Minggu, 14 Februari 2016

Bunyi-Bunyian NKRI Harga Mati

 Bunyi-Bunyian NKRI Harga Mati 

Banyak orang beranggapan dan mengatakan bahwa pergulatan idieologi di negara kita sudah selesai dan final sejak dihapuskannya tujuh kata dalam piagam Jakarta pada tanggal 18 Agustus 1945. Tokoh-tokoh bangsa yang membidani lahirnya negara ini telah consensus, mufakat  dan sepaham bahwa Pancasila adalah jawaban dari perseteruan panjang antara kaum agamis dan kaum nasionalis kala itu.

Banyak kalangan menganggap bahwa NKRI adalah harga mati yang sudah tidak dapat diutak-atik lagi, pakem, baku, padat dan beku. Mengingat kata harga mati saya jadi teringat apa yang disampaikan oleh Cak Nun, beliau mengatakan : “Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kabarnya harga mati. Sebagai “harga mati” tentunya, seperti label harga barang di mall-mall, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Padahal impian itu terus bergerak, pikiran terus mengembara, dan selalu membuka ruang “tawar-menawar” bagi terus bergeraknya suatu peradapan. Itulah realitas kesejarahan yang dialami siapa pun umat manusia, termasuk bangsa-bangsa yang terlahir di kepulauan Nusantara.”

Mengamini apa yang ditulis oleh Cak Nun bahwa kata harga mati itu tidak kreatif dan terkesan takut dengan perubahan, padahal di dunia ini tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Sudah menjadi sunnatullah bahwa apapun dan siapapun akan mengalami perubahan, tidak terkecuali sebuah ideologi.

Pancasila saja yang dianggap sebuah harga mati selalu mengalami perubahan mekanisme dan penafsiran yang berbeda-beda pada setiap generasi. Jaman Soekarno Pancasila ditafsirkan model demokrasi terpimpin, jaman Soeharto Pancasila ditafsirkan model pemerintahan yang dikenal dengan istilah orde baru, hingga jaman yang konon reformasi pun Pancasila punya format yang berbeda dengan model-model  sebelumnya.

Saya sama sekali bukan seorang yang anti NKRI, saya tetap mencintai tanah tumpah darah saya dengan segenap jiwa raga saya, karena saya menyadari darah saya, daging-daging saya, tulang-belulang saya tersusun dari tanah dan air bumi pertiwi ini. Namun saya hanya tidak ingin generasi sekarang hanya bisa lantang bersuara NKRI harga mati namun tidak paham substansinya. Mereka hanya menjadi korban jargon-jargon kosong yang dirangkum dalam kalimat NKRI harga mati.

Sebagai seorang muslim tak perlu kau ragukan kesetiaan saya kepada NKRI, umat-umat lain selain Islam juga tak perlu berprasangka yang tidak-tidak dengan umat Islam pada umumnya, sejarah telah berbicara dengan terang seterang matahari kemarau siang bahwa bangsa ini diperjuangkan oleh para santri dan ulamanya.

Tak perlu berteriak-teriak menjadi pahlawan kesiangan dengan modal NKRI harga mati. Bacalah realitas sejarah siapa itu Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Tengku Umar, Teuku Cik Ditiro, Imam Bonjol, Sisingamaraja, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari dan ratusan bahkan ribuan perjuangan para santri dan ulama yang tak tercover dalam buku-buku sejarah bangsa ini.

Umat Islam tidak perlu dibelajari tentang nasionalisme, tak perlu dikhutbahi tentang cinta tanah air, tentang kemanusiaan, karena umat Islam telah menciptakan satu kearifan lokal yang luar biasa yang yang dirangkum dalam kalimat “Cinta tanah air adalah sebagian dari Iman” ini memang bukan sebuah hadits namun sudah terbukti di manapun berada umat Islam adalah umat yang peduli dengan bangsanya, umat yang mencintai negerinya.

Tidak semua orang yang meneriakkan slogan NKRI harga mati adalah nasionalisme tulen, mereka kadang hanya ingin menuai keringat masyarakat dengan mengorbankan kepentingan bangsa ini, bahkan mereka sendiri yang menghancurkan benteng-benteng ketahanan bangsa. Lihatlah berapa banyak UU yang dihasilkan dari perselingkuhan yudikatif dengan para pemilik modal  dan para kapitalis asing.

Saya kira tidak perlu saya sebutkan satu persatu produk-produk UU yang sebenarnya adalah upaya neokolonialisme yang mencengkram bangsa ini. hampir 85 % SDA kita dikuasai asing, 72 % perbankan kita milik asing, 65 % hutan dan perkebunan kita juga milik asing. Di mana bumi kita pijak di situ hampir dipastikan ada perusahaan asing yang menguasai SDA kita atas nama investasi , atas nama kerjasama, atas nama pasar bebas, atas nama globalisasi dan atas nama atas nama lain-lainnya, walau kenyataannya SDA kita dihisap habis oleh korporasi. Rakyat sebagai pemilik sah negeri ini dipaksa menjadi kuli, dipaksa menjadi pengemis di negerinya sendiri.

Tulisan saya di sini hanya ingin menegaskan mari mencintai negeri Zamrud Katulistiwa ini dengan sepenuh hati bukan hanya sekedar NKRI harga mati namun hanya bunyi-bunyian tanpa arti. Kita tak perlu bilang seorang nasionalis sejati jika segala tindak-tanduk kita merugikan negara kita tak perlu bilang NKRI harga mati jika kita masih suka korupsi uang rakyat. Nasionalis sajati adalah dia yang dengan sepenuh jiwa berjuang untuk kemakmuran seluruh kepentingan bangsa dan negara bukan atas nama pribadi, kelompok, agama, partai dan lain sebagainya.

Di akhir tulisan saya ini, saya ingin memberikan pesan dan menegaskan khususnya kepada generasi muda penerus bangsa ini bahwa :
انّ في يدكم أمر الأمّة وفي أقدامكم حياتها
“Sesungguhnya di tangan kalianlah letak urusan bangsa ini dan pada derap langkah kaki kalian letak hidupnya bangsa”

Oleh karena itu wahai para pemuda mari sambutlah kembali seruan Bapak Proklamator kita, Bung Karno hidupkan gelegar semangatnya untuk menjadikan bangsa ini bangsa yang berdikari, bangsa yang kokoh berdiri diatas kakinya sendiri, karena kata Bung Karno : “Dengan berdikari...dengan berdikari saudara-saudara, maka lonceng kematian imperialisme berbunyi.” Ingat ! kita tidak sedang berada di bawah sinar bulan purnama, kita sedang berada di masa pancaroba, Vivere Pericoloso. Merdeka!!!.

1 komentar:

  1. Perjuangan mu.
    Perjuangan Ku.
    www.sangpemimpinnkri.blogspot.co.id

    BalasHapus