Rabu, 11 Januari 2017

Seruling Senja

Seruling Senja
Oleh : Joyo Juwoto

“Gimana Ngger, bapak dan Emak tidak sanggup menyekolahkanmu ke SMP ? Tidak ada biayanya”

Suara bapak pelan namun agak bergetar, mungkin beliau menahan berbagai perasaan yang berkecamuk dalam dirinya sendiri, pertarungan batin antara kecewa, marah, dan ketidakberdayaan menghadapi kenyataan bahwa anaknya hanya akan lulus Sekolah Dasar saja, tanpa sanggup melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Aku hanya diam tertunduk, keinginanku untuk bisa sekolah di kota kecamatan akan kandas walau sebenarnya aku sangat menginginkannya. Aku ingin seperti teman-teman sebayaku, yang setelah lulus dari SD di kampung, mereka melanjutkan sekolah ke SMP yang ada di kota kecamatan.

Betapa riang dan gembiranya mereka, senyum anak-anak yang mulai menginjak remaja dengan semangat dan harapan serta cita-cita yang melambung tinggi di angkasa. Tiap pagi mereka akan memakai seragam yang tidak lagi merah putih, seperti waktu di SD, bersepatu rapi, menenteng tas di punggung, tiap pagi hari mengayuh harapan dengan riang, bersama-sama berangkat sekolah ke tempat yang lebih jauh lagi, yaitu di kota Kecamatan.

“Ah bahagianya mereka yang  bisa melanjutkan sekolah ke SMP, mereka akan memiliki teman-teman baru, pengalaman baru, dan tentu mereka akan sering melihat mobil yang ada di jalan-jalan besar di kota kecamatan” batinku sambil tetap terdiam di hadapan bapak.

Bapak masih duduk di dingklik sambil menghabiskan lintingan kreteknya yang terbuat dari klobot jagung. Kadang beliau terbatuk-batuk karena kreteknya hanya berisi tembakau magak yang tidak ada campuran cengkehnya. Bisa rokokan seperti itu saja sudah suatu keberuntungan di tengah kondisi ekonomi yang memang serba susah. Sesekali beliau menarik nafas panjangnya, kemudian melepaskannya pelan-pelan. Seakan ingin membuang beban kehidupan yang menghimpit dadanya yang ceking itu dengan perlahan.

“Aku harap kamu tidak kecewa dengan keputusan bapak dan emak, tahun depan kalau ada rejeki kamu boleh melanjutkan sekolahmu” lanjut bapak agak ragu sambil memberikan harapan kepadaku yang masih terdiam di depannya.

“Tidak papa bapak aku tidak jadi melanjutkan ke SMP, toh di rumah bisa membantu bapak dan  emak di sawah, kalau tidak begitu aku mau jadi pangon sapi  di Ndoro Bandi, nanti kalau dapat bagian akan kupergunakan untuk biaya sekolah di tahun depan”

Bapak sebenarnya kurang setuju aku jadi pangon, walau sebenarnya pekerjaan pangon sudah kuakrabi sejak kecil. Menggembala sapi, menyabit rumput, membersihkan kandang sapi, ngguyang sapi di kali, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang berkenaan dengan dunia seorang gembala.

Aku sangat mencintai dunia gembala, siang hari biasanya kami membawa sapi-sapi ke tepi hutan untuk merumput, di sana bersama gembala lain yang juga anak-anak sekampungku akan bersama menunggui sapi-sapi itu dengan berbagai kesibukan yang menyenangkan. Mulai dari mencari belalang, jamur, burung dan buah-buahan liar di hutan.

Menjelang senja berwarna jingga, kami akan menggiring sapi-sapi pulang ke kandang, kami kadang menaiki punggung sapi sambil berdendang riang dengan seruling yang mendayu memenuhi lembah dan sawah. Sebelum sampai rumah, sapi-sapi itu akan melepas lelah untuk minum dan mandi di kedung sungai yang jernih. Kami pun mandi bersama sapi-sapi itu.

Walau demikian, menjadi seorang pangon bukanlah pekerjaan yang enak, walau nanti sang pangon dapat paroan dari anak-anak sapi yang digembalakannya, biasanya satu tahun berlalu sapi baru akan punya seekor anak, dan itu menjadi haknya Ndoro, di tahun berikutnya jika sapi beranak lagi baru menjadi haknya pangon. Hampir selama dua tahun pangon bekerja keras siang dan malam pada seorang Ndoro tanpa dibayar. Baru di akhir tahun kedua pangon akan mendapatkan haknya, seekor Pedet. Setelah itu terserah sama pangon, ingin melanjutkan menjadi pangon atau memutuskan untuk keluar saja.

Bapak punya dua ekor sapi, sapi itu dipakai untuk mengerjakan ladang yang hanya beberapa petak saja. Akulah yang bertanggungjawab mengurusi sapi-sapi itu. Jika tidak pada masa menggarap ladang dan sawah, sapi itu aku gembalakan di padang rumput di tepi hutan, kalau tidak gitu, aku harus menyabit rumput untuk persediaan makanan sapi.

“Kamu tidak perlu menjadi pangon, kedua sapi itu saja kamu urusi. Carikan rumput atau bawa ke tepi hutan biar mencari rumput segar di sana. Nanti jika si babon beranak juga bisa kamu pakai untuk biaya sekolah” Kata bapak menjawab keinginanku untuk menjadi pangon.
***

Siang hari setelah dari sekolah biasanya aku pergi ke tepi hutan untuk menggembalakan sapi, kalau tidak begitu ya mencari rumput di tegalan, pada malam harinya kami anak-anak kampung pergi ke langgar untuk mengaji dan tidur di sana. Anak lelaki usia delapan hingga sepuluh tahun di kampungku pantang tidur di rumah, mereka biasanya akan tidur bersama-sama di langgar kampung.

Tapi kali ini beda, pagi hari aku sudah tidak sekolah, karena memang aku tidak melanjutkan ke SMP idaman di kota kecamatan. Aku jadi banyak waktu nganggur di rumah. Walau nanti siang dan malam hari aktivitasku tetaplah sama, bersama teman-teman menggembalakan sapi dan malam harinya mengaji di langgar.

Tiap pagi sekarang kesibukanku berubah, jika dulu setelah bangun pagi, mandi, sarapan pagi, kemudian pergi ke sekolah di SDN Sidotentrem II yang tidak begitu jauh dari rumah. Sekarang pagi hari aku harus mencari kesibukan baru, jika teman-temanku pergi mengayuh sepedanya ke kota kecamatan, sedang diriku pagi hari harus segera mencari rumput untuk si babon, agar si babon cepat gemuk dan segera bunting.


Bagaimanapun cita-citaku untuk bisa melanjutkan sekolah di SMP di kota kecamatan tidak boleh tertunda lagi. Aku ingin punya pengalaman baru, teman baru, harapan baru, dan aku ingin melihat mobil-mobil yang menderu di jalan raya di kota kecamatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar