Selasa, 08 November 2016

Kali Kening On Air : Komunitas Kali Kening Ujung Tombak Sastra Tuban Selatan

Kali Kening On Air : 
Komunitas Kali Kening Ujung Tombak Sastra Tuban Selatan

Belum  genap setahun usia Komunitas  Kali Kening yang menggerakkan dunia literasi di Bumi Tuban Bagian Selatan,  namun berkat komitmen dan dukungan dari para pecinta literasi di Bangilan dan sekitarnya komunitas ini berjalan cukup baik. Mulai dari kegiatan Ngaji Literasi yang diadakan dua minggu sekali yang sudah menginjak putaran ke-6, hingga proses latihan tulis menulis para anggotanya yang tergabung di group WA yang semakin hari semakin semarak. Bagai pohon yang sedang berbunga-bunga, semoga kelak tidak rontok sebelum menjadi buah yang dapat dipetik dan dinikmati hasilnya.
Berkat dorongan dan support dari sesepuh-sesepuh literasi seperti Mas Rahmat, Mbak Linda, Mas Ikal, dan teman-teman yang lainnya Kali Kening tampaknya akan menjadi ujung tombak sastra di bumi Tuban bagian selatan.
Dan sangat luar biasa kemarin Ketua Komunitas Kali kening Mas Ikal mendapatkan email dari Radio Pradya Suara yang ada di Tuban untuk on air mengisi salah satu acara dialog interaktif mengenai dunia sastra yang dikemas dalam “Serat Ratri”.
Berikut undangan dengan segala uba rampenya yang dikirimkan oleh pihak  LPPL Radio Pradya Suara Tuban :
***
Hari / Tanggal    : Rabu, 09 November 2016
Acara                   : Dialog Sastra “Serat Ratri” di radio Pradya Suara
Tema                    : Komunitas Kali Kening Ujung Tombak Sastra Selatan Tuban
Pukul                   : 19.00 – 20.00 WIB

Kabupaten Tuban merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang terletak di Pantai Utara Jawa. Kabupaten tersebut memiliki jumlah penduduk sekitar 1,2 juta jiwa dari 20 kecamatan. Letak demografi yang dilewati pegunungan kapur kendeng dan luas lautan mencapai 65 kilometer membuat budayanya pun beragam.
Terlebih pada masa kejayaan kerajaan Majapahit, Tuban memiliki peran penting. Salah satunya menjadi pelabuhan besar yang pada masa itu dikenal dengan sebutan Kambang Putih. Melalui pelabuhan besar tersebut pedagang Cina berlabuh untuk berdagang, lantas menyebarkan budaya meraka pada penduduk pribumi. Bahkan sampai saat ini warna kulturalisme budaya Tionghoa tidak bisa dipisahkan dari masyarakat Tuban.
Pun demikian pada masa kejayaan Mataram Islam. Tuban menjadi salah satu pusat penyebaran Agama Islam oleh para Walisongo. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya makam Wali Allah di tanah Ranggalawe. Salah satunya yang paling terkenal adalah Makam Sunan Bonang.
Pada sarasehan budaya selepas pelantikan pengurus Dewan Kesenian Tuban (DKT) hari Sabtu, 15 Oktober 2016 di Pendapa Krida Manunggal, salah seorang pemakalah menyampaian tentang Tubanologi. Beliau adalah Suhariyadi, salah satu budayawan sekaligus dosen di kampus Unirow Tuban. Suhariyadi menyampaikan pemikiran tentang bagaimana mengembalikan pengetahuan lokal sebagai subjek.
Dalam makalahnya yang berjudul Tubanologi : Mengembalikan Pengetahuan Lokal sebagai Subjek disebutkan, Tubanologi adalah sebuah harapan. Tubanologi juga sebuah bentuk pengakuan, keyakinan, kepercayaan, pemikiran, dan penghayatan bahwa Tuban merupakan suatu masyarakat yang memiliki kekayaan pengetahuan lokal yang belum banyak diangkat ke permukaan. Sesungguhnya, ia bisa menjadi sumber pengetahuan, sehingga bisa dipahami, diapresiasi, dihayati, direnungkan, dan dijadikan sebuah wacana pengetahuan lokal.
Disadari atau tidak hal ini telah mempengaruhi penciptaan karya sastra bagi sastrawan lokal. Sebut saja Thoni Mukarrom, salah satu penulis yang mengutamakan kekayaan lokal. Cerpennya yang berjudul Tarian Naga mampu mengulas dengan apik seorang penari Langen Tayub (salah satu kesenian yang dimiliki Tuban). Begitu pula tentang Ngelindur Sandur yang mengangkat seni tradisi. Melalui karya-karyanya Thoni juga telah menerbitkan antologi cerpen yang kebanyakan berlatar kekayaan lokal.
Lainnya, Komunitas Kali Kening yang bermarkas di Kecamatan Bangilan, bagian Selatan Kabupaten Tuban. Beberapa anggotanya dengan apik merangkai kata-kata hingga menjadikannya karya sastra yang enak dibaca. Selain itu bisa menambah wawasan tentang kearifan lokal Tuban.
Seperti halnya salah satu puisi anggota Komunitas Kali Kening, Joyo Juwoto yang berjudul Kali Kening pada Senja Biru. Berikut cuplikannya ;
Di remang senja,
Di bentang cakrawala,
Langit barat tersenyum
Di antara kabut-kabut tipis.
Merona, menyihir rumput
dan ilalang di kaki bukit.

Ini adalah senja biru, katamu
Senja yang tercipta dari senyum bidadari
Saat mengeja rindu yang menggebu
Pada beningnya air kali

Di sini, di pinggiran kali kening ini
Jejak itu masih tampak
Pada batu-batu kali, pada pasir
Dan pada keheningan lubuk
Jejak bahagia anak-anak desa

Yang mengakrabi lumpur
Serta seruling senja
Yang ditiup angin dari balik
rerimbunan pohon bambu

Begitu pula pada cerpen berjudul Janji Suci di Lembah Cinta karya penulis yang sama. Pemandian alam di Kecamatan Bangilan itu menjadi latar tempat dalam cerpen tersebut.
Di suatu senja di lembah Nganget di pinggiran pedukuhan, sejoli muda-mudi sedang duduk berdua di sebongkah batu di pinggiran sendang Nganget. Air sendang itu hangat sesuai dengan namanya Sendang Nganget, yang berarti Sendang yang airnya hangat. Sendang yang bersumber dari bukit Lodito itu menjadi saksi atas cinta suci sepasang kekasih Sarip dan Nimas.
“Nimas Ayu, ijinkan aku pergi, aku akan merantau ke kota” kata Sarip terbata-bata, lidahnya kelu ketika ia mengutarakan maksudnya hatinya kepada kekasihnya Nimas Ayu pada suatu senja di lembah Nganget.
Apabila penulis-penulis Tuban mampu menuangkan dengan memukau kearifan lokal, sudah barang tentu ke depan akan memiliki ciri khas dalam bersastra.


Demikian undangan tersebut di atas buat komunitas Kali Kening, semoga ke depan Kali kening selalu istiqamah di jalan literasi, dan yang terpenting terus produktif berkarya yang bermanfaat untuk bangsa dan negara yang kita cintai bersama. Salam Literasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar