Senin, 29 Juni 2015

Syekh Abu Hasan Al Syadzili Menulis di Lembar Cahaya

Syekh Abu Hasan Al Syadzili Menulis di Lembar Cahaya

“Kitabku adalah kawan-kawanku”

Begitulah yang diucapkan  oleh ulama sufi kenamaan Syekh Abu Hasan Al Syadzili. Baginya tidaklah  penting seseorang itu dikenal dan dikenang oleh masyarakat, ia tidak khawatir maupun takut jika kelak diakhir kehidupannya hanya menyisakan tiga baris kata, nama, tanggal lahir, dan tanggal kematian dilempengan batu nisannya. Karena memang pada hakekatnya tidak ada yang abadi di dunia ini, semua akan rusak, semua akan musnah tak terkecuali, semua akan sirna hanya Allah lah Sang Maha Abadi. Kullu Syai’in Haalikun illa Wajhahu” Segala sesuatu akan sirna kecuali Wajah Allah SWT.

Oleh karena itu Syekh Abu Hasan Al Syadzili tidak berambisi untuk menulis beribu-ribu kitab, menulis berlembar-lembar artikel dan catatan-catatan demi dikenal dan dikenang masyarakat. Dianggap paling jenius, paling alim, paling produktif dalam berkarya karena baginya semua itu hanyalah asesoris-asesoris semu dan bukan menjadi tujuan. Abu Hasan Al Syadzili sama sekali tidak percaya konsep keabadian sebagaimana yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer, bahwa menulis adalah  bekerja untuk keabadian, menulis agar dikenang masyarakat dan sejumlah tujuan-tujuan semu lain yang kadang akan menjauhkan kita dari esensi dan tujuan dari menulis itu sendiri.

Bukan berarti Abu Hasan Al Syadzili anti dengan kegiatan kepenulisan, beliau banyak juga meninggalkan ajaran dan hizb-hizb yang sampai sekarang masih diamalkan oleh para pengikut beliau di dalam tarekat Sadziliyahnya, baginya menulis adalah kerja ibadah dan dakwah yang dilandasi keihklasan dan kemurnian hanya kepada Tuhan saja. Karena pada dasarnya manusia diciptakan Tuhan dalam rangka untuk beribadah kepada Allah semata. Bukankah kita selalu mengikrarkan janji setidaknya  lima kali sekali dalam sehari saat membaca doa iftitah bahwa :
                                                                                                                                                                                       
إنّ صلاتى ونسكى ومحياي ومماتى لله ربّ العالمين

“Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata-mata hanya untuk Allah Tuhan seru sekalian alam”

Inilah yang seharusnya menjadi niat dan landasan seseorang untuk berbuat apapun. Karenanya dengan niat yang lillahi ta’ala Syekh Abu Hasan As Sadzili lebih suka menulis dalam lembaran-lembaran cahaya hidupnya, dalam perjalanan tasawufnya, dan dalam kecintaannya kepada Allah SWT. Ketaatannya kepada Allah adalah lembaran-lembaran tulisannya, murid-muridnya adalah  jilid-jilid kitabnya.

“Kitabku adalah kawan-kawanku” begitu kata beliau. Syekh Abu Hasan Al Syadzili benar-benar telah menulis dengan lembar-lembar cahaya di dalam kehidupannya.

Kelompok orang-orang sufi kadang identik dengan kelompok yang pasrah dalam menjalani kehidupannya, berpakain ala kadarnya, tidak memperhatikan penampilan dhohir dan bahkan kadang tidak memiliki tempat tinggal. Syekh Abu Hasan Al Syadzili tentu tidak ada yang meragukan kezuhudannya, beliau adalah seorang mursyid bahkan pendiri dari aliran tarekat Syadziliyah namun kehidupan beliau sangat memperhatikan pakaian dan penampilan. Rumah beliau bagus, tanah pertaniannya luas, dan memiliki kuda-kuda yang kuat dan tegap. Karena baginya kesufian adalah gerak batin seorang hamba, harta dan kekayaan boleh ada ditangan tetapi jangan sampai melekat dan ada di dalam hati.

Suatu ketika Syekh Abu Hasan Al Syadzili ditanya oleh seseorang mengapa penampilannya mewah dan menaiki kereta kuda yang indah, padahal ia adalah seorang ulama sufi ?, maka beliau menjawab bahwa agar ia tidak terkesan sebagai orang yang butuh kepada orang lain, karena hanya kepada Allahlah kita menggantungkan kebutuhan. Belia juga pernah berkata kepada muridnya Abu Abbas Al Mursyi, “Kenalilah Allah, lalu hiduplah sesukamu”

Abu Hasan Al Syadzili juga berpesan kepada murid-muridnya, “Anakku dinginkan air yang akan kau minum. Sebab, jika kau minum air hangat lalu mengucap Al Hamdulillah; tak ada semangat dalam ucapanmu. Berbeda jika kau meminum air dingin, lalu mengucap Al Hamdulillah; niscaya seluruh organ tubuhmu turut mengucap Alhamdulillah.” Begitulah cara abu Hasan memandang kehidupan seorang mu’min harus selaras dengan do’a yang selalu dibacanya “Fi addun-ya hasanah wa fil akhiroti hasanah” bahagia dunia akhirat.
Ajaran Syadziliyah yang beliau dirikan tidaklah berbeda dengan ajaran-ajaran ulama tasawuf lainnya, tentu yang paling pokok ajaran itu tidak menyimpang dari petunjuk Al Qur’an dan sunnah-sunnah Rosulullah SAW. Syekh Abu Hasan menekankan kepada murid-muridnya untuk menapaki jalan ma’rifat dan mahabbah kepada Allah SWT. Karena siapa yang mencintai Allah, mencintai karena Allah, berarti telah sempurna kewaliannya dan tidak terjebak pada kelezatan duniawi yang semu. Al hubbub lilah, wa fillah, cinta karena Allah, dan bersama Allah menjadi bagian terpenting bagi seorang hamba dalam bersuluk kepada-Nya.

Abu Hasan Al Syadzili selain sebagai seorang yang zahid beliau juga seorang mujahid yang pemberani. Pada saat pasukan salib menyerang tanah airnya, pada saat negerinya terancam bahaya, tak sejengkal pun ia berlari menghindari peperangan. Ia tidak mau menjadikan ritual ibadah dan kegiatan dzikir sebagai dalih untuk menghindari perang. Abu Hasan Al Syadzili yang sudah berumur lebih dari enam puluh tahun ikut mengangkat senjata berada dibarisan terdepan pasukan kaum muslimin untuk melawan kaum kafir salib. Beliau tidak melewatkan kesempatan untuk berjihad qital fi sabilillah. Bersama-sama dengan ulama-ulama Al Azhar lainnya seperti al –Izz Ibn Abdul Salam, Majduddin al Qusyairi, Abu Hasan memberikan dukungan semangat kepada Khalifah Malik al Zahir Baybars untuk menggempur tentara salib di bawah pimpinan Raja Louis IX.

Begitulah kehidupan Syekh Abu Hasan Al Syadzili yang ditulis dilembaran-lembaran cahaya sejarah yang abadi. Beliau adalah seorang ulama yang memahami ilmu hakekat dan syariat, seorang ahli ibadah yang saleh, seorang zahid yang memiliki dunia tetapi tidak dikuasai dunia, seorang pendiri tarekat Syadziliyah yang memiliki puluhan ribu hingga jutaan pengikut yang setia dan mencintainya.

Syekh Abu Hasan al Syadzili meninggal dunia diusia 63 tahun, beliau terlahir di Maroko, tepatnya di desa Ghamarah tahun 539 hijriyah dan meninggal dunia di Humaitsarah dekat Laut Merah saat akan menuaikan ibadah haji pada tahun 656 hijriyah. Semoga Allah mengampuni segala dosa-dosanya dan menempatkan di sisi-Nya. Amien. Joyojuwoto

Selasa, 23 Juni 2015

Syair Cinta Sang Perawan Suci

Syair Cinta Sang Perawan Suci

“Maria kedua dan wanita tanpa dosa” begitu Attar (seorang sufi) menyebutnya. Dialah Rabi’ah Al adawiyyah  seorang gadis yang hidup di akhir abad ke-8 dan paruh pertama abad ke-9 M. Rabiah ibarat bintang yang bersinar di langit kota Basrah cahayanya berpendar melintasi batasan ruang dan waktu hingga kini. Ia terlahir di sebuah kota di Basrah, sebuah kota yang bergemerlapan ilmu pengetahuan dan peradapan kala itu. Namun demikian Rabiah dilahirkan dari kondisi keluarga miskin dan perkampungan yang kumuh serta reot. Dari keterbatasan itulah Rabiah diasuh zamannya hingga ia menjelma menjadi seorang sufi. Dialah yang pertama kalinya mempelopori jalan cinta bagi para salikin yang menginginkan suluk kepada Rabbnya.

Dalam memandang suatu konsep ibadah, Rabiah tidak ingin terjebak pada seremonial belaka seperti Sholat dan do’a baginya bukanlah alat yang dipakai untuk meraih pahala. Ia berkata :
“Saya tidak akan mengabdi kepada Tuhan seperti seorang buruh yang selalu mengharapkan gaji”
Begitulah sikap spiritual Rabiah dalam menjalin hubungan dengan Tuhan. Hubungan itu adalah hubungan yang murni tanpa ada pamrih sebagaimana hubungan seorang buruh yang mengharap imbalan dari tuannya, atau seperti hubungan perniagaan yang memperhitungkan laba dan rugi. Rabiah menghamba kepada Tuhannya hanya karena ma’rifat cinta, menjalani sepanjang penghambaannya hanya untuk meraih cinta dan bukan karena iming-iming surga maupun karena takut siksa neraka.

Dikisahkan di sepanjang jalan Rabi’ah berjalan dengan tergesa-gesa sambil membawa obor yang menyala dan membawa setimba air, ketika ditanya untuk apa obor dan setimba air itu, ia menjawab, “Saya akan memadamkan api neraka dan membakar surga” begitu katanya. Dari jawaban ini sebenarnya Rabi’ah ingin menegaskan bahwa tujuan peribadatan yang sebenarnya bukanlah karena pengharapan terhadap surga maupun ketakutan karena siksa neraka, karena dua hal itu adalah makhluk Allah SWT sebagaimana makhluk-makhluk lainnya seperti manusia. Padahal Allah telah melarang hambanya untuk takut kepada selain-Nnya. Allah berfirman dalam Al Qur’an Surat al Maidah ayat 44 :

فلا تخشواالنّاس واخشون
“Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada-KU…”

Begitu pula ketika Rabi’ah mengatakan kepada orang-orang akan membakar Ka’bah, secara dhohir dan dalam pandangan awam kata-kata ini tentu menyulut kemarahan orang-orang yang berfikiran sempit dan fanatik. Ka’bah rumah Allah SWT akan dibakar oleh Rabi’ah, mungkin jika Rabi’ah hidup di zaman sekarang maka ia akan kenyang dengan segala macam stigma yang negative, dilabeli kafir, halal darahnya, dan seabrek tudingan yang keji lainnya. Padahal bukan pada hal itu sebenarnya yang menjadi tujuan dari Rabi’ah. Ia hanya ingin segala limpahan cinta Tuhan dibalas dengan limpahan cinta pula dari hamba-hambanya, bukan malah menawar-nawar Allah, bukan malah berjual beli amalan-amalan kebaikan kita dengan surge-Nya.

Tidak salah memang seseorang beribadah karena didasari harapan dan ketakutan, karena memang Allah SWT menurunkan Al -Qur’an sebagai kabar gembira akan balasan surga dan peringatan akan siksa neraka. Namun sebanyak apapun kita beribadah dan beramal sholeh sama sekali itu tak sanggup kita pakai untuk membeli surga-Nya. Karena Allah pada hakekatnya memasukkan hamba-Nya ke surga bukan karena amal perbuatan kita, namun lebih karena rahmat dan cinta-Nya, karena Allah SWT adalah Sang Maha Pecinta.

Dalam firman-Nya Allah berfirman tentang orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang sangat mencintai-Nya. Di dalam surat Al Baqarah ayat 165 dinyatakan dengan gambling :
والذين امنوا اشدّ حبّا لله...
“Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah...”

Begitu pula dengan Rabi’ah, dia sangat-sangat didera cinta yang mendalam kepada Tuhannya dari maqom cinta inilah Rabi’ah berusaha menapaki jenjang-jenjang pendakian ruhaninya menuju kemurnian cinta hanya kepada Tuhan semata.

Rabiah selalu merindukan “Wajah Tuhan” hatinya tidak bisa berpaling darinya. Ketika Rabiah menjalankan ibadah haji bukan Ka’bah yang menjadi tujuannya, bukan Ka’bah yang dirindukannya karena “Wajah Tuhan” tidak di dalam Ka’bah maupun di luarnya. Rabiah tidak terperdaya ibadah dalam tataran ritualistik ibadah haji, dia tidak lagi dibatasi oleh haji ke Rumah Tuhan dan Tanah Pewahyuan karena baginya wajah Tuhan itu berada dibalik kesadaran manusia akan nilai-nilai keilahian. Dalam Surat Al Baqarah ayat 115 dijelaskan :
فأينما تولّوا فثمّ وجه الله...
“Maka kemanapun kamu menghadap di situlah “Wajah Allah”…”

 Perhatikanlah bagaimana Rabi’ah berbicara tentang haji dan Ka’bah :
“Saya tidak menginginkan Ka’bah tetapi Tuhan. Apa saja yang dapat saya lakukan terhadap Ka’bah ? yang seperti itu adalah penyembahan terhadap berhala yang sangat parah di muka bumi. Tuhan tidaklah di dalam atau di luar tembok Ka’bah. Dia tidak membutuhkannya”

Pandangan dan wacana Rabiah atas ritualistik ibadah haji tidak bisa difahami secara literal saja. Jika kita terlalu literal dan tekstual dalam memahami perkataan Rabi’ah tentu akan menimbulkan polemic yang tak berkesudahan. Karena pada hakekatnya Rabi’ah menggunakan pandangan dan ekspresi-ekspresi yang hanya dapat dipahami oleh tujuan dan makna-makna yang sifanya batiniah.

Cinta adalah gairah yang tak pernah padam, begitu juga gairah cinta Sang Perawan Suci itu kepada Tuhannya. Seakan ia tidak meninggalkan  ruang sedikitpun untuk selain-Nya. Cinta Rabiah yang agung dan melangit itu seakan meremehkan cinta terhadap manusia, ia memutuskan untuk tidak menikah karena terdorong cita-cita yang paling tinggi untuk menuju yang Maha Abadi. Cintanya kepada Tuhan benar-benar melampaui hal-hal yang dapat dipahami hingga dia menyentuh satu jenis cinta yang bersih dari kesengsaraan dan kesalahan. Rabiah benar-benar telah terbakar oleh teriknya cinta di dalam pencariannya untuk menemukan esensi ke-Tuhanan.

Syair-syair rindu dan cinta berbaur dengan rasa ragu dan harapan selalu Rabi’ah panjatkan, betapa ia sering larut dalam kesedihan dan tangisan sambil memohon kepada kekasihnya dalam malam-malam yang sunyi dan gelap :
“Oh Tuhanku, jika aku beribadah kepada-Mu karena takut akan api neraka, maka bakarlah aku di dalam api neraka itu, dan jika aku beribadah kepada-Mu mengharapkan surga, maka jauhkanlah surg dariku. Tetapi jika aku beribadah kepada-Mu hanya untuk diri-Mu semata, maka jangan jauhkan aku dari melihat “WajahMu” yang indah itu.

Syair-syair cinta itu selalu meluncur dari hati Rabi’ah hingga ia benar-benar merasakan sublimasi cinta kepada Tuhan. Sebuah cinta yang lahir tidak dari ambisi atau kenikmatan inderawi apapun. Ia juga tidak berhak mendapat ganjaran karenanya. Cinta dan hanya cinta. Joyojuwoto

“ Buah Cinta “

“ Buah Cinta “

Sebagaimana pohon yang menghasilkan buah, cinta pun demikian. Pohon yang baik dan subur tentu juga menghasilkan buah. Cinta yang tidak memberikan hasil atau buah bukanlah cinta namanya, akan tetapi sebuah penghianatan terhadap perasaan dan Pemberi Harapan Palsu (PHP).
                Pohon cinta adalah ketulusan, cabangnya adalah keikhlasan, rantingnya adalah kesucian sedang daunnya-daunnya adalah penghambaan. Jika cinta dilandasi oleh hal-hal tersebut diatas tentu buah yang dihasilkan pun sama, ketulusan, keikhlasan, kesucian dan penghambaan. Bukankah pohon-pohon yang                 baik juga  akan menghasilkan buah-buahan yang baik pula !
                Cinta memang selalu mempesona, menyihir, dan melenakan. Seseorang yang telah mendaki pohon cinta ia takkan lepas lagi darinya, bahkan sampai kematian itu menjemputnya. Lihatlah bagaimana Nabi Ibrahim ketika di datangi malaikat maut untuk mencabut nyawanya, hatinya merasa tenang, karena diliputi rasa rindu yang mendalam kepada kekasih sejatinya. Dan sebentar lagi saat-saat yang dirindukan untuk bertemu dengan kekasihnya sejatinya akan segera tiba. Nabi Ibrahim berkata pada Sang malaikat maut :
هل رأيت خليلا يميت خليله
“Apakah Engkau melihat seorang kekasih yang mematikan kekasihnya ?”.
Nabi Ibrahim sedang bermanja ria dengan Tuhannya, dengan perasaan rindu yang tak dapat di tahan-tahan, dengan perkataan itu sebenarnya Nabi Ibrahim yang sedang mencari-cari perhatian dari kekasihnya Allah SWT. Saat itu perkataan dari Nabi Ibrahim langsung disambut mesra oleh Allah SWT dengan perkataan yang indah pula :
هل رأيت محبّا يكره لقاء حبيبه ؟
“Pernahkah engkau melihat seorang kekasih menolak undangan kekasihnya ?”
                Akhirnya Nabi Ibrahim mempersilahkan kepada malaikat maut untuk mencabut nyawanya, setelah mengetahui dan mendengar jawaban  cinta ALLAH, sebagai balasan cintanya Nabi Ibrahim. Begitulah cinta menghilangkan jarak, yang jauh menjadi dekat, menghilangkan sekat hamba dan Gustinya, karena cinta tak mengenal itu semua. Oleh karena itu ulama-ulama sufi dulu ketika telah larut dan tenggelam dalam lautan mesra dengan kekasihnya seakan-akan telah lupa segalanya. Al Hallaj bilang : “Ana Al Haq”. Sedang Syekh Siti Jenar bilang : “Aku Ingsun kang sejati”. Hal ini tentu tidak bisa difahami secara tektual, namun harus menyertakan makna-makna  batiniah yang perlu perenungan yang mendalam. Karena mereka telah  mabuk cinta dan  sedang menikmati buah kesejatian cinta.
                Menurut para Ulama sufi buah kecintaan kepada Allah itu ada tiga macamnya, diantaranya adalah:
1.          Al Uns
Al Uns menurut Imam Al Ghozali adalah salah satu dari buah mahabbah kepada Allah yaitu puncak rasa suka jiwa.
Buah mahabbah al Uns ini bisa dipetik dari keadaan hamba yang selalu bertaqorrub kepadaNya, selalu bermesra dan berlama-lama dengan Allah dalam berdzikir kepadaNya.

2.          Wushul
Wushul adalah ketika seorang hamba telah tenggelam dalam pesona Al Haq. Menurut Imam Al Ghozali Wushul adalah apabila ia memandang kepada  yang dipandangnya, maka tidak ada yang dipandanginya melainkan hanya Allah. Jika ia memandang pada sebuah cita-cita tujuannya, maka tidak ada lain cita-cita itu selain Allah.
      Lebih jauh lagi Imam Al Ghozali menerangkan bahwa wushul memliki 2 tujuan yaitu :
            1.    Tujuan Awal : dimana pada tahapan ini ialah baru pada tahap penyucian diri.
            2.    Tujuan Akhir : dimana pada tahap ini seorang hamba telah merajutkan dirinya dengan secara                total serta manunggal, seakan-akan dia adalah Dia.

3.       As-Syauq
As-Syauq adalah perasaan rindu. Kata ridu ini seakan-akan menjadi bagian dari kata cinta itu sendiri. Tidak cinta tanpa rindu, tidak ada rindu tanpa cinta. Rindu kepada Allah SWT terkadang juga diistilahkan dengan kata Isyiq, dalam kajian tasawuf kata-kata itu selain bermakna rindu juga memiliki pengertian terhadap akses perilaku abnormal pada diri seseorang yang telah menyimpan rindu, sehingga kadang pancaran rindu karena mahabbah kepada Allah SWT itu melahirkan sikap yang dianggap sesat. Seperti Al Hallaj dalam syairnya ketika ia ditimpa rindu  yang sangat kepada kekasih sejatinya  :
“Aku rindu, dan yang ku rindu adalah aku.
Kami adalah dua ruh, dan kami bersatu dalam satu tubuh.”

                Inilah yang dalam ajaran tasawuf dikenal dengan istilah Hulul, yaitu bersatunya Tuhan dan manusia. Bersatu dalam Qudrah dan IradahNya.

