Rabu, 25 November 2015

Memodusi Tuhan

Memodusi Tuhan

Siang yang garang, matahari membara membakar apa saja. Daun-daun jati belumlah bersemi dan musim ungker yang menjadi semacam pesta tahunan di bulan November yang ada di kampung saya masih tampak sepi. November rain menjadi semacam hantu candik kala yang tak pernah datang guna menakuti anak-anak jelang senja. Hujan yang dirindukan banyak orang datang terlambat, hanya kadang sedikit rintik-rintik sempat menyapa, udan uyoh wewe kata tetangga-tetangga desa saya.

Di sebuah warung kopi dipinggir jalan, di pinggirnya tumbuh pohon yang rindang. Sebatang pohon asem  rimbun peninggalan zaman Belanda menaungi sebuah warung bambu yang telah renta. Orang-orang tampak asyik mengobrol ngalor-ngidul. Menghabiskan siang yang panas dengan secangkir kopi dan cemilan.

Di depan warung terdapat dingklik-dingklik bambu yang kusam, di salah satu saya dan Parmin duduk nyangkruk di atasnya sambil gayeng menyeruput kopi yang masih panas mengepul.

“Kang, apa ini salah mongso ya, sampai hari ini hujannya kok tak kunjung tiba” Tanya Parmin kepada saya saat  kami ngobrol di dingklik warung kopi di bawah pohon asem.

“Mbuh ya Min, Biasanya dibulan seperti ini sudah musim hujan, Tak tahu kenapa tahun ini kok tidak seperti biasanya. Panasnya ini lho seperti neraka bocor saja” jawab saya sekenanya.

“Apa Tuhan marah ya sama manusia, sekarang kan orang sama berlomba menumpuk dosa. Mumpung masih muda katanya” Tebak Parmin berusaha mengurai rahasia Tuhan.

“Katanya sih, mumpung masih muda hidup dipakai foya-foya, nanti dewasa menjadi kaya-raya, baru deh saat umur menjelang senja bertobat dan akhirnya masuk surga” begitu kata Parmin melanjutkan celotehnya.

Saya yang saat itu sedang menyeruput secangkir kopi kotok yang ada di meja warung hanya diam. Sensasi kopi yang wangi saya hirup dalam-dalam. Kelembutan dan kehangatan kopinya mengingatkanku tentang sebuah buku kecil yang pernah saya baca “Filosofi Kopi”karya Dee. Yah ! memang sebenarnya saya lebih mencintai romantisme minum kopi dari segi filosofinya, saya lebih berasa mencecap makna-makna simbolis dari sebuah aktifitas minum kopi dibanding minum dzatnya kopi itu sendiri. Walau begitu saya masih sadar antara yang saya minum kopi beneran atau sekedar memuaskan hayalan.

“Memang Kang Dunyo wis tuwo, aneh-aneh saja tingkah orang sekarang” sahut saya.

“Lha iya, sekarang orang nglakuin dosa tu terang-terangan dan bangga, katanya sich cari yang haram saja susah, apalagi yang halal. Itu kan namanya kan membanggakan dosa kang.”
“Terang saja Tuhan murka, hujan gk turun-turun.” Lanjut Parmin penuh move on.

“Ya gak tahu Min, itu suka-suka Tuhan, mau marah atau tidak, mau menurunkan hujan atau tetap kemarau ya hak-hak Tuhan Kang” sahut saya.

Parmin tampak diam, tidak tahu apa dia sedang ia pikirkan. Merenungi kata-kata saya atau sedang merangkai kata untuk membalas ucapan saya. Sesekali ia menyedot kretek yang terselip diantara jari telunjuk dan jari tengahnya. Khusu’ dan sangat tuma’ninah sekali. Parmin dengan penuh penghayatan meniupkan asap-asapnya ke udara, wushh... asap-asap itu membentuk gambar-gambar imaji tidak jelas. Saya yang memang tidak merokok hanya menikmati gelas kopi yang hampir habis dan nglethik beberapa butir kacang goreng yang ada dipiring di meja warung.

“Ya memang bener Kang itu hak Tuhan, Qudrate Pengeran. Tapi kan Tuhan sudah menyerahkan semua ini pada mekanisme alam. Hukum Sunnatullah katanya” Sergah Parmin.

Lha itu kamu tahu Min, manusia hanyalah hamba. Sakdermo nglakoni, tidak punya wewenang merintah Tuhan, Tuhan kok diperintah. Mau hujan di musim kemarau mau panas di musim hujan ya terserah yang di atas Min”

“Kalau mau berdo’a ya berdo’a aja, tidak usah pakai gaya memerintah. Hehe... Sambung saya.

“Iya Kang, namun sekarang itu manusia itu banyak modusnya. Jangankan sesama manusia, Tuhan saja dimodusi..hehe.” kekeh Parmin seperti tertawa dengan dirinya sediri.

“Lha emang kenapa Min, kok modus segala ?” tanya saya sambil menyeruput kopi yang penghabisan.

“Lha gimana gak modus, antara kebaikan dan perbuatan jahat kok bisa berdampingan. Pagi ini maksiat, nanti siang tobat. Dan itu dilakukan berulang-ulang. Kapok lombok kata orang Jawa. Apa tidak modus itu”.

“Belum lagi apa-apa yang dikerjakan seseorang itu butuh pengakuan dan pencitraan. Amal sedekah yang tidak seberapa saja itung-itungan sama Tuhan Kang. Biar dibalas berlipatlah, biar selamat dari musibah lah, biar dianggap dermawanlah.”

“Naik haji juga begitu niatnya menaikkan gengsi sosial, biar dipanggil pak Haji. Apa pernah dengar panggilan Haji Nabi Muhammad SAW, Haji Abu Bakar As Siddiq, Haji Umar hehe...Apa kalau mengerjakan shalat juga mau dipanggil musholli, kalau sudah zakat dipanggil muzakki. Wah banyak pokoknya tuntutannya sama Tuhan.” Ceramah Parmin dengan segenap disiplin keilmuan pesantrennya keluar memberondong bertubi-tubi.

Khutbah siang Parmin semakin menjadi-jadi. Seakan ada hubungan yang linier antara suhu siang itu dengan pikiran Parmin yang juga sedang fire on.

Saya hanya diam, dan terus mendengarkan ceramah semi partikelir Parmin yang semakin menjadi-jadi. Kadang ikut tertawa atau hanya tersenyum mendengar penuturan sahabatku itu. Dan tak terasa cangkir-cangkir kami telah kosong menyisakan lethek hitam kental. Biasanya Parmin menggunakan lethek itu untuk mbolot kreteknya.

Siang semakin garang, matahari pun tetap membara membakar apa saja. Daun-daun jati belumlah bersemi dan musim ungker yang menjadi semacam pesta tahunan di bulan November yang ada di kampung saya masih tampak sepi. November Rain seakan menjadi sebuah mitos, setidaknya sampai siang ini.

Joyojuwoto.
Bangilan Tuban, 27 November 2015

2 komentar:

  1. bersedekah... tapi dibaliknya berharap ada yang memberi lebih....termasuk memodusi tuhan kah...?

    selamat hari jum,at barokah..

    BalasHapus