Selasa, 24 Januari 2017

Pram dan Emansipasi Kaum Perempuan

Pram dan Emansipasi Kaum Perempuan
Oleh : Joyojuwoto

Hampir seluruh buku-buku yang ditulis oleh Pram (Pramodya Ananta Toer) memberikan perhatian khusus terhadap kondisi dan nasib kaum perempuan. Entah itu pembelaan terhadap hak-hak dan eksistensi perempuan, entah itu memaparkan masalah-masalah yang dihadapi oleh kaum perempuan, hingga perjuangan keras yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan dalam buku-buku Pram.

Hal ini dapat kita lihat dari beberapa tulisan Pram yang judulnya langsung memakai nama perempuan, seperti Midah Simanis Gigi Emas, Larasati, atau judul yang lain yang juga dekat dengan perempuan seperti Gadis Pantai, Panggil Aku Kartini Saja, Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, atau bahkan dalam Arus Balik pun Pram menempatkan Idayu, seorang perempuan dari Awis Krambil, sebagai tokoh sentral yang sangat membekas di pikiran para pembaca.

Tidak hanya itu saja, hampir semua karya-karya Pram tersimpan bara semangat untuk  menyuarakan pembelaannya terhadap nasib perempuan. Seakan karya-karya Pram adalah panggung bicara bagi kaum Hawa untuk melawan ketidakadilan dan penindasan yang menimpa mereka. Lihatlah betapa kuat karakter tokoh-tokoh perempuan yang dibangun Pram dalam karyanya. Dalam tetralogi Pulau Buru yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia, Pram menampilkan gerakan emansipasi yang dilakukan oleh kaum perempuan dalam tokoh Sanikem atau yang lebih dikenal dengan sebutan Nyai Ontosoroh.

Pram memang punya perhatian besar terhadap masalah-masalah klasik yang dihadapi kaum hawa sejak zaman dahulu bahkan hingga masa sekarang, yaitu budaya patriarkisme yang menganggap bahwa perempuan menjadi bagian dari subordinasi kaum lelaki. Pram begitu intens mengadvokasi nasib perempuan dari penindasan budaya yang telah mapan dan mengakar, Pram juga mengedukasi kaum perempuan agar mereka bisa menjadi sosok yang berani, berdikari, mandiri, berjiwa merdeka, hingga kedudukan yang sejajar dengan kaum lelaki.

Namun Pram bukanlah sosok pejuang emansipasi yang lepas kontrol dan kebablasan, seperti yang banyak digagas oleh para pejuang gender. Pram tetap proposional meletakkan faham emansipasi ini. Lihatlah perkataan Nyai Ontosoroh mengenai emansipasi dalam karya Pram : “Jangan panggil aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki...Namun bukan berarti aku tak butuh lelaki untuk aku cintai...”  

Entah karena dipengaruhi oleh kehidupan masa kecil Pram yang punya kedekatan emosional dengan Ibunya, atau mungkin karena hubungan Pram dengan bapaknya yang kurang harmonis, sehingga melatarbelakangi kepenulisan Pram banyak membicarakan nasib perempuan. Namun yang pasti Pram adalah sosok yang sangat lantang menyuarakan pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan terhadap kaum perempuan.

Sebagai seorang penulis dan sastrawan besar Pram berusaha menarasikan ide-ide dan gagasannya dalam tulisan yang tidak hanya bernilai artistik semata, Pram tidak hanya membangun karyanya dengan kata-kata yang indah dan mempesona, namun Pram juga sangat teguh memegang kredo sastra sebagai realisme sosialis,  bagi Pram jika sastra tidak memberikan ruang perhatian terhadap kehidupan sosial di masyarakat, maka sastra itu ibarat bunga-bunga yang tercerabut akarnya dari tanah. Tulisan itu sebentar akan layu kemudian mati, dan tidak meninggalkan jejak dan makna apapun. Oleh karena itu Pram sangat berani menyuarakan realitas sosial di dalam karya tulisnya.

Nama Pram mungkin jarang sekali atau bahkan tidak pernah disebut sebagai pahlawan emansipasi bagi kaum perempuan, namun diakui atau tidak Pram selalu menempatkan kaum pemilik surga di telapak kaki ini, sebagai tokoh yang nyaris tidak memiliki watak dan karakter antagonis. Pram selalu memberikan pembelaan total terhadap kaum Hawa. Mungkin saja Pram adalah anak yang sholeh dan sangat berbakti kepada ibunya, sehingga karya-karyanya menampilkan sosok perempuan-perempuan yang emansipatif.

Pram memang punya modal psikologis yang kuat untuk menampilkan perempuan-perempuan dalam karya-karyanya, hal ini disinggung dalam karya memoarnya yang berjudul: Nyayi Sunyi Seorang Bisu, Pram bercerita panjang lebar tentang perempuan-perempuan yang telah membentuk dan mengukir jiwa raganya.

Jadi tidak heran jika Pram menaruh perhatian atas masalah perempuan pada sebagian besar karya-karyanya. Namun bagi Pram pembelaannya bukan pada masalah perempuan semata, namun lebih pada nilai-nilai kemanusiaan yang dicampakkan oleh budaya kepongahan dari feodalisme, patriarkisme, dan kekolotan tradisi yang perlu dikritisi.

Apa kita perlu mengusulkan Pram menjadi pahlawan emansipasi kaum perempuan ? Saya kira Pram tidak pernah membutuhkan gelar itu !



          

1 komentar: