Selasa, 26 Januari 2016

Wujil

Wujil

Pic : khilafi.wordpress.com
Dikisahkan  pada suatu hari Sunan Mbonang didatangi seorang yang bertubuh kerdil namanya Wujil. Ia awalnya adalah abdi dalem  keraton Majapahit, setelah agama Islam mulai masuk tanah Jawa ia ingin berguru kepada Sunan Mbonang yang konon memiliki kemampuan lebih dibanding manusia kebanyakan. Walau di istana keraton Majapahit Wujil dimuliakan serta mendapat kehormatan sebagai aji-ajining keraton, namun hatinya gundah. Dahaga jiwanya menuntunnya untuk mencari-cari jawaban tentang apa yang menjadikan hatinya gelisah.

Wujil yang awalnya adalah penganut agama Syiwabodja selalu merasakan kekeringan nurani, tentang tata cara peribadatan dan penyembahan kepada Tuhan. Ia selalu bertanya-tanya dan tidak mendapatkan jawaban apapun yang memuaskan dahaga batinnya. Selama ini di dalam agama yang dipeluknya ia hanya mendapat jawaban bahwa peribadatan dan penyembahan kepada Tuhan harus sesuai dengan adat-istiadat yang telah diajarkan oleh nenek moyang tanpa dasar yang otentik.

Mendengar akan datangnya agama baru, agama yang datang dari negeri Arab yang dibawa oleh para Sunan, Wujil kemudian keluar dari lingkungan keraton ia pergi melanglang buana, njajah desa milang kori mencari guru yang bisa menuntaskan dahaga ruhiyahnya. Hingga sampailah Wujil di tlatah kadipaten Tuban, tempat di mana ia ingin berguru kepada Sunan Bonang.

Di siang yang terik saat matahari tepat berada di garis langit tengah, Wujil yang berjalan di jalanan setapak merasa bahwa perjalanannya  hampir sampai tujuan. Di kiri-kanan jalan tampak pohon-pohon  Tal berdiri tegak memayungi dirinya dari cahaya matahari yang sedang pada titik panasnya. Dilihatnya sebuah gubuk di tegalan, karena merasa haus dan kelelahan Wujil berniat meminta tumpangan istirahat barang sejenak, untuk melepas lelah dan penatnya perjalanan yang ditempuhnya.

“Kulo Nuwun kisanak, bolehkah saya singgah di sini barang sebentar ? tanya Wujil kepada seorang petani yang sedang beristirahat di gubuknya.

“Monggo-monggo, silahkan mampir. Kisanak kelihatannya dari jauh bukan orang Tuban sini ? jawab sang petani dengan ramah.

“Benar kisanak, saya datang dari jauh, dari kota raja Majapahit, nama saya Wujil” jawab Wujil sambil memperkenalkan diri.

“Bolehkah saya meminta barang seteguk air untuk membasahi dahaga saya kisanak ? pinta Wujil
Petani itu kemudian mengambilkan bumbung di pojok gubuk, kemudian menyodorkan centak, gelas yang terbuat dari bambu, ia tuangkan minuman ke dalam centak itu lalu ia sodorkan kepada Wujil. “Silahkan diminum kisanak”.

Wujil pun menerima centak itu kemudian mereguknya. Minuman yang diberikan petani Tuban itu terasa segar membasahi kerongkongannya. Tak berselang lama minuman itu habis ditenggaknya. “Terima kasih kisanak, itu tadi minuman apa, kok segar sekali” tanya Wujil.

“Namanya legen kisanak, minuman itu dari hasil derasan pohon-pohon Tal yang banyak tumbuh di tegalan ini, aku sendiri yang menderas dan mengambilnya langsung dari pohon” kata petani sambil menunjuk pohon tal yang berada di depannya.

Setelah menghabiskan secentak legen, Wujil mengucapkan terima kasih kepada petani yang baik itu, kemudian ia berpamitan dan melanjutkan perjalanannya ke pesantren Sunan MBonang. Menurut perkiraannya sebelum matahari tenggelam ia tentu sudah sampai di tempat tujuan. Wujil terus berjalan ke arah barat mengikuti arah matahari tenggelam.

Senja mulai bersolek, temaram jingga di ufuk barat tampak indah mempesona, angin sore bertiup sepoi-sepoi membawa aroma air laut. Debur ombak terdengar perlahan, cericit camar bersahutan dari atas langit yang mulai gelap. Sayup-sayup dari arah dermaga Tuban terdengar senandung tembang-tembangan yang dinyanyikan dengan nada-nada kekhusyuan.

Tombo ati iku lima sak wernane
Kaping pisan moco Qur'an sak maknane
Kaping pindo sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang sholeh kumpulono
Kaping papat weteng iro ingkang luwe
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine sopo biso ngelakoni
Insyaallah Gusti Allah nyembadani

Wujil merasa lega karena ia telah sampai di pesantrennya Sunan Mbonang, dengan bergegas Wujil melangkah menuju tempat yang mirip dengan sanggar pamujaan. Di dalam bangunan itu tampak orang-orang sama berkumpul dengan berjajar rapi dan duduk bersila menghadap barat. Setelah agak dekat, Wujil tampak ragu dan bingung dengann apa yang akan dilakukannya. Namun hal itu tak berlangsung lama, ada seorang yang menghampirinya dan menyalaminya dengan sopan.

“Owh ada tamu dari jauh nampaknya, silahkan-silahkan, monggo saya antar  saudara ke gothakan tamu.” Sapa salah seorang dengan ramah.

“Terima kasih Kisanak” Jawab Wujil

Sesampai di gothakan tamu Wujil disuruh menunggu hingga nanti Sunan Mbonang selesai mengerjakan sholat magrib. Wujil hanya menurut, ia duduk bersila di sebuah ruangan yang tidak begitu lebar, namun bersih dan harum  bau gaharu memenuhi ruangan itu. Sambil menunggu seperti apa yang diberitahukan oleh salah orang yang menemuinya tadi, Wujil bersemadi, mengosongkan hati dan pikiran berkontemplasi menuju kepada Sang Hyang Suci.

Hati wujil terasa tenang apa yang menjadi impiannya untuk berguru kepada salah satu begawan di tanah Jawa sebentar lagi kesampaian, suara tembang-tembangan yang tadi didengarnya mulai menghilang berganti kesunyian. Senyap, kosong dan seakan alam berhenti berputar. Wujil merasakan energi kema’rifatan melingkupi diri dan alam di sekitarnya. Seakan pintu-pintu langit terbuka dan rahasia-rahasia keTuhanan terbabarkan.


“Wujil untuk apa engkau kemari Ngger ?” bukankah kau telah banyak menikmati indahnya kehidupan istana ?, hidupmu telah bergelimang gemerlapnya kesenangan yang tidak semua orang mendapatkannya bukan ?” Sapa seorang kakek tua berjubah putih yang tiba-tiba telah duduk di depannya.

“Ampun Kanjeng Sunan, hamba datang jauh-jauh dari Majapahit, ingin mengerti dan memahami kesejatian hidup dan kebahagiaan yang sejati, bukan kebahagiaan yang hanya tertumpu pada hal-hal materi belaka, hamba juga ingin mengerti dengan sedalam-dalamnya tentang rahasia ajaran-ajaran yang Kanjeng Sunan bawa.”

“Wujil terlalu jauh apa yang engkau angan-angankan Ngger !, engkau jangan pernah berfikir akan menemukan kesejatian itu di sini atau di manapun, engkau tak perlu jauh-jauh dan ke sana-kemari mencari kesejatian, karena pada dasarnya kesejatian itu ada pada dirimu sendiri. MAN “AFARA NAFSAHU FAQODA “ARAFA RABBAHU, barang siapa mengenal kesejatian dirinya, maka ia telah mengenal kesejatian Tuhannya.

Manusia sejati adalah manusia yang kenal diri dan kenal Tuhan, mengenali diri dengan cara dzikrullah, mengenal Tuhan dengan selalu bersembahyang sepanjang waktu atau shalat daim namanya. Tetapi Wujil ingatlah jangan pernah menyembah tetapi tidak mengetahui siapa yang engkau sembah. Tapi jangan pula kau sembah apa-apa yang terlihat.

Sholat Isya, Shubuh, dan sholat-sholat lainnya bukanlah sholat yang sebenarnya itu hanya sekedar bunganya sholat, hanya sekedar rangkaian sholat syariat. Sedang sholat yang sebenarnya adalah sholat daim tadi, yaitu sholat yang tanpa perlu hitungan rakaat, tanpa rukuk, dan tanpa sujud. Namun demikian jangan pernah meninggalkan sholat syariat Wujil karena itu telah menjadi ketetapan Gusti Allah di dalam firman-Nya.

Wujil hanya diam merenungi setiap kata dan ucapan dari Kanjeng Sunan. Dia berfikir disetiap untaian kata sang Sunan yang penuh hikmah. Wujil berusaha mencerna setiap wejangan Kanjeng Sunan dengan kemurnian dan kesunyian jiwanya, hingga terbuka rahasia langit Ketuhanan yang selama ini terhijab dari batinnya.

“Kanjeng Sunan lalu ketika kita menjalankan sholat kepada siapa sholat itu kita persembahkan ?” sedang saya sendiri tidak tahu di mana Tuhan sesembahan saya itu ? Tanya Wujil kemudian.

Kanjeng Sunan pun berdiri dengan tersenyum ia mengelus-elus rambut Wujil, kemudian berjalan mengitari Wujil  yang duduk bersila di hadapannya. “Dengarkan Ngger ! Gusti Kanjeng Rosul telah memberitahukan dalam Sabdanya bahwa ketika kita beribadah sholat kepada Allah, hendaknya kita dalam keadaan melihat-Nya, dan jika kita tidak melihat-Nya hendaknya kita berkeyakinan bahwa Gusti Allah itu sedang melihat kita.”

“Dan perlu kau ketahui Wujil agar sholatmu  sempurna dalam menyembah Allah, maka fahamilah hakekat sholat itu sendiri.”

“Lalu apa sebenarnya hakekat sholat itu kanjeng Sunan ?”

“Ingat-ingatlah Wujil, hakekat sholat itu empat perkara, yaitu Berdiri, Ruku’, Sujud, dan Duduk.

“Berdiri adalah lambang dari huruf Alif, ruku’ perlambang dari huruf Lam awal, sujud adalah perlambang dari huruf Lam akhir, sedang duduk dalam tahiyyat adalah perlambang dari huruf Ha. Jika digabungkan huruf-huruf tadi membentuk kata Allah. Jadi pada hakekat sholat adalah cara hamba untuk bertemu langsung dengan Allah tanpa hijab. Sebagaimana dalam sabda Kanjeng Nabi bahwa sholat adalah mi’rajnya orang mu’min. ASSHOLAATU MI’RAAJUL MU’MIN.”

Wujil terdiam makin dalam, meresapi seluruh wejangan dari Kanjeng Sunan, ia seakan terlempar ke dalam luasnya samudra ma’rifat, jiwanya menjadi tenang, hijab-hijab batinnya tersingkap, pendar-pendar cahaya rahmat Tuhan menyirami kegersangan jiwanya, dan dahaga ruhaniyahnya pun terpuaskan sudah. Wujil pun  tenggelam dalam samudra ma’rifat, samudra penghambaan kepada Dzat Tuhan yang Maha Tunggal.

Wujil tersentak dari duduknya, mesin waktu seakan berhenti, entah berapa lama Wujil berada di ruangan itu. Kemudian ia membuka matanya, dari arah pintu ruangan muncullah sosok kakek tua berjubah putih menghampirinya, Wujil seolah telah mengenali orang tua itu. Kemudian ia melangkah dan menghaturkan sembah kepada sang kakek.

“Selamat datang Wujil, semoga engkau betah nyantri di sini.” Kata sang kakek berjubah putih yang langsung menjawab pertanyaan yang belum sempat diajukan olehnya. Joyojuwoto


1 komentar:

  1. Karna pada dasarnya agama yg baik itu membuat kita menjadi lwbih baik, bukan buruk...

    Dibalik cerita wujil ini misalnya, kisah sunan bonang yg orang jarang tau :)

    BalasHapus