Senin, 27 Februari 2017

Berguru Menulis Di Sahabat Pena Nusantara

Berguru Menulis Di Sahabat Pena Nusantara
Oleh : Joyojuwoto*

Menulis menjadi momok menakutkan tidak hanya bagi kalangan awam, bahkan akademisi pun tidak semuanya mampu menulis. Sebenarnya menulis itu mudah, tidak ubahnya ketrampilan lain seperti berlatih berjalan, bersepeda, menyopir, berenang, yang dapat dikuasai oleh siapapun juga, asal mau dan giat berlatih, dipastikan dia akan bisa melakukannya, begitu juga dengan ketrampilan menulis.
Keterlibatan saya dalam dunia tulis menulis diawali sebuah interaksi sosial di Facebook dengan seorang Ust. Dari Lamongan, M. Husnaini. Waktu itu beliau menulis di wall facebooknya sekitar tahun 2015 mengenai siapa yang akan ikut bergabung di group whatshap literasi. Karena waktu itu saya punya keinginan untuk menulis hingga bisa menjadi sebuah buku, maka saya pun menyatakan ikut bergabung.
Di group whatshap yang diberi nama Sahabat Pena Nusantara (SPN) itulah akhirnya saya mulai berguru menulis dengan para pakar dunia tulis menulis, seperti Ust. M. Husnaini sendiri, Prof. Muhammad Chirzin, Pak Didi Junaedi, Pak Much. Khoiri, Pak Hernowo Hasyim, Pak Dr. Ngainun Naim, Pak Dr. M. Taufiqi, Pak KH. Dawam Sholeh, Pak KH. Masruri Abd Muchit dan sederet tokoh hebat yang ada di group SPN.
Saat awal masuk di group Sahabat Pena Nusantara, saya sudah sering menulis, Cuma bagaimana membuat tulisan menjadi sebuah buku menjadi hal yang tidak mudah bagi saya, seperti seorang yang kebingungan di dalam kegelapan malam, tak tahu arah dan mencari jalan yang terang. Obor SPN menyala melalui keteladanan guru-guru hebat yang saya sebutkan di atas.
Dari Pak Husnaini saya belajar kedisiplinan dan ketegasan beliau dalam menulis bulanan, dari Prof. Muhammad Chirzin saya belajar, bagaimana beliau membuat buku yang bermanfaat dengan bahan dan setting Al Qur’an, dari dari Pak Didi saya belajar keistiqamahan beliau dalam menulis setiap hari dan mempostingnya di laman group, dari pak Much Khoiri saya belajar mencari dan menciptakan diksi-diksi yang kuat dan menggigit untuk sebuah tulisan, dari Hernowo saya belajar bagaimana membaca, mengikat makna dalam membaca, ngemil baca, dan hal-hal lain yang berkaitan dalam berliterasi, dari Pak Dr. Ngainun saya belajar gigihnya beliau dalam menciptakan buku-buku akademisi kampus, dari pak Dr. Taufiqi saya belajar hypnoteaching dan hypnosellingnya, dari Kyai Dawam saya belajar tentang puisi-puisi yang tidak hanya sekedar bunga-bunga kata tanpa makna, namun puisi bisa menjadi media dakwah yag efektif, dari Kyai Masruri pemgasuh Pondok Darul Istiqomah saya belajar bahwa menulis adalah salah satu medan jihad, dan perintah agama. Dari beliau-beliau inilah semangat menulis saya ikut berkobar-kobar.
Selang enam bulan bergabung di SPN, akhirnya terbitlah buku Antologi pertama SPN, judulnya Quantum Ramadhan, betapa senang dan bahagianya saya bisa ikut menjadi salah satu penulis di buku itu. Ini adalah buku saya pertama yang terbit bersama SPN, ibarat anak  buku itu adalah anak pertama dalam kehidupan saya, bisa dibayangkan sendiri bagaimana perasaan saya.
Saya selalu ingat apa yang sering dipesankan oleh Pak Husnaini, jika telah terbit buku jangan terlalu terlena, senang boleh, bangga boleh, tapi sekedarnya saja, terbitnya buku pertama harus diikuti dengan buku kedua, ketiga, dan selanjutnya. Faidzaa Faraghta Fanshab. Aplikasi dari firman Allah tersebut dalam dunia literasi adalah jika selesai satu buku, maka segera menyelesaikan buku yang lainnya.
Setelah buku Quantum Ramadhan terbit, saya berniat harus membuat buku, dengan segala upaya dan daya akhirnya di tahun 2016 saya berhasil menerbitkan dua buku solo. Tidak sia-sia saya berguru di SPN, walau SPN bukanlah tempat formal, bukan pula kelas menulis premium, namun nyatanya dengan keteladanan dan juga kewajiban untuk terus menulis akhirnya membuahkan hasil.
Saya sangat berterima kasih kepada guru-guru dan sahabat-sahabat di SPN, karena telah memprofokasi dan membakar semangat seluruh anggotanya untuk terus menulis dan berkarya. Karena sebagaimana yang dikatakan oleh sastrawan kondang dari Blora, Pramoedya Ananta Toer, bahwa : “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Selamat menulis, selamat berkarya dan selamat mengabadi bersama Sahabat Pena Nusantara. Salam Literasi.


*Joyojuwoto, Santri Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan, Lahir di Bangilan Tuban. Penulis aktif di www.4bangilan.blogspot.com. Saat ini telah menulis dua buku solo, Jejak Sang Rasul (Dreamedia: 2016); Secercah Cahaya Hikmah (Pustaka Ilalang: 2016) dan menulis beebrapa buku antologi. Silaturrahin bisa via WA 085258611993 atau email joyojuwoto@gmail.com.

Sabtu, 25 Februari 2017

Lesehan Literasi -12, Tragedi Cinta Ayah

Lesehan Literasi -12
Ayah : Tragedi Cinta Ayah


Lesehan Literasi Kali Kening -12, dilaksanakan di rumah Bakso Arebang  Jl. Raya Kablukan-Juron, Sabtu sore (25/02/2017). Peserta Lesehan Literasi sore itu cukup banyak dan sangat antusias, ada Mas Rohmat, Mbak Linda, Mas Ical, Mas Blind, Mas Adib, Mas Kafabih, Mas Faqih, Mbak Melfin, Mbak Tadzkirotul Ula, dan terbaru ada Mas Mursalin dan Mas Zakky. Sangat luar biasa. Dipertemuan kali ini Komunitas Kali Kening membahas Novel Ayah karya sastrawan besar dari Bumi Laskar Pelangi, Andrea Hirata. Novel Ayah ini akan dibahas dan diulas oleh salah satu dari Laskar Andreanis yang ada di kota Bangilan, yaitu Mbak Ayra Izzana Riyanti.

Sedikit akan saya sampaikan sekilas profil dari pentadarus di lesehan literasi, Mbak Ayra ini seorang novelis dan juga cerpenis hebat yang dimiliki oleh Kali Kening, beliau telah menulis novel dengan judul “Pesona Hati”, sayang novelnya ini raib entah kemana. Sekarang Mbak Ayra sedang menyelesaikan novel terbarunya. Untuk untuk lika-liku yang berkaitan dengan penulisan novel, atau mungkin tentang judulnya nanti bisa konfirmasi langsung saja dengan beliaunya. Selain matang dalam menulis novel, Mbak Ayra juga banyak menulis cerpen. Karya-karyanya sering diterbitkan di media online dan koran, di radar Bojonegoro.

Dalam membahas Novel Andre Hirata “Ayah”, Mbak Ayra mengambil sudut pandang tentang “Tragedi Cinta Sabari.” Sabari adalah tokoh dalam novel yang digambarkan sebagai seorang lelaki kurus kering kerontang, bergigi tupai, wajahnya berantakan, dan kupingnya lebar seperti kuping wajan.

Sosok Sabari ini jatuh cinta dengan seorang gadis yang bernama Marlena. Marlena adalah seorang gadis cantik yang bermata cerah, seperti bulan purnama di tanggal dua belas. Namun cinta Sabari kepada Marlena ini tidak terbalas. Marlena tidak pernah memiliki rasa cinta, bahkan kepada setiap lelaki yang menjadi suaminya. Mungkin suatu berkah bagi Sabari, akhirnya dia juga menjadi salah satu dari suami Marlena. Walau Sabari tdak pernah bertemu dan serumah dengan Marlena kecuali hanya empat hari saja, itu pun tidak berurutan.

Cinta Sabari kepada Marlena adalah cinta yang sangat tulus luar biasa. Hal ini seperti yang dikatakan Sabari, pada suatu ketika ia ditanya oleh Amiru (Zorro), anak Marlena yang entah dari bapak yang siapa. “Apakah engkau mencintai Ibu Marlena ? Sabari menjawab : “Dalam hidup ini semua terjadi tiga kali, pertama aku mencintai ibumu, kedua aku mencintai ibumu, ketiga aku mencintai ibumu.” Deikianlah gambaran cinta dari Sabari kepada Marlena.

 Amiru  atau Zorro ini sangat dicintai oleh Sabari dengan sepenuh cinta pula, separuh jiwanya ada pada Amiru. Dari mencintai Amiru dengan penuh cinta seperti seorang Ayah inilah judul Novel Andrea Hirata diciptakan. Menurut Mas Ikal Lurah Kali Kening, saat novel ayah ini terbit, orang-orang sama mengira bahwa sosok Ayah di sini tentu menggambarkan ayah dari Ical, tokoh yang diciptakan Andrea Hirata di npvel tetralogi Laskar Pelangi, namun setelah novel ini launcing ternyata dugaan orang-orang itu salah besar.

Mbak Linda, yang sebelumnya belum pernah membaca tulisan-tulisan dari Andrea Hirata ini mengomentari, seakan-akan penulis sangat kejam memposisikan seorang perempuan dalam tokoh novelnya, Walau demikian, kali ini mbak Linda merasa tertarik untuk membaca novel dari Andrea Hirata.

Menurut Mbak Melfin, yang tersakiti tidak hanya Sabari, tapi banyak lelaki lain yang juga dipermainkan oleh cinta Marlena, namun hanya Sabari saja yang sabar dengan cintanya kepada Marlena. Mbak Tadzkirotul Ula justru mempertanyakan tentang sosok Ayah di novel Andrea Hirata, padahal Sabari kan bukan ayah kandung dari Zorro.

Sedang Mas Rohmat dalam tanggapannya lebih banyak mengomentari tentang fenomenalnya tulisan Andrea Hirata, yang akhirnya banyak menginspirasi para praktisi pendidikan di tanah air mengenai model pendidikan yang dikembangkan dengan pendekatan multikulturalisme. Mas Rohmat yang juga seorang Pramis ini mengungkapkan tentang kritik Andrea Hirata terhadap sistem kapitalisme yang terjadi di daerah pertambangan timah itu.

Begitulah memang sebuah tulisan, baik itu novel, cerpen, essai, fiksi maupun non fiksi harus dan tidak boleh tidak menyuarakan pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, karena dari situlah nilai intrinsik maupun ekstrinsik sebuah tulisan dapat dijadikan pelajaran bagi para pembacanya. Masalah benar dan salah, kiri atau kanan adalah sebuah dinamika dan dialektika yang diserahkan sepenuhnya kepada pembaca, bagaimana pembaca bisa menangkap dan menafsirkan sebuah bacaan.


Saya sendiri juga sangat tertarik dengan perjalanan kisah dalam novel ini, walaupun saya belum pernah membacanya. Andrea Hirata selalu bisa membuat pembaca tersedih mengharu biru, sekaligus membuat pembaca terpingkal-pingkal dan terkosel-kosel silih berganti, dengan gaya kepenulisannya. Demikian seperti yang diungkapkan oleh Mbak Ayra. Yang pasti Andrea Hirata selalu bisa menggoreskan kesan eufoni ke dalam diri pembaca, setidaknya kepada saya sendiri, seperti ketika nisan dari Sabari diberi tulisan. “BIARKAN AKU MATI DALAM KEHARUMAN CINTA.” Salam Literasi.

Jumat, 24 Februari 2017

Saminisme dan Perlawanan Terhadap Kapitalisme

Saminisme dan Perlawanan Terhadap Kapitalisme
Oleh : Joyojuwoto

Saminisme merujuk pada sebuah ajaran kebatinan yang dibawa oleh Samin Surosentiko anak dari Bupati Sumoroto (sekarang Ponorogo), pada awal abad ke-20 yang menyebar di daerah pedalaman Bojonegoro, Tuban, Blora,  Rembang, Purwodadi, Pati,  dan daerah di sekitarnya. Walau pendirinya telah meninggal dunia di Sawah Lunto Sumatera Barat tahun 1914, pengaruh dari ajaran Samin Surosentiko ini masih dapat dijumpai hingga sekarang.

Pengikut ajaran Samin dikenal dengan sebutan Wong Sikep, atau Sedulur Sikep.  Di Kabupaten Bojonegoro terdapat komunitas masyarakat Samin yang berada di desa Margomulyo, di daerah Cepu juga ada yaitu di desa Tanduran Kec. Kedungtuban, di Blora masyarakat Samin berada di desa Karang Pace, Klopo Duwur, sedang lainnya menyebar di pegunungan Kendeng Utara dari Rembang hingga Pati Jawa Tengah.

Ajaran kebatinan Saminisme ini mengajarkan akan nilai kejujuran, kesabaran, berbuat baik terhadap sesama, meninggalkan iri, drengki, srei dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tingkah batin manusia yang berkenaan dengan Manunggaling Kawula Gusti.

Walaupun awalnya adalah sebuah aliran kebatinan, namun pada akhirnya gerakan Saminisme ini pernah membuat gempar pemerintah kolonial Belanda, orang-orang Samin ini melawan kolonial Belanda dengan cara  melakukan pembangkangan sosial secara masif. Namun pembangkangan yang dilakukan oleh pengikut  Samin ini dengan cara yang sangat unik. Ia membangkang namun seperti tidak membangkang, atau istilah lokalnya dikenal sebagai perilaku yang nyamin.

Logika dari nyamin ini menurut Gus Mus, dalam  khasanah pesantren dikenal dengan sebutan tauriyah. Tauriyah ini adalah sebuah lafal yang bermakna ganda, menurut yang berbicara bermakna A, namun yang ditangkap oleh si pendengar bisa bermakna B.  Bisa juga istilah nyamin ini disebut sebagai kata bersayab atau oleh masyarakat Banjarmasin disebut sebagai mahalabiu.

Mahalabiu ini menurut Ust. Salim A Fillah mirip overturned assumption. Apa yang dimaksud komunikator, disengaja untuk berbeda dengan maksud yang ditangkap komunikan. Rasulullah Saw pernah ternyata juga pernah melakukan hal ini, ketika beliau ditanya oleh seorang nenek “Ya Rasulallah, doakan agar aku kelak masuk surga” Rasulullah Saw, pun menjawab bahwa di surga tidak ada nenek-nenek.” Setelah si nenek menangis karena mendengar jawaban Nabi tersebut, kemudian beliau menerangkan bahwa seorang yang masuk surga besok akan menjadi muda kembali, demikian yang dimaksud Rasulullah Saw berbeda dengan apa yang ditangkap oleh si nenek tadi.

Metode nyamin yang dipakai oleh pengikut Samin Surosentiko sedikit banyak pun demikian, ketika mereka ditanya dari mana mereka akan menjawab dari utara, ketika ditanya mau kemana, mereka akan menjawab akan ke selatan, demikian seterusnya. Jawaban itu tentu tidak salah, tapi hal ini tentu membuat si penanya akan bingung dengan sikap nyamin ini. Begitupula perlawanan yang dilakukan oleh Wong Sikep dalam melawan penjajahan Belanda, mereka melawan segala bentuk kebijakan Belanda seperti tidak mau membayar pajak, tidak mau bekerja sama dengan Pemerintah, dan bahkan menebangi kayu hutan yang oleh Belanda telah ditetapkan sebagai wilayah houtvesterijen yaitu membatasi dan melarang akses rakyat ke dalam hutan dengan logika sederhana Samin, bahwa hutan adalah milik bersama.

Masyarakat Samin memiliki semboyan, “Lemah Padha Duwe, Banyu Padha Duwe, Kayu Padha Duwe” kurang lebih maknanya adalah “Tanah milik bersama, air milik bersama, pohon-pohon milik bersama.” dengan falsafah inilah pengikut Samin menolak membayar pajak kepada pemerintah Belanda, menolak larangan menebang pohon di hutan. Bagi masyarakat Samin tanah dan hutan adalah milik bersama yang tidak boleh salah satu pihak menguasainya dan menghalangi pihak lain untuk memanfaatkannya.

Dalam ajaran Islam sendiri, terdapat sebuah hadits yang melarang individu atau kelompok menguasai tiga hal yang berkenaan dengan hajat hidup orang banyak.  Dalam sebuah haditsnya Rasulullah Saw, bersabda :

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ

Artinya : “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.”  (HR Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi dan Ibn Abi Syaibah).

Sekilas ajaran yang dibawa oleh Samin Surosentiko ini hampir mirip dengan ajaran Islam dalam hal memandang pengelolaan sumber daya alam, dan juga hampir serupa dengan sosialis-komunisme yang berusaha melawan hegemoni sistem kapitalisme, sehingga para pengikut ajaran saminisme di era Orba tiarap karena harus berhadap-hadapan dengan penguasa saat itu. Bahkan tidak jarang para pengikut dari ajaran samin ditangkap dan diinterograsi oleh pihak pemerintah daerah karena ajaran saminisme lebih dianggap berafiliasi pada ajaran sosialis-komunisme yang menjadi musuh utama Orba.

