Rabu, 04 Januari 2017

No Slogan

No Slogan
Oleh : Joyojuwoto

Betapa banyak orang-orang yang mengaku-ngaku sebagai patriotis sejati, berjiwa nasionalis, hingga yang mengatakan dengan keras-keras NKRI harga mati agar terdengar seantero negeri kalau dirinya adalah nasionalis tulen. Memang setiap orang boleh-boleh saja mengaku-ngaku yang demikian, mengaku paling mencintai persatuan, mengaku paling demokrasi, paling adil dalam membela dan menegakkan HAM, paling toleran dan seabrek slogan-slogan lain yang indah-indah serta mengesankan, hingga seakan ia sebagai pahlawan kemanusiaan. Begitulah memang tabiat kebanyakan orang ingin dilihat punya muka, punya peran, dan merasa paling humanis di jagad raya ini.

Slogan-slogan memang mudah untuk dibuat dan diucapkan, namun slogan saja tidak cukup, kita perlu membuktikan slogan itu dengan sikap dan perbuatan. Harus sinkron antara ucapan dan perbuatan. Saya jadi teringat catatan Soe Hok Gie saat ia bersama teman-temannya sesama pecinta alam saat akan berangkat melakukan pendakian ke puncak Gunung Slamet. Gie mencatat : “Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrasi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat”.

Lidah memang tidak bertulang, mengucapkan lebih mudah daripada menunjukkan sikap dan perbuatan, seperti seorang penjual kecap, tidak ada kecap nomor dua semua kecap nomor satu. Begitulah gambaran orang-orang yang hidupnya hanya berkoar-koar saja, hanya bondo abab, omong doang namun sikap dan perbuatannya jauh dari omongannya, jauh dari slogannya, jauh dan tidak ada titik temunya sama sekali. Seperti langit dan bumi.

          Wajah-wajah  hipokrit akan selalu ada di setiap zaman, muka-muka berbedak kemunafikan akan selalu menghiasi panggung kehidupan, dulu, hari ini hingga esok hari. Berhati-hatilah selalu, karena di dunia ini memang ada dua arus utama yang selalu berseberangan namun selalu berpasangan, kebaikan dan kejahatan, cahaya dan kegelapan, hitam dan putih, kiri dan kanan, yang dalam bahasa Al Qur’annya disebut dengan istilah “Fa  alhamahaa Fujuuraha Wa Taqwaaha” (Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan).

          Hidup memang pilihan, dan dengan pilihan-pilihan itulah kita besok akan mempertanggungjawabkan pilihan kita. Segala pilihan ada konsekueansinya, tinggal kita berdiri dan memilih di posisi mana, di bagian mana, semua ada keuntungan dan resikonya sendiri-sendiri.  Dengan potensi akal yang dianugerahkan Tuhan, manusia harus membuat pilihan, tidak ada titik netral di mana manusia berdiri di sana. Lain dengan hewan yang bebas nilai, berada di titik netral karena memang hewan tidak memiliki akal.

          Kecintaan kita kepada rakyat dan negeri ini harus dibuktikan dengan tindakan nyata, bukan hanya di lisan semata, bukan hanya sekedar slogan saja. Orang-orang yang rela mengorbankan kepentingan dirinya, kelompoknya, partainya, demi kemakmuran dan keadilan negeri ini yang patut di sebut sebagai nasionalis sejati. Bukan orang-orang yang hanya pandai berteriak-teriak demi rakyat, untuk rakyat, atas nama rakyat, namun nyatanya sikap dan perbuatan mereka menciderai kepentingan rakyat itu sendiri.

          Saya sendiri sungguh-sungguh tidak habis mengerti, negara yang konon seharusnya menjaga martabat rakyat, bertanggung jawab terhadap berbagai segi kehidupan rakyat, memakmurkan rakyat, memberikan rasa aman, nyaman pada rakyat, memberikan keadilan namun nyatanya mandat dan kepercayaan itu dikhianati. Seakan negara ini ada hanya sebatas slogan saja. Rakyat sebagai pemegang mandat kekuasaan justru dikuasai dan diperas oleh oknum-oknum yang bersembunyi di balik nama negara.

          Kekuasaan yang sebenarnya sekarang bukanlah milik rakyat, karena segala kepentingan publik telah dikuasai oleh korporasi-korporasi asing yang telah mengkudeta kekuasaan rakyat dalam bentuk kerja sama, investasi, tanam modal dan lain sebagainya yang hampir kesemuanya merugikan kepentingan rakyat sebagai pemilik kekuasaan yang sah di negeri yang kita cintai ini.


          Sudah sepatutnya kita ikut memperjuangkan kembali  cita-cita para pejuang bangsa yang telah mengorbankan jiwa dan raganya demi terbentuknya negara Indonesia tercinta ini dengan cara melunasi janji kemerdekaan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apa yang kita bisa, lakukan, jangan hanya sekedar slogan. Sekecil apapun tunjukkan baktimu pada ibu pertiwi.

1 komentar: