Mengenal Diri
Jalan Mengenal Tuhan
Kewajiban pertama yang dibebankan
bagi manusia adalah mengenal Tuhannya dengan penuh rasa yakin, Awwalu Wajibin
‘alal insani Marifatul Ilahi bistiqoni, begitu yang disebutkan dalam kitab Matan
Zubad karya Syekh Al Imam Ibnu Ruslan. Jika mengenal diri adalah jalan mengenal
Tuhan, sedang mengenal Tuhan adalah sebuah kewajiban pertama bagi manusia
taklif maka sebagaimana kaidah ushul fiqih yang menyatakan bahwa “Maa
Yutawassalu bihi ila iqomatil wajib fahuwa waajibun” artinya apa-apa yang
menjadi wasilah terhadap sesuatu yang wajib maka hukumnya juga menjadi wajib.
Dari kaidah ini maka wajib hukumnya bagi manusia untuk mengenali dirinya
sendiri sebelum ia mengenali Tuhannya.
Mengenal diri adalah jalan untuk
mengenal Tuhan, barangsiapa yang tidak mengenal hakekat kediriannya maka ia akan kehilangan hakekat Ketuhanan.
Dalam bahasa haditsnya disebutkan Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu, wa
man ‘arafa Rabbahu fa qad ‘arafa sirrahu” artinya “Barang siapa yang mengenal
dirinya maka ia mengenal Tuhannya, dan barang siapa yang mengenal Tuhannya maka
ia mengetahui rahasia-Nya.”
Dalam al Qur’an Surat Fussilat ayat : 53 disebutkan yang artinya :
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka
tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka
sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah
cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?
Di dalam ayat ini Allah Swt akan
memperlihatkan tentang tanda-tanda tentang kebenaran Al Qur’an pada diri
manusia, karena memang pada diri manusia menyimpan segala potensi ayat-ayat
Tuhan. Jika alam semesta adalah makrokosmos, maka diri manusia sebagai
mikrokosmosnya. Apapun yang tergelar di jagad raya ini maka segala potensinya
juga ada pada diri manusia.
Manusia adalah makhluk yang
paling sempurna yang diciptakan oleh Tuhan, dan dalam diri manusia baik secara
jasmani maupun ruhani adalah bentuk kecil dari alam semesta ini.
Dalam sebuah desertasi yang
ditulis oleh Masataka Takeshi dengan judul “Ibn ‘Arabi’s Theory of the Perfect
Man and Its Place in the History of Islamic Thought” yang dialih bahasakan oleh
Harir Muzakki, M.Ag dengan menjadi sebuah buku yang berjudul “Insan Kamil
Pandangan Ibnu ‘Arabi” disebutkan di halaman 116 bahwa :
Tubuh manusia dalam bentuk
ringkasnya adalah salinan (mitsal) seluruh alam semesta, apa pun yang
diciptakan di alam terdapat pada diri manusia. Tulang bagaikan gunung, keringat
seperti hujan, rambut seperti pohon; otak sama dengan awan, indera-indera
bagaikan bintang-bintang. Untuk menyebut secara lengkap akan membutuhkan waktu
lama; namun semua genera ciptaan terdapat salinannya pada diri manusia.”
Maha besar Allah Swt yang telah
menciptakan diri kita manusia dalam bentuk kesempurnaan yang luar biasa bukan ?
dan ini baru rahasia perkenalan manusia dengan bentuk dan anatomi tubuh, jika kita mengenalnya dengan benar maka
pengetahuan itu pastilah akan mengantarkan manusia pada pengetahuan Ketuhanan
yang luar biasa. Oleh karena itu manusia tidak akan mengenal dengan benar siapa
Tuhannya sebelum mampu mengenali dirinya sendiri. Karena tak ada yang lebih dekat dengan kita
kecuali diri kita sendiri.
Tuhan adalah sebuah pengetahuan
yang adikodrati, yang mana karena keterbatasan akal dan indera manusia tidak mampu menangkap dan menjangkau
realitasnya. Orang Jawa bilang “Tan Kena Kinaya Ngapa” maknanya tidak
bisa dibayangkan seperti apa, yang dalam konsep tauhid Islam itu yang disebut
sebagai ”Laisa Kamitslihi sai’un.” (Tidak ada sesuatu yang menyerupai
dengan-Nya) Oleh karena itu agar Sang Khaliq bisa dikenali ia menciptakan
makhluk sebagai citra dari-Nya. Sebagaimana yang terkandung dalam sebuah hadits
hadits Qudsi dinyatakan : “Kuntu Kanzan Mahfiyan Fa ahbabtu an u’rafa fa
kholaqtul khalqa li ya’rifni” artinya : Aku adalah suatu perbendaharaan
yang tersembunyi. Aku ingin sekali untuk dikenali, maka Ku-jadikan makhluk agar
ia mengenali “Siapa Aku.”
Oleh karena itu untuk melihat dan
merasakan realitas Sang Khaliq ini kita harus berfikir tentang kemakhlukan, bukan
tentang Khaliq itu sendiri, karena pada dasarnya akal dan indera manusia tidak
akan mampu menangkapnya. Dalam sebuah hadits Nabi yang lain juga disebutkan “Tafakkaruu
Fi Kholqillaahi wa la tafakkaruu fillah,” artinya berfikirlah tentang makhluk
Allah Swt dan jangan berfikir mengenai dzatnya Allah Swt itu sendiri.
Begitu pentingnya untuk mengenali
diri sehingga banyak sekali perintah Allah Swt yang menyuruh agar manusia
mengenal akan kediriannya. Dalam Surat Adz-Dzariyat ayat 21 dengan tegas Allah Swt
memerintahkan agar manusia mengenali dan memperhatikan dirinya, Allah Swt berfirman yang artinya :
21. dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka
Apakah kamu tidak memperhatikan?
Perintah
untuk memperhatikan diri kita sendiri dalam ayat ini sangat tegas sekali,
karena memang dengan mengenali diri, manusia bisa mengenali Tuhannya. Hal ini
sejalan dengan maksud Allah Swt menciptakan manusia di muka bumi dalam rangka
menyembah kepada-Nya. Allah Swt berfirman dalam surat Adz-Dzariyat ayat : 56 yang
artinya : “Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali mereka menyembah
kepada-Ku”
Ringkasnya
barang siapa yang mengenali dirinya maka akan lebur kemakhlukannya, dan barang
siapa yang telah lebur kemakhlukannya maka ia akan sampai pada realitas Ketuhananya.
Dan barang siapa yang telah mampu mencapai realitas Ketuhananya maka ia akan
akan merasa tak pernah ada. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Al Hallaj
“Kesalahan terbesar yang dibuat oleh manusia adalah ia merasa dirinya ada.”
Sekian. Joyojuwoto