          Ciri dari kapitalisme adalah menguasai sumber daya alam demi kepentingan segelintir orang dan mengabaikan kepentingan bersama. Hal ini yang oleh Samin Surosentiko ditentang dengan logika nyleneh  ala nyaminismenya. Mau tidak mau perlawanan masif yan dibangun oleh Samin mendapat reaksi keras dari Belanda, sehingga Samin Surosentiko dengan beberapa anak buahnya ditangkap oleh Belanda kemudian diasingkan ke Sawah Lunto, hingga meninggal dunia di sana.


          Gerakan pembangkangan yang dilakukan oleh para petani dari pedalaman Blora ini tidak serta merta padam dengan ditangkapnya Samin Surosentiko, ajaran saminisme masih terus ada dan lestari bahkan hingga sekarang. Walau tentu pembangkangan itu sudah tidak lagi dilakukan di era pemerintahan yang sekarang. Namun kearifan dan nilai-nilai lokal ajaran samin masih bisa kita jumpai di tengah-tengah masyarakat Samin yang sekarang.

Kamis, 23 Februari 2017

Menikmati Hangatnya Wedang Ronde dan Sate Kelinci di Sarangan

Tidak lengkap rasanya ke Magetan kalau tidak mampir di Telaga Sarangan, sebuah tempat rekreasi alam yang menawarkan panorama waduk dan jenjang-jenjang perbukitan yang menghijau. Sepanjang memandang mata kita akan dimanjakan dengan hamparan sawah dan kebun-kebun sayuran petani di lereng gunung Lawu yang indah mempesona.

Baru pertama kalinya sore itu saya berkunjung ke Sarangan, Setelah perjalanan Ziarah dari Madiun, bersama satu rombongan Elf, kami mampir ke Sarangan untuk menikmati kesejukan udara telaga Sarangan.

Tuhan Maha Indah, menyukai hal-hal yang indah, dan menciptakan alam dengan penuh keindahan. Telaga Sarangan dalam balutan senja yang mempesona adalah karunia Tuhan yang perlu disyukuri dan dinikmati.

Senja yang menawarkan kedamaian dengan segala dinamika orang-orangnya di pinggiran telaga, penjaja jajanan khas seperti keripik singkong, keripik ubi manis, keripik bayam, brem dan aneka jajanan lainnya. Pedagang kaki lima dengan sate kelincinya, jagung bakar, pisang keju, dan tak kalah manisnya wedang ronde yang menghangatkan suasana dinginnya telaga di lereng gunung Lawu.

Menikmati sate kelinci dan mereguk semangkuk wedang ronde di tepi telaga sarangan adalah pilihan yang tepat, apalagi udara yang sore yang mulai dingin. Selain itu kita juga bisa menikmati hangatnya jagung bakar yang banyak dijual oleh para pedagang. Senjamu akan sangat indah dengan itu semua, kawan.


Selain beraneka macam kuliner yang dapat dinikmati oleh pengunjung,  di telaga Sarangan ini juga ada wisata naik kuda yang mengelilingi telaga, atau pengunjung juga bisa naik speedboad yang bisa menaikkan frekuensi degup jantung dengan manuver-manuvernya.

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang akan kamu dustakan ? begitu dalam kitab suci Tuhan mengingatkan, akan segala nikmat yang telah dianugerahkan kepada manusia, sayang ,manusia kadang kurang memperhatikan dan kurang dalam mensyukurinya.

Berwisata alam berarti membaca alam, sedang membaca alam adalah cara lain kita dalam berguru kepada-Nya, karena alam adalah bagian dari lembaran ayat-ayat suci Tuhan  dari firman-Nya yang tidak tertulis di bentangan alam semesta. Sudahkan Anda berwisata hari ini ? salam.


Rabu, 22 Februari 2017

Sendang Nganget Petirtaan Zaman Majapahit

Sendang Nganget Petirtaan Zaman Majapahit
Oleh : Joyojuwoto

Sesuai dengan namanya sendang Nganget adalah sebuah sendang yang airnya anget (hangat), sendang ini berada di lereng sisi barat gunung Lodito, sebuah gunung purba yang telah mati dan hanya menyisakan bukit yang tidak terlalu tinggi. Sendang Nganget letaknya ini secara geografis berada di perbatasan tiga desa, yaitu desa Kedungjambangan Kec. Bangilan, desa Sidotentrem Bangilan dan desa Sidorejo Kec. Kenduruan.

Sendang Nganget yang berada di lereng gunung Lodito ada dua tempat, satunya yang sendang Nganget Wedok, dan yang kedua bernama sendang Nganget Lanang. Nganget Wedok ini yang sering dijadikan jujugan warga untuk berobat, sedang Nganget Lanang berada di sisi barat sekitar 500 meter dari Nganget Wedok. Nganget Lanang tidak ada sendangnya, hanya berupa belik-an kecil yang ada pancurannya. Oleh karena itu oleh warga disebut sebagai Nganget Lanang.

Sendang Nganget ini dipercaya oleh masyarakat bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit, tidak hanya sekedar penyakit ringan seperti gatal-gatal, panu, kadas, dan kurap saja, namun juga penyakit berat seperti stroke pun bisa sembuh jika mau berobat di sendang ini. Begitu kepercayaan dari masyarakat.

Warga dari wilayah Kab. Jawa Tengah yang banyak datang untuk berobat, karena menurut kepercayaan warga, sendang Nganget memang sangat cocok dengan warga dari wilayah baratnya Nganget. Entah hal ini kebetulan atau karena faktor apa, yang jelas begitulah kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat.

“Orang yang berobat di sini kebanyakan dari Jawa Tengah, banyak yang jodo dan sembuh setelah berendam di sini” ujar salah seorang pengunjung.

Walau demikian bukan berarti masyarakat yang tinggal di sebelah timurnya Nganget tidak ada yang datang. Masyarakat sekitar pun sangat antusias dengan pemandian yang ada di hutan KPH Jatirogo ini. Mulai dari sekedar keperluan mandi berendam di airnya yang hangat, dan juga tempat ini digunakan sebagai wisata lokal.

Selain itu sendang Nganget juga biasa dipakai untuk bumi perkemahan (buper), lokasinya di sebelah baratnya Nganget Wedok. Lokasi Buper di Nganget ini tidak terlalu luas, sehingga cocok dipakai untuk kegiatan kemah Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) atau kemah-kemah lain yang pesertanya tidak terlalu banyak.

Selain tempatnya yang nyaman dan asri, di lokasi Nganget ini juga telah dilengkapi sarana MCK sehingga pengunjung atau peserta perkemahan bisa lebih nyaman ketika berkemah dan berwisata di tempat ini.

Menurut foklore masyarakat setempat, sendang Nganget berhubungan erat dengan legenda pertarungan Resi Blacak Ngilo melawan Sunan Bonang. Sebaimana cerita-cerita legenda selalu ada kejadian yang kadang tidak masuk di akal, termasuk munculnya cerita sumber air Nganget dari bekas tancapan tongkatnya Sunan Bonang yang akhirnya menjadi sebuah sendang ini.

Terlepas dari legenda di atas, Sendang Nganget memang punya cerita sejarah yang buram, tidak ada satu pun sumber tertulis atau prasasti yang ditemukan mengenai tempat ini. Menurut perkiraan penulis, sendang Nganget dulunya kemungkinan adalah sebuah petirtaan di zaman Majapahit. Hal ini diketahui dari peninggalan pondasi bangunan dan batu bata merah yang identik dengan batu bata era kerajaan Majapahit.

Batu bata kuno di bekas bangunan di Nganget tidak sama dengan batu bata yang sekarang, ukurannya lebih besar dan lebih tebal. Saya pernah melihat jenis batu bata ini sama persis dengan model batu bata di petilasanya Empu Supa di Kayangan Api yang berada di Kec. Ngasem Kab. Bojonegoro. Dari sinilah saya berasumsi sendang Nganget telah ada sejak zaman Majapahit. Kemungkinan dulunya adalah sebuah petirtaan.

Bekas sisa bangunan kuno itu sekarang masih ada, tepatnya berada di sisi selatan dari lokasi perkemahan, atau di sebelah baratnya mushola yang dibangun oleh Mbah Kasrah, ada gundukan tanah yang agak tinggi yang dikeramatkan oleh warga.

“Pak, nanti siswa-siswinya jangan boleh bermain-main di tanah gundukan itu ya ! itu sisa bangunan kuno, tidak apa-apa, cuma jaga-jaga saja agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.” Kata salah seorang penjaga pemandian saat kemarin saya bersama beberapa asatidz mengantarkan siswa-siswi KMI ASSALAM Bangilan Tuban untuk berkemah di sana.

Selain gundukan tanah sisa bangunan kuno, ada lagi tempat yang juga dianggap keramat. Tepatnya di sisi timur dari bangunan warung yang dibangun oleh warga.

“Di sisi timur, di lereng gunung Lodito di belakang warung itu ada lokasi yang juga keramat, di situ ada ular ghaibnya” Kata ustadz Marwan yang kemarin ikut memberikan pembekalan kepada para peserta kemah.

Kepercayaan dan kearifan lokal masyarakat di sekitar lokasi Nganget perlu kita hormati, walau semua tetaplah kembali kepada kekuasaan Tuhan. Yang pasti di manapun bumi kita pijak, di situ langit harus kita junjung bersama.

Selasa, 21 Februari 2017

Bahtera Nabi Nuh dan Kan’an

Bahtera Nabi Nuh dan Kan’an
Oleh : Joyojuwoto

Kisah Nabi  Nuh dengan salah satu anaknya yang bernama Kan’an diabadikan oleh Allah Swt, di dalam Al Qur’an surat  Hud ayat 42-45. Sebagai seorang Rasul yang menyeru umatnya untuk beriman kepada Allah, Nabi Nuh berdakwah dengan sungguh-sungguh di tengah-tengah kaum yang mendustakannya, walau dakwahnya tidak banyak yang menggubrisnya.

Selama berdakwah kurang lebih 500-an tahun, Nabi Nuh lebih banyak dihina dan dikatakan sebagai orang gila oleh kaumnya. Walau demikian beliau terus mendakwahkan ajaran tauhid, ada sekitar 80 orang yang mau mengikuti ajaran Nabi Nuh, sedang lainnya tetap dalam kesesatan.

Nabi Nuh pun tentu tidak lupa mengajak pula keluarganya untuk beriman kepada Allah. Namun Sayang istri (Q.S. At-Tahrim : 10) dan anaknya yang bernama Kan’an ingkar dan tidak mau mengikuti seruan ayahnya.

Karena kedurhakaan umatnya semakin menjadi-jadi akhirnya Allah memerintahkan kepada Nabi Nuh untuk membuat sebuah bahtera di atas sebuah bukit. Dalam surat Hud ayat : 38 Allah Swt, berfirman :

وَيَصْنَعُ الْفُلْكَ وَكُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ مَلأ مِنْ قَوْمِهِ سَخِرُوا مِنْهُ قَالَ إِنْ تَسْخَرُوا مِنَّا فَإِنَّا نَسْخَرُ مِنْكُمْ كَمَا تَسْخَرُونَ (٣٨)

Artinya : “Dan mulailah Nuh membuat bahtera. dan Setiap kali pemimpin kaumnya berjalan meliwati Nuh, mereka mengejeknya. berkatalah Nuh: "Jika kamu mengejek Kami, Maka Sesungguhnya Kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami).”

Sebagaimana yang disebutkan di ayat tersebut di atas, Nabi Nuh selalu diejek oleh kaumnya, hingga Allah Swt menurunkan adzab berupa hujan deras yang turun selama satu bulan. Orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Nuh dinaikkan bahtera. Banjir besar pun menenggelamkan seluruh kaum Nabi Nuh termasuk istri dan anaknya yang durhaka dan tidak mau menumpang di dalam bahtera Nabi Nuh.

Sebagai seorang ayah, tentu Nabi Nuh tidak ingin anaknya mati tenggelam, beliau pun memanggil-manggil anaknya :

“Wahai anakku ! Naiklah (ke kapal) bersama kami daan jangan engkau bersama orang-orang kafir.”

Kan’an pun menjawab dengan penuh sombong seruan dari ayahnya itu :
“Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkan aku dari air bah !

Nabi Nuh sangat sedih melihat anaknya tetap tidak mau mengindahkan ajakannya untuk naik ke atas bahtera, dengan penuh harap nabi Nuh berusaha menyadarkan anaknya :

“Tidak ada yang melindungi dari siksaan Allah pada hari ini selain Allah yang Maha Penyayang.”

Akhirnya sebuah sapuan gelombang besar pun menenggelamkan tubuh Kan’an yang terapung-apung di air, anak yang durhaka kepada ayahnya itu pun akhirnya hilang dalam pusaran air bah yang melanda.

Bencana air bah yang diturunkan oleh Allah Swt telah menenggelamkan seluruh kaum Nabi Nuh tak tersisa, kecuali para pengikutnya dan hewan-hewan berpasangan (jantan dan betina) yang ikut naik di atas bahtera Nabi Nuh.

Pada hari itu tidak ada perlindungan yang mampu menyelamatkan kaum yang durhaka dari terjangan air bah. Siapapun juga yang tidak berada di barsaan Nabi Nuh tenggelam tak tersisa, tidak juga bukit dan gunung-gunung yang tinggi mampu menyelamatkan mereka.

Kisah bahtera Nabi Nuh dan anaknya Kan’an adalah sebuah pelajaran berharga yang dapat kita petik, bahwa siapapun yang ingkar dan tidak mau berada dalam barisan Nabi Nuh, pasti lambat laun akan tenggelam dalam pusaran air bah. Dan kisah seperti ini pun akan terus terulang sepanjang perjalanan sejarah umat manusia, walau mungkin dengan cerita, setting dan model yang berbeda namun alurnya akan tetap sama. Karena sejarah pasti berulang.

Salam,
Joyojuwoto, Santri PP. ASSALAM Bangilan Tuban.




Senin, 20 Februari 2017

Inilah Pendidikan Luqman Al Hakim Kepada Anaknya

Inilah Pendidikan Luqman Al Hakim Kepada Anaknya
Oleh : Joyojuwoto

Nama Luqman Al Hakim diabadikan oleh  Allah Swt. di dalam Al Qur’an sebagai contoh teladan dan pelajaran bagi orang tua dalam mendidik anak-anaknya.  Di dalam Al Qur’an Luqman Al Hakim disebutkan sebanyak dua kali :

Pertama dalam surat Luqman ayat 12  :

وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (١٢)

12. dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".

Kedua dalam surat Luqman ayat 13 :

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (١٣)

13. dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".

Nama Luqman Al Hakim ini sebenarnya telah menjadi legenda perbincangan di kalangan masyarakat Jazirah Arab sebagai seorang yang bijaksana, penuh hikmah, dan menginspirasi.

Mengenai siapa sebenarnya Luqman Al Hakim ini banyak ulama berbeda pandangan, ada yang mengatakan bahwa Luqman adalah salah satu keturunan dari Azar (Ayah Nabi Ibrahim), ada yang mengatakan ia adalah anak laki-laki dari saudara perempuan Nabi Ayyub, ada pula yang bilang ia adalah seorang qadhi Bani Israel, dan beberapa pendapat lain yang berbeda. Yang jelas Luqman Al Hakim yang diabadikan di dalam Al Qur’an adalah seorang dari keturunan kulit hitam yang dimuliakan oleh Allah Swt.

Di dalam Al Qur’an sendiri tidak ada keterangan secara detail dan jelas siapa Luqman Al Hakim, namun beliau adalah seorang pribadi yang besar dan mulia sehingga Allah Swt. mengabadikan namanya menjadi salah satu surat yang ada di dalam Al Qur’an.

Nama Luqman Al Hakim ini identik dengan wasiat-wasiatnya yang menginspirasi di dalam memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Setidaknya ada enam pendidikan yang beliau sampaikan kepada anaknya sebagaimana yang termaktub di dalam Al Qur’an surat Luqman, diantaranya dalam ayat 12, 13, 14, 16, 17, 18, dan 19 :

1.   Bersyukur kepada Allah (Q.S. Luqman : 12)
12. dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
2.   Tidak Mempersekutukan Allah (Q.S. Luqman : 13)
13. dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
3.   Berbuat baik kepada kedua orang tua (Q.S. Luqman : 14)
14. dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun[1180]. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
4.   Tidak ada yang tersembunyi di hadapan Allah (Q.S. Luqman : 16)
16. (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui.
5.   Memerintahkan untuk mendirikan shalat, mengerjakan amar ma’ruf nahi munkar dan pentingnya sebuah kesabaran (Q.S. Luqman : 17)
17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
6.   Tidak bersikap angkuh dan sombong terhadap sesama manusia (Q.S. Luqman : 18)
18. dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
7.   Sederhana dalam berjalan dan berbicara (Q.S. Luqman : 19)
19. dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
Demikian beberapa pelajaran penting dalam pendidikan anak yang diwasiatkan oleh Luqman Hakim kepada anaknya yang diakui oleh Allah Swt di dalam Al Qur’an sebagai pedoman nasehat bagi orang tua dan bagi para pendidik. Semoga bermanfaat.

Jumat, 17 Februari 2017

Memilih Istri Yang Sholihah

Memilih  Istri Yang Sholihah
Oleh  : Joyojuwoto

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr ‘Ash , Rasulullah Saw bersabda :

الدُّنْيا مَتَاعٌ, وخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيا المَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

Artinya : “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah istri shalihah”

          Istri dalam istilah jawa disebut garwa, yaitu dari sebuah tembung  yang berasal dari kalimat sigaraning nyawa (Separuhnya nyawa). Jadi istri adalah bagian yang tidak terpisah dari seorang suami, baik secara lahiriah maupun ruhiyah. Istri adalah bagian dari suami itu sendiri, begitu pula suami bagian yang tidak terpisah dari seorang istri.

          Oleh karena itu, Rasulullah Saw menganjurkan untuk memilih istri yang baik, karena istri yang baik dan shalihah adalah sebaik-baik perhiasan di dunia. Istri adalah pendamping hidup di dunia, jika pendamping kita baik, maka baik pula urusan kita di dunia, begitupula sebaliknya jika pendamping kita jahat tentu akan membuat kehidupan dunia kita juga sengsara.

          Diantara metode untuk memiliki anak yang sholihah adalah dengan cara memilihkan calon untuk anak-anak kita ibu yang sholihah. Seorang ibu yang sholihah, secara DNA telah mewariskan kebaikan-kebaikan untuk calon anak-anaknya. Selain pewarisan kebaikan secara genetis, tentu ibu yang sholihah akan memberikan keteladanan yang baik untuk anak-anaknya kelak.

          Mbah Moen Sarang (KH. Maimoen Zubair) pernah dawuh, jika ingin memiliki anak yang alim dan sholeh, maka dalam memilih istri hendaknya mencari wanita yang wira’i dan sufi, “Nek milih bojo iku sing ora patiyo ngerti dunyo. Mergo sepiro anakmu sholeh, sepiro sholehahe ibune”, begitu dawuh beliau.

          Di dalam Al Qur’an istri disebut sebagai ladang, “Nisaa’ukum harsul lakum” istrimu adalah ladang tempatmu bercocok tanam. Jika ladang kita subur maka bibit yang kita tanam akan tumbuh berkembang dengan baik, begitu juga jika ladangnya kering kerontang, sebaik apapun bibit yang kita tanam tidak akan tumbuh dengan baik.

          Oleh karena itu pilihlah ladang yang baik dan subur untuk bibit yang akan kita tanam, agar kelak menghasilkan tanaman yang baik dan bermanfaat. Dalam khasanah masyarakat Jawa dalam memilih jodoh itu harus mempertimbangkan bibit, bobot, dan bebetnya.

          Bibit adalah melihat asal-usul atau keturunan. bibit ini tentu sangat penting walaupun tidak mutlak, karena kadang pula ada seorang yang baik terlahir dari keturunan yang tidak baik. Tetapi bibit ini menjadi salah satu faktor dalam memilih jodoh, karena kita tentu tidak mau membeli kucing dalam karung bukan ?

          Sebagaimana bentuk fisik seperti warna rambut, warna kulit, tinggi badan dan sebagainya yang menurun kepada anak-anaknya, tentu secara kejiwaan juga ada hal-hal yang diwariskan kepada keturunannya. Oleh karena itu bibit ini sangat penting untuk memilih calon istri maupun calon suami. Karena hanya sumber yang jernih yang akan mengalirkan air yang jerih pula.

          Bobot adalah kualitas dari calon yang akan kita pilih, baik secara  lahiriah maupun batiniah.  Kualitas diri seseorang tentu sangat penting sekali, oleh karena itu jika kita ingin mencari jodoh yang berkualitas maka kita juga harus memantaskan diri. Dalam bahasa Al Qur’an dinyatakan “lelaki yang baik akan mendapatkan wanita yang baik pula”

          Bebet adalah status sosial dalam masyarakat. Bebet ini di posisi yang ketiga atau terakhir, karena memang status sosial atau harkat dan martabat juga penting, walaupun tidak menjadi sebuah prioritas. Jika bebet ini dalam rangka mencari orang yang baik dan orang yang bermanfaat tentu tidak ada salahnya sama sekali justru sangat dianjurkan untuk menjadi orang yang bermartabat. Daripada memilih orang yang tidak memiliki peran kebaikan apapun untuk lingkungannya. Jadi bebet di sini bukan untuk gaya-gayaan dan sombong-sombongan tapi murni mencari kebaikan baik untuk rumah tangga yang akan kita bangun dan untuk masyarakat yang kita tempati.

          

Minggu, 12 Februari 2017

Membaca Pram : Hidup, Karya, dan Penjara

Membaca Pram : Hidup, Karya, dan Penjara
Oleh : Joyojuwoto

Idealnya untuk membaca seorang Pram (Pramoedya Ananta Toer), hendaknya kita harus menyelami huruf per huruf, kata per kata dan kalimat per kalimat dari samudera karya-karya beliau yang sangat dalam dan luas. Ada banyak karya yang ditulis oleh seorang sastrawan ternama dari kota Blora ini. Ada puluhan judul tulisan yang ia hasilkan, entah itu yang sudah terbit atau yang hilang karena sikap vandalisme dari kelompok-kelompok tertentu yang tidak menyukainya.

Tapi begitulah seorang Pram, ia ibarat samudera luas yang tak terbatas. Gelegak dan gelombang jiwanya meletup-letup, menebar angin badai dan amukan topan yang menerjang tatanan karang-karang kesombongan dan kepongahan kaum feodalistik. Dengan kalam dan qalam-nya, pram mampu membangkitkan daya energi kata yang maha dahsyat, untuk membela kemanusiaan dan keadilan dengan suara yang lantang, dan ini hanya bisa dilakukan oleh seorang lelaki pemberani.

Pram menurut saya adalah sebuah fenomena, dalam sejarah panjang bangsa ini, belum tentu kan lahir Pram-Pram yang lain. Jika dalam urusan agama, Rasulullah Saw bersabda :

إنّ اللهَ يبعثُ لهذهِ الأمّةِ على رأسِ كلِّ مِائَةِ سنةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لها دينَها

Artinya : Sesungguhnya Allah akan mengutus (menghadirkan) bagi umat ini orang yang akan memperbarui urusan agama mereka pada setiap akhir seratus tahun. (HR. Abu Dawud, No. 4291)

Ketika Pram masih di penjara di pulau Buru Prof. Teeuw pernah menulis “kendati apa pun dikatakan mengenainya, Pramoedya tetap merupakan penulis yang hanya satu lahir dalam satu generasi, bahkan satu dalam satu abad.”

