Rabu, 25 Mei 2016

Ajaran Sunan Ampel Tentang Larangan Mo Lima

Ajaran Sunan Ampel Tentang Larangan   Mo Lima

Minuman keras atau miras yang menjadi bagian dari salah satu Mo lima tidak hanya terlarang dalam ajaran Islam saja, namun hukum positif negara juga melarang membeli, meminum, mengedarkan dan memperjual belikan secara bebas minuman yang mengandung alkohol ini. Baru-baru ramai diberitakan bahwa Mendagri akan mencabut perda miras, hingga terjadi reaksi yang beragam dari masyarakat baik yang pro maupun kontra.

Orang-orang yang sok imannya kuat ada yang bilang, “Untuk apa perda minuman keras kalau memang kita bisa beragama dengan baik tidak usah itu ada perda, toh kita tidak akan meminumnya” Ada lagi yang menyanggah bahwa minuman keras adalah akar dari segala dosa, seperti kisahnya Barseso yang disuruh setan untuk berbuat dosa kepada Tuhan sedikit saja biar Barseso bisa beribadah dengan khusyu’, maka dari tiga dosa yang dipilihkan setan yaitu membunuh, berzina, dan minum-minuman keras, Sang Barseso pun memilih minum minuman yang memabukkan itu. Dari minuman keras itulah dosa lain akhirnya dilakukan juga yaitu menzinai perempuan dan akhirnya membunuhnya.

Pendapat pertama yang mengatakan bahwa negara tidak perlu membuat perda tentang larangan miras kelihatannya sangat bajik dan bijak, namun sangat naif. Untuk apa perda sedang dalam ajaran agama sudah dilarang, kalaupun ada yang jual kemudian tidak ada yang beli percuma kan, nanti juga tutup sendiri. Begitu kira-kira logikanya. Orang yang berpendapat seperti ini lupa bahwa manusia itu lemah dan sering lupa, oleh karena itu ia disebut Man-Nusia (orang yang dilalaikan), sedang iman itu adakalanya bertambah dan adakalanya berkurang. Kejahatan itu kadang bukan dari niat si pelakunya kata Bang Napi, tapi karena ada kesempatan juga. Oleh karena itu pemerintah perlu membuat aturan atau undang-undang mengenai hukum positif dalam masyarakat yang bisa diadaptasikan dari nilai-nilai agama. Termasuk salah satunya adalah tentang miras ini.

Larangan miras pun sebenarnya bukan hanya di era sekarang, jadi tidak perlu kaget jika ada perda anti miras. Jauh sebelum adanya Kemendagri bahkan sebelum negara ini lahir, miras sudah dilarang baik  oleh institusi kekuasaan saat itu maupun oleh ajaran agama yang dianut oleh masyarakat. Fakta di lapangan juga banyak menunjukkan bahwa kejahatan salah satunya diawali oleh miras. Seperti kasus yang baru saja heboh tentang Yuyun yang ramai-ramai diperkosa dan akhirnya dibunuh secara kejam. Apa kita masih memandang sebelah mata tentang bahaya miras ?

Dalam hasanah Jawa kita sering mendengar istilah “Mo Lima” yang berarti “Moh lima” (Tidak mengerjakan lima hal). Istilah Mo Lima ini diperkenalkan oleh Walisongo khususnya Sunan Ampel kepada santri-santrinya. Lima hal yang dilarang itu pada awalnya menurut sejarawan yang juga budayawan KH. Agus Sunyoto adalah meninggalkan lima ritual yang dilakukan oleh penganut ajaran Bairawa Tantra yaitu mamsa (daging), matsa (ikan), madya (arak), maithuna (seks), dan madras (semadhi) yang biasanya dilakukan di area pekuburan. Upacara ini dikenal dengan sebutan Pancamakara.

Aliran para penyembah Dewi Durga ini melakukan upacara Pancamakara berbaur baik laki-laki dan perempuan. Biasanya mereka makan-makan bersama kemudian minum-minuman keras hingga mabuk dan dilanjutkan pesta seks dan setelah itu bersemadi memuja dewa Betari Durga. Lebih sadis lagi jika tingkat keilmuan mereka sudah tinggi makan-makannya tidak lagi daging sapi, kerbau, dan ikan namun yang mereka makan adalah daging manusia, minumannya pun juga bukan arak lagi namun diganti darah, kemudian dilanjutkan pesta seks bersama diantara para pengikut Bairawa Tantra. Hal ini dapat kita lihat dalam serat Nyai Calon Arang seorang Janda Sakti dari Dusun Girah yang menebar teror pada masa Raja Erlangga di Kediri.

Begitu sadis dan mengerikannya perilaku orang-orang yang mengamalkan upacara ini yang di dalamnya ada pesta arak. Oleh karena itu Sunan Ampel melarang santri-santrinya untuk mo lima karena mengacu pada praktek ritual bairawa tadi. Selanjutnya ma lima versi sekarang yang dikembangkan oleh para wali adalah pelarangan ma lima yang meliputi madat (candu), madon (main perempuan), main (judi) minum (minuman keras), dan maling (mencuri) yang kesemuanya itu termasuk perbuatan yang tercela dan merugikan orang lain.

Minuman keras ada yang mengatakan bermanfaat, jadi meminumnya tidak apa-apa kalau itu dipakai sebagai sarana obat. Tentang hal ini Allah SWT telah menjelaskan dalam Al Qur’an surat Al Baqarah  ayat 219 yang isinya manfaat yang dihasilkan oleh minum-minuman keras ini jauh lebih sedikit dibanding madharat yang ditimbulkan oleh minum-minuman keras, oleh karena itu meminumnya sedikit ataupun banyak tetap tidak diperkenankan atau diharamkan.

Mungkin kita pernah mendengar istilah masyarakat di Tuban yang notabene sebagai penghasil minuman khas toak, bahwa minum “toak sak cendak iso kanggo noto awak” (toak satu gelas bambu dapat dipakai sebagai obat badan). Kemungkinan awalnya seperti itu namun akibat yang ditimbulkan selanjutnya adalah tetap mafsadah dan madharatnya lebih besar dari faedahnya. Oleh karen itu jauhi hal-hal yang tidak bermanfaat dan membawa pada kerusakan diri maupun orang lain.

Dalam hasanah masyarakat Jawa memang telah digambarkan perilaku dari orang-orang yang suka minum-minuman keras. Pada awalnya memang membuat senang dan tenang pada tegukan yang pertama namun nanti akibatnya akan menyebabkan kematian. Baik itu kematian jasmani maupun ruhani. Perhatikan tahapan-tahapan dari para peminum atau pecandu minuman keras. Tegukan pertama disebut Eka Padma Sari, kenikmatannya bagai megisap sari bunga, kedua Dwi Amartani, kenikmatannya menjalar disekujur tubuh, ketiga Tri Bawula Busana, lupa terhadap kondisi pakainnya, keempat Catur Wanara Rukem, perilakunya seperti kera, kelima Pancasurapanggah, lupa terhadap segala marabahaya, keenam Sad Guna Weweka, rasa marahnya bangkit, ketujuh Sapta Kukila Wresa, mengoceh seperti burung, kedelapan Astha Kacara-cara, perilakunya ngawur, kesembilan Nawa Wagra Lapa, sudah tidak berdaya, dan yang terakhir tegukan yang kesepuluh adalah Dasa Buta Mati, seperti orang yang mati bahkan bisa mati beneran.

Begitulah bahayanya orang yang mabuk-mabukan karena miras yang awalnya berupa kenikmatan yang akhirnya membawa kesengsaraan. Mabuk membuat orang tidak waras dan tidak jernih pikirannya oleh karena itu perlu dihindari, tidak hanya mabuk miras saja yang berbahaya namun mabuk-mabuk lainnya juga sangat berbahaya seperti mabuk harta, mabuk kekuasaan, mabuk wanita (Harta,Tahta, Wanita) yang kesemuanya akan berujung pada kehancuran dan penderitaan. Maka berhati-hatilah dan hendaknya kita selalu eling lan waspada. Joyojuwoto


2 komentar:

  1. tentang miras jadi ingat kasus yuyun ya pak..

    BalasHapus
  2. Minumaman keras apapun namamu tak Kan Ku teguk tak Kan Ku minum walau setetes . Walah teringat lagunya bang haji Pak guru. Mantapp :D

    BalasHapus