan lama kelamaan akan sirna, mulai dari kelahiran, masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan akhirnya akan menua. Seperti pohon-pohon hijau yang lama kelamaan akan menguning dan kering, kemudian luruh ke tanah dan akhirnya mati.

          Yang mampu mengabadikan kesempurnaan manusia adalah keimanannya dan amal sholeh yang diperbuatnya, karena dengan iman dan amal sholeh itulah manusia akan mendapatkan ganjaran yang tiada terputus. Demikian sebagaimana yang disebutkan dalam ayat yang keenam.

Di ayat yang ketujuh Allah Swt, menegaskan dengan sebuah pertanyaan “Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu ? Ayat ini memberikan gambaran bahwa Allah pasti akan memberikan balasan yang baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, sedangkan orang yang tidak beriman dan membuat kerusakan akan direndahkan oleh Allah dengan serendah-rendahnya di akhirat kelak.

Kemudian surat At-Tin ditutup dengan penegasan dan pernyataan dalam bentuk pertanyaan, “Bukankah Allah Hakim yang adil ? di dalam tafsirnya, Mbah Yai Misbah memberikan keterangan di ayat terakhir ini, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda : Barangsiapa yang membaca surat At-Tin hingga akhir ayat, sebaiknya kemudian membaca :
بلى وانا على ذلك من الشاهدين


Maksud dari bacaan di atas adalah kita mengiyakan dan bersaksi bahwa Allah Swt Dzat yang Maha Adil dengan segala hukum-hukumnya. Kita tunduk dan taat kepada hukum Allah dan ridha dengan segala qadha-Nya. Demikianlah para ulama dahulu bertata karma dalam menyikapi sebuah ayat.

Selasa, 21 Maret 2017

Abah Hasyim Muzadi, Kiai Kelahiran Bangilan Tuban

Abah Hasyim Muzadi, Kiai Kelahiran Bangilan Tuban
Oleh : Joyojuwoto

Bangilan Kota Kelahiran Abah Hasyim Muzadi

Abah Hasyim Muzadi, terlahir dengan nama Achmad Hasyim, beliau lahir di Bangilan Tuban, tanggal, 08-08-1943. Abah Hasyim terlahir dari pasangan Pak Muzadi dan Ibu Rumyati. Dari kota  kecil Bangilan, Abah Hasyim menjelma menjadi tokoh, ulama, yang kiprahnya diakui oleh dunia internasional.

Walau Abah Hasyim banyak menghabiskan waktunya di Malang dan Depok untuk urusan umat serta mengurusi pesantren Al Hikam yang beliau dirikan, namun secara perasaan saya merasa dekat dengan beliaunya. Kedekatan ini saya kira wajar, seorang santri merasa dekat dengan kiainya, walau saya sendiri secara langsung juga tidak nyantri pada beliau. Selain ikatan batin antara santri kepada Kiainya, saya juga dekat dengan keluarga Abah Hasyim Muzadi yang ada di Bangilan.

Kebetulan saya nyantri kalong di pondok pesantren ASSALAM Bangilan, sebuah pesantren yang didirikan oleh Abah Moehaimin Tamam. Kiai saya, Abah Moehaimin masih sepupu dari Abah Hasyim Muzadi. Selain sepupu, adik dari Abah Moehaimin, Bu Nyai Mutammimah adalah istri dari Abah Hasyim Muzadi. Jadi tidak berlebihan jika saya merasa dekat dengan Abah Hasyim Muzadi, karena beliau masih adik ipar dari kiai saya.

Ayah dan Ibu, Abah Hasyim Muzadi

Pak Muzadi, ayah dari Abah Hasyim adalah seorang pedagang yang sukses. Sedang Bu Rumyati adalah ibu rumah tangga yang juga berjualan jajanan bolu. Walau  bukan seorang kiai beliau sangat dekat dan senang dengan kiai. Dalam dunia santri, jika kita ingin pandai atau anak keturunan kita menjadi alim, maka hendaknya cinta kepada orang alim. Tidak heran jika putra-putri Pak Muzadi  menjadi kiai yang alim. Seperti Mbah Muchit Muzadi, Bu Nyai Hanifah Muzadi, Abah Hasyim Muzadi, dan putra-putri beliau lainnya.

Pak Muzadi adalah seorang pedagang tembakau, selain itu beliau juga mempunyai usaha merangkai sepeda onthel. Pada waktu itu tidak sembarang orang memiliki onthel, hanya orang-orang kaya saja yang punya. Pak Muzadi juga punya hobi memelihara burung perkutut, bahkan dari hobinya ini, sekitar tahun 1934 beliau berhasil menjual pekutut dengan harga yang tinggi kemudian dibelikan sebuah mobil sedan touring, merknya  Chevrolet yang lagi ngetrend masa itu. Pada waktu itu di Bangilan hanya ada dua orang yang punya mobil, satunya adalah Pak Muzadi. Pada waktu itu Camat Bangilan jika ingin pergi ke Tuban, meminjam mobilnya Pak Muzadi.

Pak Muzadi Merintis Madrasah di Bangilan

Sekitar tahun 1930-an, tidak semua orang bisa sekolah, Di Bangilan hanya terdapat dua sekolahan, yaitu sekolah Volk School dan Vervolg School. Atau masyarakat lebih sering menyebutnya sebagai sekolah ongko siji dan sekolah ongko loro. Tidak semua kecamatan memiliki sekolah, namun kedua jenjang sekolah itu ada di Bangilan. 

Sekolah Volk School atau sekolah tingkat dasar ditempuh selama tiga tahun, sedangkan sekolah Vervolg School atau sekolah lanjutan ditempuh selama enam tahun. namun tidak semua orang pada masa itu bisa sekolah. Di Bangilan pada waktu itu yang berhasil tamat sekolah Vervolg School enam tahun adalah H. Badrut Tamam. Beliau ini ayah dari kiai saya Abah Moehaimin Tamam, yang juga mertua dari Abah Hasyim Muzadi.

Karena model sekolah baik Volk School maupun Vervolg School bercorak Belanda, siswanya memakai celana pendek yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka Pak Muzadi merintis madrasah sendiri yang dikenal dengan nama Madrasah Miftahus Salamah. Pak Muzadi ini yang mondar-mandir mencari guru dan murid. Karena ketokohan dari Pak Muzadi, waktu itu mendapatkan sebanyak 12 murid. Beliau juga mendatangkan guru dari Kajen Jawa Tengah. Pada waktu itu istri Pak Muzadi punya adik ipar lulusan Madrasah Matholiul Falah yang didirikan oleh  KH. Abdus Salam tahun 1922, namanya Maskoen. Pak Maskoen inilah yang nanti akan dinikahkan dengan Bu Muyassaroh, binti Muzadi, yang tak lain kakak dari Abah Hasyim Muzadi.

Waktu itu untuk mencari guru sangat susah, apalagi menjadi guru Madrasah yang baru dirintis. Oleh karena itu Pak Muzadi punya kiat khusus dalam rangka menjaring guru. Beliau sebagai pengusaha perakit sepeda onthel, akan memberikan kemudahan bagi guru madrasah untuk membeli sepeda onthel yang waktu itu masih menjadi barang yang langka dan istimewa. Hanya para mandor dan sinder kehutanan saja yang mampu membeli dan mengkredit sepeda buatan Pak Muzadi. Harganya sekitar dua gulden, kalau dikurs dengan mata uang sekarang setara dengan dua ratus ribu rupiah.

Waktu itu madrasah menempati sebuah loji milik orang abangan, entah sebab apa tiba-tiba loji itu diminta oleh pemiliknya dengan alasan yang tidak jelas. Akhirnya Pak Muzadi mencari tempat lain, maka dipilihlah sebidang tanah miliknya yang ditempati langgarnya Kiai Ridwan, seorang kiai sepuh dari Bangilan. Madrasah Miftahus Salamah akhirnya berdiri dan pembelajaran berjalan dengan dengan baik, namun setelah berlangsung selama tiga tahun madrasah itu kembali vakum. Salah satu murid dari sekolah yang dirintis oleh Pak Muzadi adalah anaknya sendiri, yaitu Mbah Muchit yang waktu itu berumur 10 tahun, kakak dari Abah Hasyim. Sedang Abah Hasyim sendiri belum lahir.

Keluarga Yang Grapyak Semanak

Dengan Pak Muzadi, saya tidak pernah ketemu, namun yang istri beliau Mbah Rumyati saya sempat ngonani. Bahkan ketika beliau wafat saya ikut bertakziyah, waktu itu kalau tidak salah saya duduk di kelas satu MTs. Keluarga besar dari Abah Hasyim Muzadi ini dikenal sebagai keluarga yang grapyak dan semanak. Suka menolong dan baik terhadap tetangga kiri kanan. Kebetulan saya menjadi santri ASSALAM Bangilan Tuban yang memang masih satu keluarga dengan Abah Hasyim Muzadi. Ketika Bu Nyai Hanifah (Kakak Abah Hasyim) masih sugeng,  Saya  sering di ndalemya, bahkan pernah menempati rumahnya Bu Muyassaroh, bersama santri-santri lainnya (baca : http://4bangilan.blogspot.co.id/2015/04/sepenggal-kisah-bu-nyai-hj-hanifah.html). Dari sinilah saya tahu bahwa keluarga Abah Hasyim Muzadi adalah keluarga yang sangat baik kepada siapapun.

Pendidikan dan Karier Abah Hasyim Muzadi

Pendidikan Abah Hasyim Muzadi dimulai dari MI Bangilan, kemudian beliau sekolah di Tuban kota hingga SMP. Setelah dari SMP beliau kemudian melanjutkan mondok di Gontor Ponorogo, bareng dengan kiai saya, Abah Moehaimin Tamam. Menurut Abah Moehaimin, walaupun satu pondok tetapi mereka jarang ketemu. Karena Gontor menerapkan sistem santri tidak boleh satu kamar dengan santri yang berasal dari satu daerah. 

Setamat dari Gontor, Abah Hasyim nyantri di Mbah Fadhol, Senori. Selain itu beliau juga nyantri di Lasem Jawa Tengah. Sekitar tahun 1964, Abah hasyim melanjutkan pendidikannya di kota Malang. Pada saat di Malang ini, menurut kiai saya, Abah Hasyim kuliah sambil bekerja. Abah Hasyim jualan kecap dengan cara berkeliling menawarkan dagangannya di kota Malang. Suatu ketika, pas hari Jumat, Abah Hasyim jualan kecap seperti biasa, karena waktunya mendekati shalat Jumat beliau berhenti di salah satu masjid. Ketepatan waktu itu khatibnya berhalangan hadir, karena tidak ada yang maju, Abah Hasyim entah karena apa dipanggil untuk menjadi khatib.

Walau tanpa persiapan khutbah, Abah Hasyim yang lulusan Gontor mampu berkhutbah dengan baik, bahkan hingga menyihir para jamaah. Memang Abah Hasyim memiliki keistimewaan dalam hal ini. Setelah khutbah itulah akhirnya Abah Hasyim di dekati oleh seorang tokoh setempat, agar beliau bersedia mengisi pengajian di masjid tersebut. Dari sinilah karier Abah Hasyim mulai dikenal oleh masyarakat hingga beliau menjadi tokoh dan ulama yang dikenal luas oleh dunia. Ini yang saya dengar dari cerita kiai saya, Abah Moehaimin Tamam, saat saya nyantri dulu.

Demikian sedikit kisah Abah Hasyim Muzadi, semoga dengan mengenang orang-orang baik, kita ikut ketularan kebaikannya. Dan semoga Abah Hasyim Muzadi terus mengabadi dalam jiwa dan karya generasi penerusnya. Aamiin.

Owh, ya ! foto yang saya pajang dengan Abah Hasyim Muzadi itu bukan foto saya, karena saya tidak pernah foto dengan Abah Hasyim Muzadi. Lagian wajah saya lebih ganteng sedikit dibanding pemilik foto yang asli. Itu adalah foto dari salah satu santri kinasihnya Abah hasyim Muzadi. Sekian terima kasih.


Sabtu, 18 Maret 2017

Tawadhu’nya KH. Hasyim Muzadi

Tawadhu’nya KH. Hasyim Muzadi
Oleh : Joyo Juwoto

Ibarat seperti padi, semakin berisi semakin merunduk, begitupula dengan seorang yang alim, semakin tinggi keilmuannya semakin rendah hatinya. Demikian saya menggambarkan sosok Abah Hasyim Muzadi, walau saya tidak nyantri langsung kepada beliau, namun karena antara Abah Hasyim Muzadi dan kiai saya, Abah Moehaimin Tamam masih kerabat, maka Abah Hasyim ini kadang-kadang ke pondok saya. Memberi mauidhoh dalam acara haflah akhirussanah, maupun acara-acara di pondok yang berada di tempat kelahiran beliau.

Selain mendengar nasehat-nasehat dari Abah Hasyim, kadang saya juga mendengar cerita tentang Abah Hasyim dari Bu Nyai Hanifah Muzadi (almh). Pernah suatu malam bakda isya’ Abah Hasyim dolan ke Bangilan di rumah punjer Bani Wustho yang ditempati oleh Bu Nyai Hanifah. Waktu itu saya sedang di jalan raya karena suatu keperluan, saat di jalan itulah saya ketemu seorang yang berjalan sambil berdzikir memegang tasbih, setelah saya perhatikan ternyata beliau adalah Abah Hasyim Muzadi dari ndalemnya  Bu Nyai Hanifah menuju pondok pesantren ASSALAM. Abah Hasyim ndolani kiai saya, Abah Moehaimin Tamam. Karena selain kerabat, Bu Nyai Mutammimah, istri dari Abah Hasyim adalah adiknya Abah Moehaimin Tamam, kiai saya.

Melihat Abah Hasyim secara langsung dari dekat hati ini rasanya marem dan maknyess. Membekas hingga tulisan ini saya buat. Saya juga masih merasakan keteduhan dari wajah Abah Hasyim Muzadi. Beliau begitu tawadhu’ dan grapyak sumanak. Orang yang ditemuinya di jalan disapa dengan senyum yang ramah, waktu itu saya tidak berani mendekat, hanya melihatnya saja, dan itu terasa cukup bagi saya.

Memandang wajah orang alim itu memang menyejukkan, seperti memandang purnama dua belas yang indah menawan. Bahkan dalam kitab Lubabul Hadits disebutkan, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Barang siapa yang memandang wajah orang alim dengan satu pandangan, lalu dia merasa senang dengannya, maka Allah Ta’ala menciptakan malaikat dari pandangan itu yang memohonkan ampunan kepadanya sampai hari kiamat” (Al Hadits).

Saya berharap dan berdoa kepada Allah Swt, semoga satu pandangan saya dahulu melihat keteduhan dari wajah Abah Hasyim Muzadi adalah pandangan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi di atas.

Setelah itu saya jarang melihat secara langsung Abah Hasyim Muzadi, walaupun Abah Hasyim juga beberapa kali ke Bangilan, paling lihat ya di koran, di Tv, maupun di media sosial. Memandang secara langsung dengan melalui media perantara memang terasa beda, alaqah batiniah, dan rasa kadang tidak kita dapati dari sebuah perantara. Oleh karena itu bermuwajahah secara langsung dengan orang alim itu sangat luar biasa pengaruhnya ke dalam alam batiniah kita.

Abah Hasyim Muzadi pernah suatu ketika pidato dalam satu acara di pondok pesantren ASSALAM Bangilan, beliau  menyatakan bahwa, Abah Moehaimin Tamam itu orangnya istiqamah, ulet, disiplin, dan tekun, “Saya masih kalah dengan beliau.” kata Abah Hasyim Muzadi merendah. Tentu ini adalah teladan yang diberikan oleh Abah Hasyim Muzadi, bahwa seseorang itu harus tawadhu’ kepada siapapun.

Demikian sekilas kenangan saya tentang Abah  Hasyim Muzadi, saya menuliskannya semoga ini menjadi obat kerinduan dan kesedihan saya dengan berpulangnya beliau ke rahmatullah. Semoga Allah Swt menempatkan beliau di sisi-Nya.



Kamis, 16 Maret 2017

Wejangan-wejangan dari KH. Hasyim Muzadi

Inilah Beberapa Quote dari KH. Hasyim Muzadi
Oleh : Joyojuwoto

Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, sedang jika manusia mati ia meninggalkan nama. Demikian pepatah yang sering dikutip oleh para bijak, agar kita selalu ingat jika kita mati maka kita bisa meninggalkan nama yang baik dan harum.

Demikian pula, hari ini (16 Maret 2016) salah satu putra terbaik Indonesia meninggal dunia. Beliau Abah KH. Hasyim Muzadi seorang ulama asli kelahiran dari Bangilan Tuban. Mantan Ketua PBNU ini telah pulah ke rohmatullah dengan tenang, dan meninggalkan nama yang harum serta amal kebaikan yang sangat banyak.

Diantara amal kebaikan Abah KH. Hasyim Muzadi adalah ilmun nafi’ , ilmu yang bermanfaat, baik yang beliau ajarkan di majelis-majelis ilmu maupun yang beliau teladankan dalam kehidupannya sehari-hari.

