Sabtu, 12 Maret 2016

Gerhana di Bukit Cinta

Gerhana di Bukit Cinta

Selalu ada hal istimewa yang dilakukan untuk menandai suatu peristiwa yang luar biasa dalam lingkaran kehidupan masyarakat atau hal-hal yang dianggap bersejarah agar menjadi sebuah momentum yang menjadi kenangan.  Kemarin tanggal 9 Maret 2016 terjadi peristiwa Gerhana Matahari Total (GMT) di beberapa wilayah di Indonesia, seperti di Palu, Pontianak, Bali, dan sebagian wilayah di Sumatera. Sedang untuk wilayah-wilayah lain di Indonesia hanya bisa menikmati terjadinya Gerhana Matahari Sebagian (GMS).

Berbagai ragam cara dilakukan masyarakat untuk menikmati dan mengenang fenomena astronomis itu. Mulai dari hal-hal yang bersifat hiburan, ritual kepercayaan hingga yang relegius. Ada yang berbondong-bondong berkumpul bersama komunitas untuk menikmati sensasi gerhana, ada yang mengadakan festival gerhana dengan akar kebudayaan masing-masing daerah, dan tentu tidak ketinggalan umat Islam di berbagai daerah melaksanakan sholat gerhana ( sholat sunnah Kusuf) sebagaimana yang anjurkan oleh Nabi Muhammad SAW.  Semua perayaan dan ritual itu menjadi khasanah dan dinamika kebudayaan yang cukup menghibur masyarakat.

Saya pun tak mau ketinggalan untuk melihat, merasakan, menikmati dan mengabadikan sensasi gerhana matahari walau di tempatku bukan gerhana total. Gerhana matahari memang sebenarnya bukanlah hal yang istimewa, karena peristiwa ini pernah terjadi dan tentu akan terjadi berulang kembali sesuai dengan waktu dan perhitungannya. Namun setidaknya peristiwa gerhana matahari tahun ini menjadi hal yang cukup bermakna bagi saya.


Pagi setelah melaksanakan sholat gerhana di Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban, saya ada agenda pertemuan para pesilat di Bukit Cinta Sekar Bojonegoro. Sebuah tempat yang fenomenal karena berita dan citra dari media sosial. Letaknya cukup jauh dari kediaman saya, sekitar 70 KM. Dari Bangilan saya mengambil rute tanjakan Banyuurip Kec. Senori, lewat jembatan Malo, masuk Kec. Kalitidu, Ngasem, terus naik ke selatan hingga sampai di Deling kemudian naik ke lokasi Bukit Cinta Atas Angin.

Perjalanan relatif lancar walau  agak lambat karena terhambat kondisi jalan yang rusak akibat gerusan air hujan, khususnya di wilayah sumber minyak Banyuurip ke selatan. Saya kurang tahu jalan itu menjadi tanggung jawab pemerintah Kab. Bojonegoro, Pertamina, atau bahkan masyarakat setempat. Yang pasti wilayah itu adalah kantong-kantong penghasil minyak yang cukup lama beroperasi. Untuk jalan Malo kemudian Kalitidu hingga Ngasem juga banyak aspalnya yang mengelupas. Musim hujan bena-benar membawa kerusakan bagi jalan-jalan. Namun kayaknya Pemkab Bojonegoro tanggap, sepanjang jalan itu diperbaiki dengan serius. Buktinya pengaspalan jalan diberi rangkaian besi yang kemudian dicor, bukan tambal sulam seperti biasanya yang saya lihat.

Untuk rute Ngasem ke Selatan hingga Deling jalannya juga sudah beraspal dan sebagian di paving. Namun lubang-lubang jalan masih cukup banyak. Jika kita mengendarai sepeda motor off road jalannya sangat cocok dan menantang, namun kalau kendaraan normal ya kita perlu sedikit bersabar untuk sampai ke lokasi. Karena selain medannya yang menanjak juga kondisi jalan yang memang perlu untuk segera diperbaiki.

Bagi saya pribadi  rute jalan seperti apa tidak menjadi masalah dan justru sangat mengasyikkan, namun jika Pemkab Bojonegoro ingin serius menggarap sektor pariwisata di wilayah paling selatan Bojonegoro itu perlu banyak hal yang harus dibenahi. Mulai akses jalannya hingga di lanskap lokasi yang akan dijadikan sebagai objek wisata.

Saya melihat Kec. Sekar memiliki potensi itu dengan catatan Pemkab atau pihak yang terkait betul-betul menyiapkan apa yang menjadi harapan masyarakat. Saya sendiri sudah banyak mendengar tentang keindahan dan keeksotisan Sekar Bumi Atas Angin dengan Bukit Cintanya. Namun baru kemarin sempat menjamahnya sendiri secara langsung. Banyak foto-foto yang diunggah di media massa, facebook khususnya yang mencitrakan dari balik lensa tentang Bukit Cinta dengan segala panoramanya.

Keunggulan dan kekurangan dari Bukit Cinta saya kira tak perlu saya ceritakan di sini, karena masing-masing tempat tentu memiliki potensi keduanya. Cuma satu yang menjadi catatan saya, di sekitar lokasi wisata Bukit Cinta saya kesulitan untuk mengekspresikan cinta saya kepada Tuhan. Walau akhirnya saya tertolong dengan adanya warung yang ketepatan saat itu tidak buka, saya menggunakan lesehan dari bambu-bambu di warung itu untuk sekedar memenuhi panggilan-Nya.
Selain karena alam adalah anugerah Tuhan yang patut untuk kita nikmati dan kita syukuri bersama, kunjungan Saya kemarin ke Bukit Cinta saat gerhana menjadi hal yang menarik bagi saya. Saat momentum Gerhana Matahari di Bukit Cinta akan menjadi saksi keabadikan derai-derai cinta dari  Atas Angin buat seluruh pesilat antar perguruan di bumi Angkling Darmo. Adalah KPSB (Komunitas Pencak Silat Bojonegoro) beserta seluruh anggotanya mengadakan kegiatan Touring Wisata dalam rangka mengumandangkan dan mengibarkan bendera cinta serta mengobarkan cahaya cinta dari puncak Bukit Cinta Atas Angin. Tujuan kegiatan ini sebagaimana yang disampaikan oleh koordinator kegiatan Didik Riyanto di suarabojonegoro.com dimaksudkan agar lebih mengenalkan sebuah kebersamaan antar para pesilat dari berbagai perguruan di Bojonegoro.

Hal lain yang mendorong saya untuk mengunjungi Bukit Cinta tidak lain karena saya juga pengin berdiri dan bersefie ria di puncak Bukit Cinta Atas Angin. Tentu tidak ada kebahagiaan di dunia ini setelah cinta kepada Tuhan selain bisa berdiri tegak di atas landasan cinta. Cinta kepada apapun juga akan menghadirkan keindahan. Baik itu cinta kepada alam, cinta kepada hewan, lebih-lebih cinta kepada manusia dan kemanusiaannya. Ya karena Bukit Cinta dan potensi cintanya saya jauh-jauh datang dari Bangilan Tuban ke Atas Angin. Sekian. Joyojuwoto

Sekar Bukit Cinta, 09 Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar