Jumat, 04 Desember 2015

Khidir

Khidir

Kegersangan lembah mati itu berubah drastis, tanah-tanah berpasir yang kering tiba-tiba berubah, rerumputan tumbuh perlahan. Warna coklat pucat hamparan tanah gersang perlahan-lahan menjadi hijau segar. Tanah-tanah kering itu pun menjadi basah, seakan terdapat air segar yang mengalir dari kaki seorang tua yang berjalan perlahan menapaki padang gersang yang tandus. Ajaib memang, bekas telapak kaki kakek tua itu meninggalkan rerumputan yang menghijau.

Musa yang berjalan beriringan,  tidak menyadari keanehan yang terjadi dengan kakek tua yang baru ditemuinya, dan menyuruhnya untuk mengikutinya tanpa perlu bertanya untuk apa dan kemana. Dengan penuh tanya Musa pun mengikuti kakek tua itu. Mereka terus berjalan tanpa ada sepatah katapun yang terucap. Baik dari Musa maupun dari kakek tua yang misterius itu. Namun lama-lama Musa pun memberanikan bertanya kepada sang kakek.

Kakek ! kita akan kemana ? tanya Musa kepada kakek tua yang terus berjalan disampingnya, Saya sudah capek Kek, apa kita tidak istirahat terlebih dahulu ?

                Lelaki tua itu hanya diam, ia terus melanjutkan langkah-langkah kakinya menaiki bukit yang gundul. Seakan ia tidak mendengar pertanyaan dari Musa. Sudah hampir setengah hari mereka hanya berjalan dan terus berjalan. Jalan semakin mendaki, namun lelaki tua itu belum ada tanda-tanda untuk menghentikan langkahnya. Musa terus mengikuti di sampingnya, walau kalau ditaksir umur Musa lebih muda dengan kakek tua itu puluhan tahun, namun makin mendaki musa makin ketinggalan, seakan tersadar dari alam mimpi Musa menyadari keanehan dengan kakek yang berjalan di depannya.

                Musa terpana, dilihatnya ke arah bawah, tanah-tanah gersang menjadi hijau. Namun ada yang aneh, hanya tanah yang ia lewati bersama kakek tua itu yang ditumbuhi rerumputan. Musa dengan tergesa menyusul kakek tua yang terus berjalan mendaki bukit. Di sebuah puncak bukit lelaki tua itu berhenti sehingga Musa berhasil menyusulnya walau dengan nafas yang terengah-engah.

“Kakek...kakek...! lihatlah di bawah sana, tanah gersang yang kita lewati berubah menghijau seperti bentangan permadani, bukankah tadi tanah itu mati ? namun sekarang tanah itu ditumbuhi rerumputan.”

                Kakek misterius itu masih diam. Ia duduk bersila di sebuah bongkahan batu hitam di puncak bukit. Senja merayap perlahan, angin sepoi-sepoi menerpa ranting dan daun-daun kering, langit jingga di cakrawala barat tampak teduh mempesona.

                “Kemarilah nak, panggil kakek tua kepada Musa. “duduklah di sini di sampingku.”

Musa dengan perlahan mendekati kakek tua itu, seakan ia masih berada di alam lamunan, baru saja ia bertemu dengan kakek tua tadi siang di sebuah langgar tua di ujung kampungnya. Kemudian tanpa banyak bicara kakek tua itu mengajaknya agar ia mengikutinya. Tanpa berfikir panjang Musa pun mengikuti kemana langkah kaki kakek tua itu melangkah.

                Musa pun duduk di sebongkah batu di sebelah kakek tua, ia hanya diam menunggu reaksi dari kakek tua itu.

                “Nak, jika kamu memiliki azam dalam hal apapun jangan kau hiraukan kiri dan kananmu, teruslah melangkah, tak usah kau tengak-tengok ke belakang. Murnikan azam dan niatmu hanya kepada Tuhan saja, hingga akhirnya kau sampai pada puncak tujuanmu.”

                Musa hanya diam, ia belum begitu mengenal kakek tua itu, bahkan sama sekali tidak tahu dan baru bertemu tadi siang. Seakan kakek tua itu mengetahui apa yang ada dipikirannya. Diusianya yang menginjak dua puluhan tahun Musa memang sedang mencari jati diri. Setelah pulang dari pesantren ia bingung, apa yang harus dilakukan di kampungnya. Dalam kebingungannya itu Musa banyak berdiam di langgar tua di ujung kampung milik kakeknya.

               Hingga pada suatu  siang ia bertemu dengan kakek tua yang misterius itu yang mengajaknya mendaki bukit gersang yang tidak jauh dari ujung kampung.

            “Namun perlu kau ingat nak, janganlah kamu banyak bertanya sehingga menyusahkan dirimu sendiri, banyak-banyaklah bertanya namun pada hati dan nuranimu, Insyallah Gusti Allah akan memudahkan segala urusanmu, dan menjawab apa yang menjadi tujuanmu.”

                Musa semakin tertunduk diam, ia merenung, bayangan-bayangan ketika ia di pesantren tergambar di depan matanya. Ia jadi ingat cerita yang dikisahkan oleh Kyainya tentang Nabi Musa yang berguru kepada Nabi Khidir. Peristiwa itu hampir mirip seperti kejadian yang ia alami. Musa bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah kakek tua itu adalah Nabi Khidir ?.

                Musa ingat ketika sang kakek menyuruhnya untuk mengikutinya dari langgar tua tadi, sang kakek berpesan agar ia tidak bertanya tentang apa dan akan ke mana. Dan Musa telah melanggar pesan kakek itu. Dengan perlahan Musa mendongakkan kepalanya, namun alangkah kagetnya Musa sang kakek telah raib dari tempat duduknya.

                Musa berdiri mencari-cari ke sekeliling bukit yang tandus itu, ia  berteriak memanggil-manggil kakek tua tadi.

“Kek..kakek..kemana engkau !” Kakek jangan pergi, tunggu... !!!

Musa terus saja mencari jejak kakek misterius tadi, namun seakan lenyap  ditelan bumi kakek itu tak ditemukan juga.

                Musa kemudian kembali ke batu tempat sang kakek duduk, ia terpaku mengingat-ingat kata-kata kakek tua misterius tadi.

Bukit gundul tempat pertemuan Musa dan kakek tua itu semakin hening dan syahdu. Senja telah hilang dari pangkuan langit barat. Bukit pun menjadi gelap. Sayup-sayup terdengar suara adzan magrib berkumandang dari ujung kampung. Musa bergegas menuruni bukit menyambut seruan adzan dari langgar tua milik kakeknya. Segurat senyuman tersungging di bibirnya, dan ada secercah cahaya yang bersinar dari mukanya. Bangilan, 4 Desember 2015

Joyojuwoto
Penulis tinggal di Bangilan Tuban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar