Rabu, 31 Agustus 2016

Puisi Never Die

Puisi Never Die
Joyojuwoto*


Malam Puisi Akbar yang di gelar pekan lalu (27/8/2016) oleh Forum Komunikasi Mahasiswa Bangilan (FKMB) menjadi penenda bahwa puisi tidak pernah mati. Setidaknya masih banyak orang yang setia untuk berpuisi, walau berada di lorong-lorong sepi, di jalanan yang sunyi, dan di ranah yang tidak populer ternyata  puisi masih punya daya pesona untuk memikat hati masyarakat yang hadir malam itu di gedung serba guna gedung yang memiliki nilai sejarah yang luar biasa bagi FKMB.

Setidaknya ada penampilan 45 parade puisi yang dibacakan, acara yang dimulai setelah Isya’ itu berakhir tengah malam, ini tentu sebuah pencapaian yang luar biasa. Hal ini tentu tidak terlepas dari house acara yang memang luar biasa Opie Resta dengan talenta panggung dan suaranya ia berhasil mengantarkan para penikmat puisi mencapai puncak keintiman dengan puisi. Sebagai seorang yang telah matang di bawah sorotan kamera Opie Rista adalah ratunya panggung malam itu. Dengan artikulasi suaranya yang jelas, pilihan diksinya yang pas,  dan tinggi rendahnya nada yang sempurna menjadikan malam itu sebagai malam yang penuh rasa poetika.

Malam itu puisi tidak lagi menjadi hak milik istimewa para pujangga yang bertahta di atas menara langit, atau hanya milik Sang Pendekar Syair Berdarah saja yang kemana-mana menebar syair kematian yang menakutkan, atau hanya milik para pemuda-pemudi yang patah hati yang kemudian dijadikan amunisi untuk menghamburkan bait-bait puisi, namun Malam Puisi Akbar telah memberikan angin baru serta membuka terhadap pemahaman akan arti sebuah puisi. Puisi tidak sekedar jalinan kata yang indah, namun yang terpenting puisi mampu menyuarakan serba-serbi kehidupan. Karena pada dasarnya puisi adalah hidup kita dengan segala dinamikanya.

Yang menjadikan acara lebih luar biasa lagi selain pembacaan puisi yang bertema kemerdekaan, yang diikuti oleh multi golongan mulai dari siswa sekolah, pejabat pemerintahan, anggota DPR, masyarakat umum, para pamong desa, malam itu diantara peserta ada yang membacakan puisi dari hasil karyanya sendiri.

Diantara sekian yang membacakan puisi hasil karya sendiri adalah Miss House Opie Resta yang membawakan puisi dengan judul Negeri Hitam Putih. Puisi yang lantang menyuarakan kritik sosial terhadap segala kebijakan pemerintah yang menguras habis sumber daya alam guna kepentingan asing atas nama investasi dan kerjasama.

Dengan sangat apik dituliskan pada “Puisi Hitam Putih Negeriku” tentang negeri yang makmur, gemah ripah loh jinawe, ayem tentrem kerta raharja, namun semua itu tidak mampu memakmurkan rakyatnya. Negeri yang kaya itu tidak bisa menikmati kekayaannya, bahkan sangat naif rakyat menjadi budak di negerinya sendiri, rakyat bagai ayam yang mati dalam lumbung padi. Negeri yang hijau royo-royo yang para pujangga menyebutnya sebagai untaian zambrud katulistiwa, indah menawan bak pecahan surga itu menjadi negeri hitam putih, negeri yang hanya dikuasai oleh segelintir orang, negeri yang hanya berdaulat untuk para konglomerat saja. Rakyat benar-benar sekarat dalam arti yang sebenar-benarnya. Lihatlah fragmen di bawah ini yang menggambarkan kepilua-kepiluan itu :

“Aku melihat seorang tua, duduk di emperan toko beralaskan kardus bekas
Sedang mengadu pada Tuhan…
“Tuhan…, akankah ada lagi sesuap nasi untuk kami esok ?
Akankah nafas kami akan tetap berhembus sedangkan perut kami begini kempis”
Seorang tua itu menangis tersedu di bawah guyuran terang purnama”

Penampilan Opie Resta memang istimewa, ia mampu mendeklamasikan puisinya dengan baik, penuh penghayatan dan penjiwaan yang nyaris sempurna.  Dengan latar belakang panggung yang seadanya, dan penataan lighting yang temaram hitam, puisi Hitam Putih Negeriku menjelma menjadi peluru tajam yang memberondong ketidakadilan dan kesenjangan di tengah-tengah rakyat jelata yang tak lagi jelita.

Tdak kalah garangnya puisi dengan judul “Sayembara” yang ditulis dan dibaca sendiri oleh Mas Syahid salah satu tokoh pemuda Bangilan yang ikut hadir dan meramaikan acara pada malam itu. Puisi yang didekasikan untuk anaknya tercinta itu berisi protes terhadap ketokohan seseorang. Seorang tokoh yang hanya berdiri angkuh tanpa tersentuh oleh rasa kemanusiaan, seorang tokoh yang hanya minta dihormati tanpa mau memberikan rasa hormat kepada masyarakat, seorang tokoh yang berdiri di atas singgahsana tanpa peduli nasib bawahannya. Sebelum membaca puisi Mas Syahid memberikan pesan kepada anaknya “Nak Arindra, sampai kapanpun nanti jangan sampai engkau mengkhianati bangsamu sendiri”. Begitu tuturnya.


Demikianlah dua buah puisi yang dapat saya tangkap dalam “Malam Puisi Akbar” yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Mahasiswa Bangilan (FKMB), semoga nilai-nilai positif dari puisi mengabadi, terus hidup dan tak pernah mati. Salam.

*Joyojuwoto, lahir di Tuban, 16 Juli 1981, Anggota Komunitas Kali Kening; Santri dan Penulis buku “Jejak  Sang Rasul” yang tinggal di www.4bangilan.blogspot.com.

Selasa, 30 Agustus 2016

Sastra : Antara Hidup dan Mati

Sastra : Antara Hidup dan Mati
Joyojuwoto*


Beberapa minggu yang lalu sekilas saya membaca status facebooknya Mas Ariadinata, beliau menuliskan bahwa icon sastra Indonesia telah mati. Tidak berlebihan beliau berkata yang demikian karena setelah 50 tahunan berjibaku di dunia sastra majalah Horison dinyatakan tutup buku di tahun 2016 dikarenakan biaya penerbitan cukup besar. Hal ini tentu sangat menyedihkan karena para pejuang sastra di majalah yang mulai terbit sekitar tahun 66an itu telah berjuang sekuat tenaga untuk menghidupi Horison, namun sayang karena kurangnya perhatian pemerintah maka mau tidak mau mereka harus berhenti. Horison akan sepenuhnya bermigrasi dari media cetak menjadi media daring (online).

Saya sendiri secara pribadi punya banyak kenangan dengan majalah Horison. Sekitar tahun 1998 yang saat itu saya duduk  di bangku SLTA, saya mendapati majalah horison di sekolah. Dari situlah saya mulai mengenal sastra, walau saya tidak mengikutinya dengan menulis secara baik dan disiplin. Dari majalah itu  pula saya mengenal nama-nama sastrawan Indonesia seperti Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, Suripan Sadi Hutomo, Sutardji Calzoum Bachri, Asrul Sani, Putu Wijaya, penyair parodi Indonesia Hamid Jabbar, hingga Mbah Djajus Pete yang ternyata dari Bojonegoro.

Setelah membaca puisi dan cerpen yang disajikan di Horison lama kelamaan  akhirnya saya iseng-iseng juga menulis puisi, namun saya lupa puisi apa yang pertama kali saya tulis. Ada keindahan yang saya rasakan ketika berusaha merangkai kata untuk menjadi sebuah puisi yang utuh. Namun sayang majalah yang menarik gerbong sastra itu berhenti cetak. Tidak apa jika Horison berhenti cetak, namun bukan berarti perjuangan para sastrawan untuk menghidupkan sastra berhenti. Karena sastra adalah kehidupan itu sendiri, jika sastra berhenti maka denyut kehidupan tentu akan berhenti pula. Para sastrawan akan terus berkarya dan menginspirasi pemuda-pemuda Indonesia untuk turut serta meramaikan jagad kesusastraan Indonesia. Ini terbukti di era Cyber sastra banyak para sastrawan-sastrawan baru dan muda yang bergelut di medan sastra, baik itu di bidang puisi, cerpen, maupun novel.

Jadi tidak usah khawatir bapak-bapak pejuang sastra di barisan Horison. Benih yang engkau tebar akan menemukan lahannya, dan semoga segera mendapatkan pupuk serta air hujan yang cukup untuk pertumbuhannya, agar kelak tanaman itu menjadi tanaman yang baik yang akan memberikan buah manfaat dan oksigen baru bagi sebuah peradapan.

Kegandrungan terhadap karya sastra tidak hanya di kota-kota besar, sekarang di desa-desa mulai bermunculan komunitas sastra dan kegiatan-kegiatan yang bernyawa sastra. Tengok saja di Bojonegoro ada komunitas Atas langit, Arus Bawah, Langit Tobo, Lesung, Purnama Sastra kemudian di Tuban ada Kostra, Langit Tuban, Gerakan Tuban Menulis, FLP Tuban, bahkan di kota kecil Kab. Tuban tepatnya di Bangilan baru saja di launcing Komunitas Kali Kening yang juga menggeluti dunia literasi. Komunitas ini di gagas oleh anak-anak muda yang peduli terhadap literasi yang memang agaknya mulai meredup dan kehilangan gairah.

Kita memang tidak bisa berharap banyak kepada pemerintah untuk menyuntikkan dana buat sastra, bagi mereka mungkin memang tidak penting. Hah !!! untuk apa sih sastra itu, mungkin begitu pikirnya. Oleh karena itu hemat saya komunitas-komunitas itu memang harus kreatif untuk menghidupi dirinya sendiri. Jangan pernah berharap pada apapun kecuali pada Tuhan.

Hal yang bisa dilakukan oleh komunitas yang bergerak di bidang sastra atau literasi adalah dengan memproduksi tulisan tentunya. Baik itu berupa buku, majalah, jurnal, ataupun booklet. Hasil produksi itu bisa dijual untuk menghidupi komunitas tersebut. Walau kita tahu dan sadar bahwa pasar buku tidaklah seramai pasar malam ataupun warung sate, soto, dan bakso. Selain itu mungkin komunitas bisa juga bersinergi dengan lembaga sekolah yang punya perhatian terhadap dunia tulis menulis, caranya dengan mengadakan pelatihan-pelatihan kepada peserta didik. Dari situ mungkin komunitas bisa mengambil rupiah demi keberlangsungan komunitas tentunya.

Bagaimanapun keadaannya budaya baca, tulis, atau budaya literasi khususnya dalam bidang sastra jangan sampai berhenti mati. Harus ada kreasi-kreasi baru dan inovasi agar sastra diterima dengan baik dan renyah oleh masyarakat. Agar masyarakat memberikan dukungan mau tidak mau sastra juga harus bisa hadir memberikan solusi terhadap berbagai problematika yang ada, menjadi problem solving bagi keberlangsungan kehidupan. Jadi sastra jangan hanya terpaku pada bunga-bunga kata tanpa makna serta memposisikan diri di menara gading yang lepas dari jangkuan masyarakat. Sastra harus hidup membaur dan berdampingan dengan masyarakat agar sastra tidak tercerabut dari akarnya. Karena pada hakekatnya sastra akan kehilangan makna jika meninggalkan masyarakat di mana sastra seharusnya berada di dalamnya.

Jadi sastra harus bergeliat bersama masyarakat, bergerak dan bersenyawa dengan gerakan sosial yang ada. Tanpa itu sastra akan mati. Bagaimanapun juga kita harus merapatkan barisan untuk menyelamatkan dan mewariskan sastra pada generasi mendatang, karena bagaimanapun sastra juga menjadi bagian dari sejarah yang ikut serta menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Salam Sastra.

*Joyojuwoto, lahir di Tuban, 16 Juli 1981, Anggota Komunitas Kali Kening; Santri dan Penulis buku “Jejak  Sang Rasul” yang tinggal di www.4bangilan.blogspot.com.

Senin, 29 Agustus 2016

FKMB Bangilan Gelar Malam Puisi AKBAR

FKMB Bangilan Gelar Malam Puisi AKBAR

Akhir pekan, 27 Agustus 2016, FKMB (Forum Komunikasi Mahasiswa Bangilan) dalam rangkaian kegiatan HUT Kemerdekaan RI yang ke 71 menggelar Malam Puisi Akbar di Gedung Serba Guna Bangilan. Kegiatan yang diikuti oleh berbagai kalangan, mulai dari siswa sekolah, tokoh masyarakat, anggota DPR, pamong desa dan juga Kepala UPTD Bangilan beserta jajarannya ini berlangsung cukup sukses, selain pengunjung yang membludak parade pembacaan puisi juga dibilang luar biasa. Ada sebanyak 45 orang yang tampil membaca puisi, ini adalah torehan sejarah yang luar biasa.

Tema yang diusung dalam kegiatan MPA (Malam Puisi Akbar) menurut ketua FKMB Bangilan Mas Zainal Fanani pada saat orasi sambutannya adalah “Melalui Puisi Kita Tingkatkan Semangat Nasionalisme Untuk Keutuhan RI”. Menurutnya puisi mampu membakar semangat para generasi muda untuk berjiwa nasionalis dan cinta kepada NKRI.

Acara pembacaan puisi diawali dengan penampilan tari Gambyong yang dibawakan oleh siswi SDN Sidodadi Bangilan, kemudian dilanjutkan dengan kilas balik FKMB dari masa ke masa yang dipandu oleh Mbak Linda. Beberapa tokoh yang ikut memberikan kata sambutan adalah anggota DPRD Tuban Bapak Moh. Fuad, dalam sambutannya beliau sangat mengapresiasikan kegiatan yang sangat positif itu, beliau juga mengatakan siap mendukung dan mensuport kegiatan mahasiswa. Dari pihak Muspika pun turut serta memberikan sambutannya yang diwakili dari pihak kepolisian.


Pak Qohar kepala UPTD Bangilan yang didapuk menandatangi prasasti kegiatan Malam Puisi Akbar juga sangat bergembira dengan kegiatan malam puisi itu. “Ini adalah yang pertama kalinya saya mendatangi acara seperti ini di Bangilan selama saya tugas di sini” kata beliau. Dalam sambutannya Pak Qohar berpesan “Semoga kita tidak hanya sekedar membaca puisi tapi merealisasikan nilai-nilai dan pesan yang terkandung di dalamnya dikehidupan sehari-hari” pungkasnya.

Sabtu, 27 Agustus 2016

Santri Yang Istiqomah dan Tabah

Santri Yang Istiqomah dan Tabah
Joyojuwoto*

“Nak, Dadio Santri Sing Kuat Nyonggo Rahmate Gusti Allah”
(KH. ABD. Moehaimin Tamam)

Nasehat itu selalu kami kenang, nasehat yang selalu menyalakan semangat hidup yang tak kunjung padam, nasehat yang membuat kami para santri terasa ringan menempuh jalan-jalan kehidupan yang kadang mendaki dan terjal. Nasehat yang menjadi oase di tengah kegersangan hidup yang panasnya melebihi sahara luas yang tak bertepi, nasehat yang menjadi kompas penunjuk arah bagi para penempuh labirin-labirin waktu dan lika-liku masa depan yang belum jelas. Ya begitulah nasehat dari Abah Yai  yang sering digembar-gemborkan kepada para santrinya. “Nak, Dadio Santri Sing Kuat Nyonggo Rahmate Gusti Allah” (Wahai anakku, jadilah santri yang kuat menanggung rahmatnya Allah).

Pada mulanya kami kurang faham terhadap makna dari nasehat itu, namun entah karena apa walaupun belum begitu faham setiap mendengar beliau dawuh seperti itu hati ini menjadi tenang, seakan menelan pil aspirin yang mengurangi rasa sakit dan nyeri di kepala yang terserang migrain, atau bagai obat penenang yang membius jiwa untuk selalu kuat dan tenang menghadapi segala permasalahan hidup. Mantra itu begitu ampuhnya sehingga dayanya memberikan kekuatan batin bagi para santri untuk terus berdiri kokoh setegar batu karang menghadapi gempuran gelombang demi gelombang ujian dan cobaan.

Nasehat yang disampaikan Abah Yai memang keluar dari pengalaman batin dan praktek nyata di medan perjuangan beliau dalam mendirikan dan mengelola pondok pesantren ASSALAM Bangilan Tuban. Jadi sangat wajar jika apa yang beliau nasehatkan itu benar-benar bersumber dari pengalaman empiris yang sangat mengena. Beliau tidak hanya sekedar ngomong, namun beliau mengalaminya sendiri secara langsung. Tidak heran jika nasehat beliau sangat menyentuh dan berjiwa.
                Menjadi santri itu harus kuat nyonggo rahmate Gusti Allah (menjadi santri harus kuat menanggung rahmatnya Allah), sedang rahmatnya Allah itu diberikan kepada para hambanya yang kuat menanggung ujian dan cobaan yang tiada putusnya. Rahmat itu tidak hanya berupa nikmat saja, namun kesulitan demi kesulitan itu pun merupakan rahmat Allah yang dibungkus dalam bentuk lain. Oleh karena itu jika kita mendapat rahmat Allah dalam bentuk nikmat maka hendaknya kita bersyukur, demikian pula jika kita mendapatkan rahmat Allah dalam bentuk ujian-ujian hidup maka hendaknya kita pun bersabar dalam menghadapinya.

                Menurut gemblengan dari Abah Yai, bahwa hidup itu dipenuhi dengan berbagai macam ujian, maka jika kita diuji oleh Allah jangan lemah, tapi justru kita harus tabah dan menjadikan ujian itu sebagai sarana untuk mendewasakan diri serta meningkatkan maqom di hadapan Allah Swt. Sesungguhnya orang-orang yang mendapatkan ujian adalah orang-orang yang dicintai Allah, sebagaimana dalam hadits Nabi yang berbunyi “Innallah idza ahabba ‘abdan ibtalaahu” (sesungguhnya jika Allah mencintai seorang hamba maka Allah akan menguji hamba tersebut).

                Inilah yang dimaksudkan dengan santri kudu kuat nyonggo rahmate Gusti Allah, yaitu kuat menghadapi goda dan ujian hidup, tabah dalam menghadapi kesulitan demi kesulitan, dan selalu kuat serta sabar untuk tetap menjadi santri ditengah-tengah carut-marutnya dunia. Siapa yang ingin maqomnya tinggi dihadapan Allah maka Allah akan menguji orang tersebut dengan berbagi ragam ujian dan ini adalah bagian janji-Nya. Sebagaimana yang di dawuhkan oleh KH. Hasyim Muzadi bahwa “Janji Allah selalu bersyarat, dan rahmat Allah selalu minta pertanggung jawaban”. Diantara syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai maqom tinggi adalah ujian demi ujian yang harus kita hadapi, sedang pertanggungjawaban kita terhadap rahmat Allah adalah dengan bersyukur dan menggunakan anugerah berupa nikmat itu sebagai rahmatan lil’alamin.

                Pengalaman demi pengalaman, kesulitan demi kesulitan yang dihadapi oleh Abah Yai menjadikan beliau sosok dan pribadi yang tangguh dan tegar. Bagaimana tidak saat pertama kalinya beliau merintis berdirinya pondok pesantren, orang-orang sama mencemoohnya. Abah Yai selalu menceritakan kepada kami para santrinya bagaimana dulu beliau harus menanggung kesulitan berjuang mendirikan pesantren. Hampir semua masyarakat tidak ada yang mendukungnya, karena model dan sistem pesantren yang beliau bangun tidak sama dengan model pesantren yang ada dipikiran masyarakat. Sebagai alumni Pondok Modern Gontor Ponorogo, tentu beliau meniru dan mencontoh ala almamater yang didirikan oleh Trimurti Gontor, KH. Ahmad Sahal, KH. Imam Zarkasyi, dan KH. Zainuddin Fannani.

                Namun seiring dengan berjalannya waktu, dengan kesabaran, keuletan dan keistiqomahan Abah Yai, dan dengan semboyan yang kudu kuat nyonggo rahmate Gusti Allah akhirnya pesantren yang beliau rintis dan beliau bangun di tengah-tengah gelombang penolakan dari masyarakat, akhirnya lambat laun masyarakat pun mengakui dan menerima keberadaan pondok itu. Bahkan masyarakat sama berbondong memasukkan anak-anaknya untuk dididik dan dicelup ala ASSALAM, sibghatu ASSALAM, kata beliau. Tidak hanya itu saja santri-santri pondok pesantren ASSALAM pun berdatangan dari luar wilayah kabupaten Tuban, hingga merambah ke luar pulau Jawa.

                Itulah buah dari kesabaran dan keuletan Abah Yai dalam nyonggo rahmate Gusti Allah yang selalu kami teladani, yang pada mulanya pahit dirasakan, namun terasa manis diakhirannya. Semoga kami para santrinya mampu meneladani beliau Abah Yai dalam hal keuletan, kesabaran, dan keistiqomahan dalam nyonggo rahmate Gusti Allah. Amien.

*Joyojuwoto, lahir di Tuban, 16 Juli 1981, Anggota Komunitas Kali Kening; Santri dan Penulis buku “Jejak  Sang Rasul” yang tinggal di www.4bangilan.blogspot.com.



Jumat, 26 Agustus 2016

Sebuah Kesaksian "Louncing Komunitas Kali Kening"

Sebuah Kesaksian
"Louncing Komunitas Kali Kening"

Senja dipinggiran Kali Kening, pukul 16.00 WIB, belasan pemuda berkumpul di bawah rindangnya pohon Kepoh. Mereka berkumpul tidak untuk mancing atau mencari ikan di kali pada saat banjir pertama yang menjadikan ikan pusing sehingga muncul kepermukaan air, karena memang ini bukan musimnya iwak munggut. Atau apalagi hanya sekedar untuk nyangkruk membuang jeda waktu tanpa kegiatan apapun yang berguna. Menyitir perkataan Pak Urip Soemoharjo, “Negara kok zonder tentara”, kalau kita aplikasikan menjadi “Pemuda kok zonder karya”, begitu kira-kira slogannya.

Memang senja itu adalah senja yang bersejarah, setidaknya sebuah lembaran baru sedang dibuka. Pemuda-pemuda itu sedang menjangkau titik komitmen untuk membangun sebuah komunitas literasi di Kabupaten Tuban bagian selatan, khususnya daerah yang dilewati aliran sungai Kali Kening. Oleh karena itu kumpul-kumpul sore itu jika dibahasa semi kerenkan menjadi sebuah acara Louncing Komunitas Kali Kening yang bergerak di bidang literasi.

Sebuah banner terpampang sebagai background berwarna biru beridentitas “Komunitas Kali Kening”, yang kemudian disusul tulisan yang penuh rasa poetika di bawahnya “Membaca setabah bebatuan, berfikir sejernih air, dan berkarya sederas arus” menjadi penanda pentasbihan diri bahwa komunitas itu akan berkomitmen untuk menempuh jalan  sunyi, menggerakkan dunia literasi, membangunkan semangat berkarya untuk anak-anak muda guna bakti nusa dan bangsa.



Acara yang dipandu oleh saudara Mashari itu berjalan gayeng, semi protokoler, dan penuh dengan keakraban. Setelah kalimatul iftitah dibaca serentak bersama, tampillah ketua dari komunitas kali kening saudara Ical memberikan sambutannya. Ia menceritakan proses awal berdirinya komunitas kali kening, dan diakhir sambutannya Ical berharap kali kening mampu menjadi wadah literasi bagi pemuda-pemuda Bangilan dan sekitarnya dan bagi siapa saja yang peduli terhadap dunia kata.

Acara semakin hangat tatkala sesepuh dari kali kening Mas Rahmat Sholihin maju ke depan dengan orasi kebudayaannya. Beliau sangat bergembira dan mendukung adanya komunitas itu. Mengawali orasinya Mas Rahmat mengupas mengenai tradisi menulisnya masyarakat Arab jahiliah dengan berbagai perlombaan syairnya di pasar Ukaz dan Zulmajas. Selanjutnya menurut beliau syair-syair itu di tempel di dinding-dinding Ka’bah sebagai kebanggaan dan apresiasi bagi para jawara-jawara tiap kabilah. Begitulah karya tulis jaman dahulu sangat dihargai. Lebih lanjut menurut Mas Rahmat sebagaimana yang beliau pahatkan di kain prasasti “Menulis adalah merajut harapan untuk abadi” wah..sangat luar biasa.
Di akhir sesi, acara di tutup dengan musikalisasi puisi yang diiringi petikan dawai-dawai gitar oleh Saudara Rouf, sedang yang membaca puisi sang maestro pemilik nama misterius  di instagram @mawarhitam. Ah puisi ibarat ilham fitri (ilham suci) dari Tuhan yang dibisikkan ke dalam hati para hamba-Nya yang terpilih. Keindahan puisi yang dibacakan Mbak Linda Si Mawarhitam seakan menyatu dengan senja yang mulai temaram, indah, menyihir dan mempesona. Mungkin engkau kebal dengan sihir dan santet terganas sekalipun, namun  engkau tak akan pernah selamat dari daya pesona sihir puisi yang mengalir bersama derai angin senja, atau puisi yang lirih bagai ritmis gremicik arus sungai.

Tak lupa saya sebutkan di sini pemuda-pemuda yang hadir dan menyemarakkan peristiwa louncing kali kening, mereka-mereka adalah Mas Zainal Fanani, Mas Dwi Djafu, Mas Adib, Mas Kafabih, Mas Ardi, Mas Rofiq, Mas Habibi, Mas Yayang, Mas Faqih, Mas Zakaria, Mbak Aulia, kehadiran kalian sangat berarti, terima kasih, semoga Tuhan membalas dengan keberlimpahan berkah dan kebaikan. Juga terima kasih kepada komponen suasana saat itu, pohon Kepoh, debu-debu, daun, rumput, ilalang, kali kening, kebeningan, keheningan dan juga pada senja yang mengguratkan keindahan pesonanya sore itu.

Sebagai penyempurna acara seluruh anggota komunitas yang hadir menorehkan kata-kata saktinya di selembar kain prasasti, sebagai tanda dan sebagai bukti bahwa gerakan literasi di sepanjang aliran sungai kali kening di mulai.

Demikian sebuah kesaksian yang dapat saya sampaikan. Dari saya, senyawa kimiawi  air, bumi, angin, dan api dalam balutan firman Tuhan “Kun, jadilah Fayakun, maka jadilah”. Salam.

Resensi Buku “SOS (Sapa Ora Sibuk) “Menulis dalam Kesibukan”

Resensi Buku “SOS (Sapa Ora Sibuk) “Menulis dalam Kesibukan”
Joyojuwoto*

Identitas Buku
Judul Buku   : “SOS (Sapa Ora Sibuk)”
                         “Menulis dalam Kesibukan”
Penulis           : Much. Khoiri
Penerbit          : Unesa University Pres
Cetakan Pertama  : Juni 2016
Ukuran          : 14 x 20 cm
Tebal              : xxii + 138
Kategori          : Non Fiksi
ISBN               : 978-979-028-854-6

Ulasan Buku
Melihat dari judulnya buku ini tentu di tulis oleh penulis yang memiliki seabrek kesibukan, iya beliau Bapak Much. Khoiri penulis buku yang ada di hadapan pembaca bukanlah pengangguran yang hanya merenung sambil sesekali menangkap ilham dari langitd untuk kemudian dituliskan di selembar kertas. Tidak sekali lagi tidak, buku ini tentu di tulis di tengah kesibukan beliau yang sangat padat. Di profil penulis disebutkan beliau adalah seorang dosen Unesa, ketua UPT Pusat Bahasa di Unesa, seorang trainer, dan tentu juga seorang penulis. Dari jajaran profil itu tentu sudah dapat kita duga kesibukannya Pak Emcho panggilan akrab lelaki murah senyum itu, yang tentu juga sibuk sebagai seorang Ayah bagi anak-anaknya, dan sebagai seorang suami bagi istrinya. Bisa dibayangkan menjadi seorang ayah saja sudah sibuk belum ditambah embel-embel yang lain, namun nyatanya Pak Emcho mampu produktif berkarya mencerdaskan anak-anak bangsa lewat tulisan.

Buku “SOS (Sapa Ora Sibuk), Menulis dalam kesibukan” ini hadir sebagai rahmat dan anugrah bagi orang yang sibuk lebih-lebih orang tidak sibuk yang berangan-angan menulis sebuah buku. Di dalam buku ini Pak Emcho memaparkan secara mudah, praktis, dan aplikatif mengenai kiat-kiat dan pengalaman beliau dalam menulis buku di tengah kesibukannya menjalani darmanya secara vertikal maupun horizontal.

Setelah membolak-balikkan dan membaca buku ini nantinya diharapkan kita yang sibuk beneran maupun yang merasa sok sibuk tidak lagi berfikap excuse untuk tidak menulis. Karena menulis adalah sebuah kata kerja yang akan memberikan makna bagi diri kita sebagai manusia. Menurut beliau manusia pada hakekatnya adalah subjek. Tanpa kata kerja subjek hanyalah entitas mati, tanpa makna kontekstualitasnya. Bahasa lainnya wujuduhu ka adamihi,  adanya seperti tidak adanya. Ah... betapa naif dan menyedihkannya menjadi makhluk yang seperti itu. Padahal sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain, dan menulis adalah salah satu cara untuk kita mengabadi dan ada serta memberikan sedikit sumbangsih untuk sebuah peradapan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Pram “Menulis adalah kerja keabadian”.

Singkatnya di buku SOS itu nanti anda akan diajak berpetualang di rimba kata, menambang emas pengetahuan dan wawasan tentang kepenulisan, serta mencoba jurus-jurus sakti kepenulisan, sehingga setelah membaca buku SOS diharapkan anda siap di segala medan dan kondisi untuk terus menulis, dan kesibukan tidak lagi menjadi alibi dan dalih untuk tidak menulis. Salam SOS !

*Joyojuwoto, lahir di Tuban, Anggota Komunitas Kali Kening; Santri dan Penulis buku “Jejak  Sang Rasul” tinggal di www.4bangilan.blogspot.com.

Senin, 22 Agustus 2016

Mengenang Gugurnya Letda Sucipto di Tapen Sidoharjo Senori

Mengenang Gugurnya Letda Sucipto di Tapen Sidoharjo Senori
Joyojuwoto*


Biar badan hancur lebur
Kita kan bertempur
Membela keadilan suci
Kebenaran murni

Begitulah bunyi sumpah dari seorang Taruna sejati, sumpah seorang prajurit pembela kemerdekaan bangsa, biar badan hancur lebur, kita kan terus bertempur. Kemerdekaan adalah hal yang harus diperjuangkan hingga titik darah penghabisan. Pilihannya hanya merdeka atau mati, sekali merdeka tetap merdeka, tidak ada kata kompromi bagi penjajahan di bumi pertiwi tercinta ini.

Begitulah yang terjadi pada para pejuang-pejuang bangsa Indonesia tercinta, dibawah janji suci kepada Dwi warna Sang Merah putih, mereka merelakan bakti, mengorbankan jiwa dan raga demi membela bangsa dan negara. Bagaimanapun juga penjajahan harus dilawan, walau jiwa dan raga menjadi taruhannya. Ibu pertiwi menanti, ibu pertiwi menanti, tunjukkan baktimu pada nusa dan bangsa,  bangkitlah wahai para pemuda, bangkitlah para taruna sejati untuk membela negeri tercinta.

Adalah Letda Sucipto, seorang tokoh perjuangan kemerdekaan di masa Agresi Militer Belanda II yang menurut catatan sejarah melakukan pendaratan di pantai Glondong Tambakboyo pada tanggal 18 Desember 1948. Perlawanan rakyat dan tentara pun pecah, pertempuran terjadi di mana-mana, dan salah satunya terjadi di dusun Tapen desa Sidoharjo Kec. Senori. Letda Sucipto  yang saat itu memimpin perlawanan gugur bersama beberapa anak buahnya di area persawahan di desa setempat.

Oleh warga Letda Sucipto dimakamkan di desa Saringembat, tepatnya yang sekarang berdiri bangunan SDN Saringembat 03. Sedang tempat di mana mereka gugur dibuatlah dua buah tugu peringatan. Namun sayang tugu itu tidak ada prasastinya yang menyebutkan sebagai tugu apa, dan tugu itu tidak mendapatkan perawatan dari pemkab maupun dari pihak desa setempat. Semoga ke depan tugu itu mendapatkan perhatian, syukur-syukur diberi tulisan, atau gambar ilustrasi  mengenai kisah heroik dari Letda Sucipto.

Sekitar tahun 1970-an, makam Letda Sucipto dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan yang ada di Tuban. Untuk mengenang dan menghargai jasa-jasa beliau pemerintah Kabupaten Tuban membuat tugu patung Letda Sucipto yang berdiri gagah di bundaran depan gedung DPRD Tuban. Patung itu sebagai tetenger, sebagai monumen untuk mengingatkan kita akan perjuangan para pahlawan yang telah mendahului kita, sebagaimana yang selalu di gembar-gemborkan oleh para bijak bahwa “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya”. Jas merah ujar Bung Karno, Jangan Sekali-sekali melupakan sejarah.

Tugas kita generasi sekarang mengingat dan menyalakan kembali semangat pengorbanan para pahlawan yang telah memperjuangkan bangsa dan negara ini untuk mengusir penjajahan. Mari menjaga semangat perjuangan, dan mengobarkan sikap merdeka dari segala bentuk penjajahan agar bangsa ini menjadi bangsa yang berdikari, berdaulat, yang akan mengantarkannya menjadi bangsa yang adil makmur dalam ridho Allah Tuhan seru sekalian alam. Salam Merdeka !!!.


*Joyojuwoto, lahir di Tuban, Anggota Komunitas Kali Kening; Santri dan Penulis buku “Jejak  Sang Rasul” tinggal di www.4bangilan.blogspot.com.

Minggu, 21 Agustus 2016

Musim Jamur

Musim Jamur
Joyojuwoto*

Hari minggu adalah hari di mana Naila libur sekolah, biasanya Naila pergi ke rumah neneknya untuk bermain-main dengan teman-temannya yang ada di sana.  Agis, Windi adalah teman bermain Naila di Singsim, tidak ketinggalan juga Nafa adik kecil Naila juga ikut bergabung. Minggu itu seperti biasa Naila diantar Abi dan Uminya ke rumah nenek, sesampai di sana Agis dan Windi telah menunggu. Mereka telah merencanakan untuk berburu jamur di pekarangan belakang rumah.

Pekarangan belakang rumah nenek Naila cukup luas, banyak pohon-pohon yang tumbuh di sana, ada belimbing, pisang, sukun, randu, bambu, jati dan lain sebagainya. Selain asyik dipakai bermain, biasanya Naila dan teman-temannya juga mandi di kali yang letaknya di sebelah utara yang menjadi batas antara pekarangan belakang dengan area persawahan.

“Hai Naila, cepat segera ganti baju bermain, ayo kita mencari jamur di belakang rumah” seru Agis menyambut kedatangan Naila.

“Iya ayo nanti kita buat brengkes jamur” sahut Windi yang baru keluar dari rumah

“Ok siap bos” jawab Naila singkat sambil mengambil sikap hormat.

Naila dan Nafa segera bergegas masuk ke rumah neneknya dan berganti baju bermain, agar bajunya yang masih bagus tidak kotor kena kotoran dan getah pepohonan saat bermain. Tak lama kemudian Naila, Nafa telah bergabung dengan Windi dan Agis. Mereka berempat kemudian berjalan menuju pekarangan belakang rumah di mana biasanya jamur banyak tumbuh.

Saat itu memang awal memasuki musim penghujan, sehingga banyak jamur yang tumbuh. Jenis jamur yang biasanya tumbuh di belakang rumah adalah jamur Barat, sejenis jamur yang tumbuh di semak-semak yang tanahnya lembab. Jamur ini termasuk jenis jamur yang tidak beracun dan enak untuk dikonsumsi. Baik itu dibuat brengkres, di oseng, ataupun di olah menjadi sayur asem jamur. Wuih !!! rasanya enak sekali.

Di tengah-tengah semak, Naila, Nafa, Windi, dan Agis mencari-cari jika ada jamur yang tumbuh. Dengan teliti mereka menyibaknya. Tanah di belakang rumah nenek Naila masih agak basah, karena tadi malam hujan mengguyur dengan lebatnya. Musim hujan menjadikan tanah-tanah basah dan di situ kadang banyak jamur yang tumbuh. Tidak salah jika ada pepatah yang mengatakan “Bagai jamur tumbuh di musim penghujan”.

“Hai Mbak Windi, Agis.. ke sini, ini di bawah pohon Sukun ini ada jamur !” teriak Naila memanggil Windi dan Agis.

“Hore..hore..saya dapat jamur” teriak Nafa kegirangan yang saat itu bersama Naila di bawah pohon sukun.

Benar saja, di bawah pohon Sukun yang bersemak terdapat sekumpulan jamur yang tumbuh, maklum saja semak-semaknya agak lebat sehingga memungkinkan jamur hidup dan tumbuh di tempat itu.

“Wah.. banyak sekali ya Naila jamurnya, satu, dua, tiga, empat.. yang besar-besar ada empat, dan itu yang masih kuncup ada tiga” hitung Windi.

“Jamurnya kayak payung ya mbak Windi ? Naila mengomentari bentuk jamur yang ditemukannya.

“Ayo kita cabut jamurnya” seru Agis. “Jamur ini tidak beracun kan ? tanya Agis ragu-ragu.

“Iya ini namanya jamur barat, jamur ini enak lho di masak, tidak beracun” kata Windi menjelaskan.

Mereka berempat akhirnya mencabuti jamur-jamur itu, Naila dan Agis mengambil daun pisang, Windi mendapat tugas mencuci jamur, setelah dicuci dengan air kemudian Windi membungkusnya dengan daun pisang sedemikian rupa.

Agar tidak lepas bungkusan daun pisang itu ditusuk dengan biting sebagai pengikat. Tidak lupa Windi menaburinya dengan garam, agar rasanya tidak hambar. Setelah itu bungkusan jamur dalam daun pisang itu dibawa ke depan. Mereka telah mempersiapkan perapian untuk mbrengkes jamur yang mereka temukan hari itu. Mereka berempat bergembira-ria menunggu hasil buruannya matang untuk disantap bersama.


*Joyojuwoto, lahir di Tuban, Anggota Komunitas Kali Kening; Santri dan Penulis buku “Jejak  Sang Rasul” tinggal di www.4bangilan.blogspot.com.



Sabtu, 20 Agustus 2016

Tarekatnya Sunan Kalijaga

Tarekatnya Sunan Kalijaga
Joyojuwoto*

Pic : Joyojuwoto
Sunan Kalijaga adalah seorang ulama ternama, pakar dalam berbagai bidang kehidupan baik yang berdimensi jasmani maupun ruhani. Beliau adalah Guru Spiritual, Sang Guru Sejati, dan Batharanya Tanah Jawa. Sunan Kalijaga seorang waliyullah yang telah sampai pada maqam ma’rifat kepada Allah dengan menempuh jalan tarekat. Jalan tarekat adalah jalan spiritual dalam rangka untuk menggapai cahaya ketuhanan, sehingga manusia dapat berselaras dengan qudrat dan iradah-Nya, atau dalam istilah khasanah kejawen dikenal dengan “Manunggaling Kawulo Gusti” (bersatunya hamba dengan Tuhan).

Kata tarekat berasal dari bahasa arab yang artinya adalah jalan. -Jalan disini adalah jalannya Allah yang mengajak manusia untuk menyembah dan mensucikan-Nya, sebagaimana yang termaktub dalam Al Qur’an surat Yusuf ayat 108 yang artinya :

“Katakanlah: "Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan bashirah, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik".

Inilah jalan tarekat yang ditempuh oleh Sunan Kalijaga menyembah Allah dengan bashirah, dengan hujjah yang nyata. Menyembah tahu siapa yang disembah, yang dalam konsep ihsannya disebut ka’annaka taraahu (seakan-akan engkau tahu) dan bukan hanya sekedar menyembah nama belaka apalagi menyembah kekosongan dan kehampaan. Hal ini juga pernah disampaikan oleh Sunan Bonang kepada santrinya yang bernama Wujil. “Janganlah menyembah kalau tidak mengetahui siapa yang disembah. Tapi jangan kau sembah apa yang terlihat”. Begitu wejangan dari Sunan Bonang guru dari Sunan Kalijaga.

Oleh Sunan Kalijaga istilah tarekat diserap ke dalam bahasa Jawa menjadi tirakat, makna dari tirakat sendiri adalah berpantang diri dari sesuatu hal. Biasanya tirakat ini dipakai oleh masyarakat sebagai media untuk meraih suatu tujuan, baik itu masalah ruhani maupun jasmani. Tirakat adalah suatu proses pembersihan jiwa, tirakat juga berfungsi menyeimbangkan jasmani dan ruhani manusia guna mencapai kesejatian hidup.

Ada banyak macam tirakat yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga, salah satu bentuk dari tirakat itu adalah semedi. Mungkin kita akan merasa aneh dan bertanya apakah semedi ini diajarkan oleh Rasululah SAW ? tidakkah semedi ini menyalahi sunnah-sunnahnya Nabi, sehingga berpotensi menjadi sesuatu yang bid’ah ? Semedi sendiri memiliki padanan istilah yang banyak, seperti meditasi, kontemplasi, dan tentu istilah yang sama dengan ajaran Islam adalah dzikir. 

Jika zaman dahulu Sunan Kalijaga memakai istilah dzikir belum tentu masyarakat Jawa mau dengan suka rela mengikuti ajaran Islam, karena istilah itu asing bagi mereka. Oleh karena itu Sunan Kalijaga memakai istilah lokal sebagai metode dakwahnya dalam menyampaikan ajaran Islam. Dzikir berasal dari bahasa Arab yang artinya ingatan, atau sesuatu yang diingat. Dzikir tidak hanya sekedar bagian dari ajaran Islam bahkan sangat dianjurkan, bahkan yang berdzikir kepada Allah tidak hanya manusia saja, gunung-gunung, binatang, langit, dan seluruh semesta berdzikir kepada-Nya. “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya. Tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun” (QS : Al Isra’ : 44).

Menurut khasanah sufisme dzikir berarti terus menerus menyebut nama Tuhan. Dzikir ini berfungsi menghadirkan rasa ketuhanan di dalam jiwa manusia. Sehingga manusia selalu ingat akan kesejatian, bahwa sesungguhnya yang sejati dan yang wajib ada hanya Allah semata. Karena pada hakekatnya seluruh dunia dan isinya adalah fana dan hanya Allah saja yang wajibul wujud. Jadi dzikir atau semedi adalah bentuk penegasan bahwa hanya Allahlah eksistensi yang sejati. Jika manusia ingin mencapai kesejatian maka hendaknya ia manunggal dengan dzat yang sejati. Manunggaling Kawula lan Gusti.

Dalam sebuah bait tembangnya Sunan Kalijaga, mengajarkan meditasi atau dzikir untuk manunggal dengan Tuhan Yang Maha Tunggal. Mari kita simak wejangan beliau berikut :

Kang sinedya tinekan Hyang Widi
Kang kinarsan dumadakan kena
Tur sinihan Pangerane
Nadyan tan weruh iku
Lamun nedya muja samadi
Sasaji ing sagara
Dadya ngumbareku
Dumadi sarira tunggal
Tunggal jati swara awor ing hartati
Aran sekar jempina

Artinya :
“Yang diinginkan dikabulkan Tuhan. Yang dikehendaki tiba-tiba didapat, dan dikasihi Tuhan. Meskipun dia tidak tahu. Akan tetapi, ketika dia hendak melakukan puja samadi, dia memberi sajian di laut. Jadilah mengembara itu, untuk menjadi satu diri. Satu kesejatian, suara yang ada dalam hartati. Itulah yang disebut bunga jempina.”

Secara singkat makna dari tembang di atas adalah manunggalnya lahut (sifat ketuhanan) dan nasut (sifat manusiawi) sehingga seorang hamba yang sudah mampu meleburkan kemakhklukannya pada Sang Khalik maka ia akan sampai pada realitas ketuhanan, atau dalam bahasa agamanya menjadi hamba yang dicintai Tuhan. Jika seorang hamba telah dicintai dan dekat dengan Tuhan tentu segala cita-cita dan keinginannya akan mudah diijabahi-Nya.

Menurut tembang di atas untuk menjadi hamba yang dicintai Tuhan salah satunya adalah dengan jalan semedi atau dzikir. Jika kita berdzikir atau mengingat Tuhan maka Tuhan pun akan mengingat kita Fadzkuruunii adzkurkum (Ingatlah Aku, maka Aku akan mengingatmu) begitu dalam Al Qur’an surat Al-Baqarah ayat 152.

Lebih lanjut lagi bagi yang bersemedi hendaknya ia melakukan sasaji ing sagara, atau memberikan sesaji di lautan. Istilah ini sering dimaknai secara profan yaitu membuat sesaji untuk dilarung di lautan, dan ini akhirnya menjadi budaya larung sesaji oleh masyarakat pantai. Padahal makna sasaji ing sagara adalah kita harus menuju samudra ma’rifat sebagaimana dalam Serat Dewa Ruci yang menceritakan Sang Bima berada di tengah samudra yang kemudian bertemu dengan Sang Guru Sejatinya.
Sagara dalam pandangan ma’rifat Jawa merupakan lambang dari kalbu manusia. Jadi sasaji ing sagara memiliki arti manusia harus bisa mengendalikan gelombang nafsu dan jiwanya guna menuju satu kesatuan dan kesejatian Tuhan. Karena manusia sebelum terlahir ke dunia dengan kendaraan raga, ia hidup suci di baitul muqaddas, maka untuk mencapai kesucian itu manusia harus menyatukan perasaan dan pikiran dengan cara berdzikir inilah yang disebut sebagai “Hartati”.

Dzikir akan sempurna jika melahirkan sekar jempina, yaitu keadaan yang heneng, dan hening. Secara literal sekar jempina adalah sejenis tanaman umbi-umbian yang bisa dipakai untuk obat, sehingga seseorang yang telah sampai pada keadaan sekar jempina maka ia telah mampu mengobati penyakit-penyakit yang ada di dalam hati nuraninya yang menjadi sebab terhalangnya hijab ketuhanan. Secara maknawi jempina merupakan paduan dari tiga kata yang masing-masing terdiri dari satu suku kata, jem, pi, dan na. Jem berarti jenjem yang artinya tentram, pi berarti sepi, atau sunyi, sedangkan na adalah ora ana yang berarti kekosongan.

Dengan demikian puncak dari dzikir adalah kondisi kosong tapi berisi, berisi tapi kosong, sunyi dan sepi dari pamrih keduniaan untuk mencapai ketentraman lahir dan batin.

*Joyojuwoto, lahir di Tuban, 16 Juli 1981, Anggota Komunitas Kali Kening; Santri dan Penulis buku “Jejak  Sang Rasul” yang tinggal di www.4bangilan.blogspot.com

Jumat, 19 Agustus 2016

Esai is Easy

Esai is Easy
Joyojuwoto*

Apa yang ada dalam rabaan dan pikiran kita jika mendengar kata esai ? mungkin kita akan langsung terbayang tulisan yang njlimet, penuh kata-kata ilmiah, keingris-ingrisan, dan tulisan yang dipenuhi frasa-frasa yang mengerutkan dahi kita. Mungkin saja indra kita tidak salah mengidentifikasikan esai dengan berbagai macam pengertian yang memusingkan kepala kita itu, karena memang kita merasa menulis esai harus dengan aturan yang baku dan ketat, serta tidak boleh keluar dari rambu-rambu kepenulisan yang sakral.

Menurutku esai is easy saja, yang terpenting adalah kita bisa senikmat mungkin menetrasikan isi kepala kita ke dalam lembaran-lembaran kertas untuk menjadi sebuah tulisan tanpa harus takut ditangkap dan diinterogasi oleh polisi bahasa. Menuangkan ide dan pikiran dalam sebuah tulisan untuk menanggapi atau mengomentari sesuatu hal disekitar kita adalah sebuah esai, kita tidak perlu terikat dengan segala macam pengertian esai dari para pakar ataupun dari KBBI, karena pada dasarnya mereka pun tidak akan pernah secara tepat mendefinisikan pengertian dari esai itu sendiri.

Walaupun demikian kita juga tidak menafikan pengertian esai dari pendapat para tokoh literasi, karena bagaimanapun juga sesuatu itu butuh tanda pengenal dan alamat untuk mendeskripsikan sesuatu, termasuk di dalamnya esai. Dalam bukunya “Inilah Esai” yang ditulis oleh Muhidin Dahlan, ia memaparkan berbagai macam pengertian dari esai, diantara yang dikutip oleh pemilik warung arsip ini menuliskan bahwa istilah esai untuk pertama kalinya muncul adalah Michel de Montaigne (1533-1592) yang menerbitkan edisi pertama esainya dengan judul “Of the Vanity of Word”. Montaigne mendefinisikan esai sebagai “Percobaan”.

Beberapa pakar essay lainnya juga memberikan definisi esai sesuai dengan pengalaman mereka, semisal Aldous Huxley esai adalah hendak mengomentari segala hal dan tentang apa saja. menurut kamus esai adalah bahasan sepintas dan sifatnya personal, sedang Bandung Mawardi mengatakan esai adalah cuilan. Menurut Cak Nun esai adalah sesuatu yang sifatnya longgar, sedang Gus dur lebih gila lagi mengatakan esai adalah suatu gaya penulisan yang “bukan-bukan”. Esai bukan sebuah puisi dan juga bukanlah sebuah karya tulis ilmiah. Walaupun bukan sebuah puisi esai tidak diperkenankan hadir tanpa rasa poetika, dan walaupun bukan karya ilmiah esai juga tidak terlepas dari perkara-perkara yang riil dan ilmiah. Tegasnya esai ya itu tadi is easy, sesuai dengan kemampuan daya nalar kita dalam mengomentari, membahas, mengungkapkan gagasan, dan menganalisa hal-hal disekitar kita secara sepintas lalu dan lebih bersifat personal dari cara dan sudut pandang kita sendiri.

Untuk menuliskan sebuah esai banyak tema yang bisa kita pilih, mulai dari masalah politik/ideologi, teori budaya, sains dan ilmu pengetahuan, bahasa, agama, transportasi, buruh, korupsi, dan bahkan boleh juga yang menyangkut masalah pribadi. Yang terpenting dari sebuah esai adalah kita fokus dan memahami benar tentang hal yang  akan kita esaikan. Tidak kalah pentingnya sebuah esai akan meledak di ruang pembaca jika masalah itu kekinian dan sedang menjadi viral di media sosial, hanya dengan sentuhan-sentuhan sedikit saja esai kita akan banyak dibaca orang.

Untuk menghasilkan dan memproduksi sebuah esai perlu kiranya kita mencari sumber bahan baku dari sebuah esai, sumber-sumber itu bisa kita elaborasikan dengan tema dan topik yang akan kita tulis sehingga kita tidak akan kehabisan untuk memproduksi esai. Jika kita mampu menguasai sumber itu tentu kita tidak akan kehabisan bahan baku, dan esai kita akan tajam dan kreatif serta memiliki kerangka alur yang jelas. Diantara sumber yang dapat kita ambil adalah : Perpustakaan, subjek manusia, subjek flora/fauna, ruang-ruang imajiner, dan yang tidak kalah penting adalah internet.

Agar esai yang telah kita produksi dari sumber-sumber di atas semakin luwes dan kaya akan model-model kepenulisan, maka hendaknya kita perlu menguasai ragam gaya menulis esai. Karena pada dasarnya esai itu seperti manusia yang memiliki beragam gaya dan selera, jadi tidak ada salahnya kita juga mampu menguasai macam-macam gaya dalam menulis sebuah esai. Namun yang paling aman tentu kita harus menyesuaikan tema apa yang akan kita tulis kemudian kita cocokkan dengan gaya yang akan kita pilih. Diantara gaya kepenulisan esai adalah : esai itu bisa seperti surat, esai itu alat kritik yang melengkung, esai bisa seperti puisi naratif, esai seperti sebuah percakapan, esai itu adalah pengantar sebuah buku, esai yang mengantarkan arwah, esai adalah sebuah memoar, esai seperti pamflet, esai yang dimimbarkan, esai yang dibikin untuk memancing keributan, esai yang menghanyutkan, esai adalah medan akrobat bahasa, esai bisa dengan cerita, esai itu memberi nyawa pada kamus, esai yang menggelar sinisma dan satirisma, esai yang berkaki adalah esai yang didorong tenaga turbo kekuasaan.

Demikianlah beberapa hal pokok dan mendasar yang saya sarikan dari bukunya Muhidin M. Dahlan, “Inilah Esai” yang dapat mengantarkan kita pada kekayaan sebuah esai yang dapat kita produksi untuk menjadi sebuah tulisan yang nantinya kita hidangkan kepada para pembaca.  Semoga dari tulisan ringkas dan singkat ini mampu sedikit memberikan gambaran tentang sebuah esai. Selaras dengan perkataan Gus Dur di atas bahwa esai adalah hal yang “bukan-bukan”, begitu pula tulisan ini pun menjadi tulisan yang “bukan-bukan”, selamat membaca, semoga ada manfaat dan faedahnya.

*Joyojuwoto, lahir di Tuban, Anggota Komunitas Kali Kening; Santri dan Penulis buku “Jejak  Sang Rasul” tinggal di www.4bangilan.blogspot.com.