Berikut saya kutipkan beberapa kalimat-kalimat hikmah dari Abah Hasyim Muzadi yang menginspirasi, yang saya kumpulkan baik dari internet maupun yang tersebar di media sosial :

1.      Doa adalah Iktiar Bathiniah, sedangkan ikhtiar adalah doa lahiriah
2.   Berdoa dan bekerja keras itu memang perintah Allah, dan Allah akan memberi anugerah, tapi bukan berarti doa dan kerja keras kita itu dapat memaksa Allah.
3.   Jika yang kosong adalah akalnya, isilah ia dengan ilmu. Jika yang kosong adalah hatinya, isilah ia dengan zikir. kesatuan zikir dan pikir akan membentuk ulul albab.
4. Akal bukan segala-galanya, jika kejiwaan terguncang, akal ikut terguncang.
5.    Kecerdasan dan kepandaian itu bukan segalanya, ia masih bergantung pada kejiwaan, ketika kejiwaan itu goncang, maka kecerdasan pun goncang. Intelektualitas bisa goncang karena instabilitas rohani.
6.   Keikhlasan itu tidak tampak, dan tidak perlu ditampak-tampakkan, tetapi Allah akan menampakkan hasil dari keikhlasan itu.
7.   Orang yang memperjuangkan umat tidak akan kekurangan, dan orang yang memperjuangkan diri sendiri belum tentu berkelebihan.
8.   Orang yang tidak berbuat apapun untuk kemaslahatan umat justru akan dililit oleh permasalahannya sendiri.
9.   Jangan takut berkorban, agar kalian tidak menjadi korban.
10.Tingkatkan kedisiplinan dalam setiap aktivitas baik ibadah maupun prestasi ilmiah
11.Nasionalisme bukan hanya dengan simbol-simbol dan slogan, tapi dengan pengabdian dan menggunakan disiplin ilmu yang dimiliki.
12.Pikirkan kekuranganmu sehingga kamu tidak sempat memikirkan kejelekan orang lain.
13.Di kalangan umat Islam seluruh dunia ada tiga hal yang tidak boleh disinggung atau direndahkan, yakni : Allah Swt, Rasulullah Saw, dan kitab suci Al Qur’an. Apabila salah satu, apalagi ketiganya disinggung dan direndahkan pasti mendapat reaksi spontan dari umat Islam tanpa disuruh siapapun.
14. Saya optimis Gontor mampu mengemban misi kebangkitan umat.
15.Janji Allah selalu bersyarat dan rahmat Allah selalu minta tanggungjawab.

Demikian beberapa quote (kalimat hikmah) dari KH. Hasyim Muzadi, semoga kita bisa mengikuti dan mengamalkan dari apa yang telah beliau contohkan. Amin.


Selasa, 14 Maret 2017

Berguru Di Toko Buku

Berguru Di Toko Buku
Oleh : Joyojuwoto

Tadi pagi sekitar pukul 09.30 WIB, saya pergi ke toko kitab di jalan raya pasar Bangilan untuk membeli kitab tafsirnya Mbah Misbah. Saya memang punya keinginan untuk mengoleksi kitab tafsir al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil, yang ditulis oleh pendiri pondok pesantren Al Balagh Bangilan Tuban. Sebagai orang Bangilan, tentu saya bangga di tanah kelahiran saya ada kiai hebat yang mempunyai karya tulis yang sangat banyak, termasuk diantaranya adalah kitab tafsir yang akan saya beli.

Sampai saat ini saya sudah membeli tafsir Ak-Iklil sebanyak 25 juz, mulai dari juz 1 sampai juz 25, tinggal 5 juz lagi yang belum saya beli. Saya memang punya kegemaran mengoleksi buku, kalau kitab sebenarnya juga suka, cuma bacanya yang susah, berbahasa arab, bahkan gundul lagi. lengkap deh pusingnya. Tapi untuk kitab tafsirnya mbah Misbah ini memang saya punya rencana untuk mengoleksinya. Semoga selain mengoleksi saya juga sempat membaca dan mentadabburinya.

Saya masih ingat, pada saat nyantri pernah didawuhi kiai saya, alm. KH. Abd. Moehaimin Tamam, pendiri pondok pesantren ASSALAM Bangilan Tuban Indonesia. Beliau dawuh, bahwa menuntut ilmu tidak hanya di bangku sekolah saja, di manapun kita bisa menuntut ilmu. Termasuk di toko buku. Semenjak didawuhi seperti itu, saya sangat suka sekali pergi ke toko buku, walau kadang hanya melihat-lihat saja. Seneng rasanya melihat tumpukan dan pajangan buku dengan cover-cover yang beraneka warna dan ragamnya, damai rasanya membaca judul buku di rak-rak toko buku, pokoknya saya suka betah jika sedang di toko buku. Walau kadang ya hanya melihat-lihat saja.