Maka jika boleh saya ibaratkan, atau saya kiaskan sebagaimana hadits di atas, Pram dengan segala kekurangan dan kelebihannya adalah seorang tokoh pendobrak dan pembaharu dalam term dunia sastra Indonesia. Seperti yang sering saya tulis, bahwa tulisan itu seharusnya tidak hanya sekedar bunga-bunga kata tanpa makna, namun lebih dari itu tulisan harus memberikan ruang bagi peri-kehidupan sosial di tengah-tengah masyarakat. Atau lebih tepatnya Pram selalu memegang teguh kredo sastra sebagai realisme sosial.

Keterpihakan karya Pram terhadap isu-isu sosial inilah yang menurut saya menjaga ruh dan nilai dari karya-karya Pram untuk terus hidup dan selalu hadir di setiap tikungan sejarah. Pram menurut saya tidak hanya sekedar penulis, tidak hanya sekedar sastrawan, namun melaui karya-karyanya Pram adalah sosok pejuang kemanusiaan. Ilmuwan dan kritikus sastra Indonesia A. Teeuw menulis “Pramoedya Ananta Toer-De Veerbelding Van Indonesie, lebih lanjut A. Teeuw mengatakan bahwa “... bagi Pramodya Ananta Toer menulis adalah berjuang untuk kemanusiaan. 

Jika kita membaca Pram, akan kita dapati Pram adalah sosok yang penuh idealisme, keras kepala, dan tidak pernah mau menundukkan kepala di hadapan siapapun juga. Walau diancam penjara, dipopor gagang bedil, Pram tak pernah takut, Pram tak pernah ciut nyali. Pram adalah lelaki pemberani, itu pula yang sering ia katakan “Kalau mati, dengan berani; kalau hidup dengan berani Kalau keberanian tidak ada, itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita.”

Pram itu ibarat api yang berkobar-kobar, api yang melawan segala bentuk kebekuan zaman, api yang akan membakar dan menghanguskan tembok-tembok feodalistik yang mengekang zaman. Pram sama sekali tidak ada kata kompromi, dalam kamus hidupnya hanya ada satu kata “Lawan segala kesewenang-wenangan.” Jadi tidak mengherankan jika hidupnya dipenuhi dengan drama di balik penjara.

Hampir separoh hidupnya, Pram ada di balik penjara mulai penjara zaman kolonial hingga penjara saat matahari kemerdekaan terbit dari ufuk cakrawala bumi Nusantara. Ya mungkin begitulah garis takdir yang dipilihkan Tuhan untuknya.

Penjara mungkin mampu mengurung dan membatasi gerak fisik manusia, namun penjara tidak pernah mampu membatasi gerak batin dan gerak jiwa seseorang. Lihatlah betapa banyak karya-karya besar dan monumental yang lahir dari balik jeruji penjara. Sayyid Qutub menulis tafsir Fi Dzilalil Qur’an saat beliau di penjara, Buya Hamka menghasilkan karua tafsir Al Azhar juga saat dipenjara oleh rezim penguasa, dan Pram pun melahirkan Tetralogi Pulau Buru pun saat ia di asingkan dan di penjara.

Penjara bagi sebagian orang adalah tempat yang sangat mengerikan, keterasingan dan isolasi sosial yang menakutkan. Bahkan penjara adalah label yang negatif bagi pandangan masyarakat kita. Padahal banyak orang yang dipenjara bukan karena perbuatan buruknya, bukan karena kejahatannya, justru mereka dipenjara karena keteguhannya dalam beridealisme. Seperti tokoh-tokoh yang saya sebutkan di atas.

Sebagaimana manusia lumrah, Pram juga tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Jika kita ingin membaca Pram secara utuh memang idealnya harus kita khatamkan seluruh karya-karya Pram. Itu pun belum menjamin mampu membaca secara objektif seorang Pram. Oleh karena itu sebagaimana yang sering Pram katakan “Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”

Agar ada keseimbangan dan keadilan, saya juga akan mengupas sedikit tentang sisi lain Pram, selain sebagai seorang yang memegang teguh aliran sastra realisme sosial. Sebagai seorang yang dituduh menganut paham kiri (baca komunis), Pram memang seakan memiliki perasaan yang sentimentil terhadap sesuatu yang berbau Islam. Pram seperti sangat membenci dan anti terhadap simbol-simbol santri.

Dalam beberapa karyanya yang sempat saya baca, ada aroma permusuhan yang memang diciptakan oleh Pram kepada kaum santri. Sebagai seorang yang matang dalam dunia sastra, ia memang tidak secara frontal berkonfrontasi dengan simbol ajaran Islam. Ada beberapa hal yang kadang seakan-akan nuansa kebencian itu ia tuliskan. Seperti dalam kisah Gadis pantai, Midah, kemudian juga dalam karya Arus Balik.

Jika sekilas kita memandangnya mungkin pandangan bahwa Pram anti Islam itu ada, namun jika kita berfikir jernih maka bisa dikatakan Pram hanya benci kepada para pemeluk agama Islam yang tidak mengaplikasikan Islam dengan sebenar-benarnya, bukan pada ajaran Islamnya. Menurut saya, semua saya serahkan kepada pembaca, bagaimana ia menafsirinya. Karena bagaimanapun pembaca berhak untuk itu semua.

Sebagai manusia dengan idealismenya saya kira lumrah kita berpihak pada apa dan siapa. Tidak ada kata netral dalam kehidupan, diakui atau tidak pasti kita punya ambisi dan keberpihakan, dan itu sah dan lumrah, yang terpenting kita bisa bertanggungjawab atas pilihan kita masing-masing. Bertanggungjawab kepada nilai kemanusiaan maupun nilai ketuhanan.
Sekian terima kasih.


Disampaikan dalam Ngaji Literasi Komunitas Kali Kening #11

Banjarworo, 12/02/17