Di bangilan sendiri toko yang khusus menyediakan buku bacaan belum ada, jika ada, paling masih bercampur-baur dengan toko ATK dan foto copy, buku hanya dijadikan pelengkap saja. Saya sebenarnya juga punya keinginan membuka toko buku di kota kelahiranku ini. Namun karena sesuatu hal, keinginan itu belum terwujud. Kalau toko kitab di Bangilan ada, yaitu di toko yang saya kunjungi tadi pagi.

Saya selalu meyakini bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia ini, mulai dari hal terbesar sampai pada butiran molekul, debu, pasir, pasti ada garis Tuhan yang mengaturnya. Tidak sengaja, tadi pagi pas saya membeli kitab, saya bertemu dengan seorang setengah sepuh yang juga membeli kitab. Sebenarnya beliau sudah selesai bertransaksi dan tinggal pulangnya, Cuma karena menunggu foto copy, beliau masih duduk di toko itu. Setelah ngobrol-ngobrol, ternyata beliau adalah seorang kiai dari Leran Senori, dan kebetulannya lagi beliau adalah  murid dari kiai kondang yang melegenda seantero Nusantara, Kiai Abu Fadhol As-Senori (Mbah Dhol).

Saya sangat senang beliau bercerita mengenai kehidupan Mbah Dhol. Menurut beliau, Mbah Dhol adalah ulama laduni, mbah Dhol menghafal Al Qur’an hanya dalam waktu seratusan hari, tidak hanya itu, pada saat bulan ramadhan, selain sibuk mbalah kitab, mbah Dhol juga selalu mengkhatamkan Al-Qur’an tidak kurang dari 22 kali. Padahal mbah Dhol mbalah kitabnya pagi, siang, sore dan malam.

Selain itu, Mbah Dhol juga memiliki banyak karya tulis. Karya-karya Mbah Dhol bahkan menjadi bacaan di negeri-negeri timur tengah. Mbah Kiai ini tadi juga punya kitab tulisan asli tangan mbah Dhol yang diijazahkan kepada beliau saat nyantri di mbah Dhol. Mbah Kiai ini juga banyak mendapatkan ijazah sanad keilmuan dari mbah Dhol.

Selain mengoleksi karya tulis mbah Misbah, saya juga punya keinginan mengoleksi karya-karya mbah Abu Fadhol As-Senori.

 Saya punya satu karya Mbah Dhol, milik seorang teman, judulnya "Pangrekso Agama" yang ditulis oleh Mbah Dhol dengan huruf pegon. Itu pun saya belum berani memfoto copinya, sebelum mendapat ijin dari ahlinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, pagi itu saya ketemu langsung dengan murid beliau yang sekarang telah menjadi kiai di Leran Senori. Akhirnya saya bertanya mengenai karya-karya mbah Dhol.

Kemudian saya juga bertanya kepada pemilik toko kitab, apakah ada kitabnya mbah Dhol. Kang Santri pemilik toko kitab itu secara kebetulan ternyata beliau putra dari santrinya Mbah Dhol juga, teman mbah kiai dari senori tadi. Dan saya kemudian diambilkan dua kitab karya mbah Dhol yang sudah dicetak. Saya pun membelinya. Alhamdulillah, selain mendapatkan kitab tafsirnya Mbah Misbah, saya mendapatkan kitab karya dari kiai senori yang saya kagumi.

Dan yang luar biasa saya juga sempat mendengarkan mbah kiai dari Leran Senori tadi memberikan ijazah sanad keilmuan salah satu kitab foto copi dari tulisan tangan mbah Dhol kepada pemilik toko kitab yang dipanggil Gus, oleh Mbah kiai. Saya pun ikut khusyu’ menyimaknya.

Semoga pertemuan singkat saya di toko kitab dengan mbah kiai tadi mengandung berkah dan manfaat. Aamin ya Rabbal ‘alamin.





Minggu, 12 Maret 2017

ASSALAM Sudah Begini Ataukah Baru Begini?

Pic. Mbah Moel
ASSALAM sudah begini ataukah baru begini?
Oleh : Joyojuwoto*

“ASSALAM sudah begini ataukah baru begini?.” Begitulah salah satu pertanyaan yang disampaikan oleh Abah Moehaimin, pendiri Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan  Tuban kepada salah satu alumni era 80-an. Hal ini saya baca dalam buku “Surgaku Adalah Mengajar” sebuah buku kumpulan tulisan untuk mengenang KH. Abd. Moehaimin Tamam.

Dari pertanyaan Abah Mohtam di atas, para Hawariy penerus perjuangan Abah Mohtam harus menjawab dengan sebuah tindakan yang nyata, jelas, dan terukur agar apa yang ditanyakan oleh pendiri dari pondok pesantren ASSALAM ini menemukan titik jawaban yang memuaskan. Pertanyaan dari Abah mengandung sebuah harapan besar, agar kelak pondok pesantren ASSALAM Bangilan terus berbenah dan berkembang yang lebih baik lagi.

Perubahan-perubahan zaman adalah sebuah keniscayaan, dan jika pondok pesantren ingin tetap eksis tentunya harus menyesuaikan dengan perubahan-perubahan itu. Kita tidak akan mungkin menang melawan perubahan zaman, jika kia tidak mengikuti arus besar perubahan, maka bersiap-siaplah untuk digulung, dihantam, dihempaskan dan akhirnya dihancurkan oleh arus perubahan itu  sendiri. Ingat teori evolusi, bahwa makhluk hidup yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya lama kelamaan akan punah. Yang tertinggal hanyalah mereka yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya, begitu pula teori ini juga berlaku bagi pondok pesantren yang tidak mampu melihat arah perubahan zaman.

Perubahan-perubahan yang saya maksud untuk diikuti tentu bukan sembarang perubahan, masalah prinsip, masalah pokok tetaplah harus kita pegang erat, kita pertahankan, kita pegang teguh, namun kita juga jangan terlalu kolot statis, yang tidak bisa melihat modernitas dengan segala potensi kebaikan dan kemajuannya. Saya kira ulama-ulama salafus sholihin pun mengajarkan akan hal ini. Dalam sebuah kaidah ushul fiqih sering kita ucapkan “Al-muhaafadhotu ‘alal Qadiimis Shoolih, Wal akhdu bil Jadiidil Ashlah” (Memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).

Dari kaidah ushul fiqih di atas, mengajarkan akan dinamika perubahan harus diikuti, pesantren haruslah menerapkan dan melakukan gerakan inovasi positif untuk mampu mempertahankan diri dari perubahan zaman, pesantren harus bisa mempertahankan dan memelihara tradisi lama yang baik, sekaligus mampu mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik lagi. Oleh karena itu saya sangat tertarik dengan sebuah ungkapan yang luar biasa “Al Ma’hadu La Yanaamu Abadan” Pondok tidak pernah tidur, pondok selalu terbangun, pondok tidak pernah berhenti, pondok harus terus bergerak. Bergerak berarti hidup, bergerak berarti dinamis, bergerak untuk terus mengasilkan kebaikan bagi umat.

Jadi sebuah pondok pesantren tidak perlu alergi dengan perubahan yang membawa kebaikan bersama, karena itu ada dalilnya, ada petunjuknya dari ulama-ulama salaf, tinggal kita yang perlu merumuskan dengan baik perubahan seperti apa yang diinginkan.

Pondok Pesantren ASSALAM sejak mulai berdiri sudah memiliki visi dan misi yang besar, hal ini selalu digemblengkan oleh Abah Mohtam yang merujuk pada nilai dan ajaran dari Gontor bahwa, “Pondok pesantren ASSALAM berdiri di atas dan untuk semua golongan.” Visi dan misi besar ini harus diejawentahkan dalam program pesantren.

Abah Mohtam, adalah seorang yang visioner, beliau mendirikan pesantren tidak hanya untuk kelompok dan golongan saja, hanya untuk satu dan dua ormas saja, lebih-lebih hanya untuk keluarga. Abah Mohtam adalah seorang yang berjiwa besar karena visi dan misinya yang menglobal dengan semboyan beliau : “ASSALAM Lana Wa Lil Muslimiina, ASSALAM Fauqol Jamik, Wa Lil Maslahati Jamik.” jadi mengutip pertanyaan Abah Mohtam, ASSALAM sudah begini ataukah baru begini?