Minggu, 21 Juni 2015

Hamka Ulama yang Nyastra

Hamka Ulama yang Nyastra

Gambar : Serbasejarah.wordpress.com
Membaca karya Hamka khususnya yang berbentuk novel semisal Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van der wijck mengajarkan kepada kita untuk lebih arif akan kompleksitas hidup yang ada di tengah-tengah masyarakat. Kadang nilai-nilai sosial tidak bisa kita kelompokkan menjadi dua kutub yang saling berhadapan, halal-haram, hitam-putih, terang-gelap dan lain sebagainya. Adakalanya nilai-nilai di mana frasa-frasa itu harus dikesampingkan terlebih dahulu atau mungkin bahkan tidak perlu dipakai untuk menilai sesuatu yang memang bukan ranahnya.

Hamka tentu sangat faham tentang ilmu agama, lebih-lebih beliau memang seorang ulama kenamaan, namun begitu beliau tidak bersikap arogan dengan segala kompleksitas nilai-nilai yang ada di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Kadang kita melihat kelompok-kelompok tertentu yang hantam kromo menerapkan standart kaku dalam menilai sesuatu yang dalam Al-Qur’an sendiri kadang masih musytabihat. Stempel halal-haram, hitam-putih seakan menjadi senjata pokok dalam menilai segala sesuatu seakan meniadakan warna-warni kehidupan yang memang oleh Allah kita disuruh untuk memilihnya sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan peradapan manusia. Saya berharap mereka-mereka  bukanlah seorang penyandang buta warna yang memang hanya mampu melihat hitam putih saja tanpa tahu warna-warni keindahan lainnya.

Semisal novel, roman, puisi dan sejenisnya kadang sebagian pihak memandang sebelah mata dan hanya dianggap karya sampah belaka. Namun saya kira Hamka tidak sedang bergurau ketika ia sebagai seorang ulama juga sebagai seorang penulis novel, disamping beliau juga menulis tafsir Al Qur’an. Hamka berhasil keluar dari pemikiran mainstream masyarakat dan memberikan definisi dan makna tersendiri terhadap karya sastra berupa novel yang dianggap nir-nilai keagamaan. Kita memang jarang memiliki ulama yang nyastra semisal beliaunya. Walau tidak ada keharusan memang seorang ulama adalah seorang sastrawan juga, sebagaimana tidak bisa dipersalahkan juga ketika ada ulama yang sekaligus seorang sastrawan.

Selain Hamka menurut saya ada tokoh-tokoh ulama yang juga sekaligus seorang sastrawan semisal Cak Nun, Gus Mus, Taufiq Ismail, Zawawi Imron, Ahmad Tohari. Beliau-beliau ini berusaha memberikan warna yang berbeda dalam dunia sastra.. Jika kita sepakat bahwa nilai-nilai ajaran Islam itu universal tentu dunia sastra pun tidak boleh luput dan kering dari nilai-nilai keislaman itu, agar dunia sastra tidak hanya dimonopoli oleh orang-orang yang hanya menjadikan sastra sebagai objek untuk merusak peradapan generasi muda kita. Bukankah dulu Partai Komunis Indonesia juga menjadikan dunia sastra dan seni untuk memprogandakan ajaran mereka ? ada satu organisasi seni dan sastra di bawah onderbouw PKI kala itu yang dikenal dengan sebutan Lekra (Lembaga kebudayaan Rakyat), PKI dengan Lekranya berusaha menghantam dan merusak nilai dan sendi-sendi ajaran Islam dengan kebudayaannya semisal menyelenggarakan pagelaran ketoprak dengan lakon “Matinya Gusti Allah.” Membuat lagu genjer-genjer yang booming di tahun 40-an dan lain sebagainya. Oleh karena itu kita memerlukan sastrawan-sastrawan yang peduli terhadap nilai-nilai ajaran Islam dalam setiap karyanya dan memberikan sentuhan profetik dalam hasanah  kebudayaan bangsa Indonesia.

Persoalan cinta adalah persoalan abadi pada tiap diri manusia, masalah cinta telah ada sejak manusia diciptakan Tuhan. Hamka pun tidak tabu untuk menulis tema ini. Terbukti dalam dua karyanya yang telah saya baca bercerita tentang romantisme percintaan. Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah berkisah tentang cinta sepasang kekasih Hamid-Zainab, walau cinta mereka dipisahkan jarak bermil-mil namun cinta itu tidak kujung padam, hingga akhirnya keduanya meninggal dunia tanpa sempat mengikat cinta mereka dalam Miitsaqan ghalidzan, dalam keindahan mahligai rumah tangga. Hamid dan Zainab sama-sama tak mampu mengatakan gelora cinta mereka berdua, cinta itu mereka pendam dalam-dalam, hanya Tuhan dan pemilik cinta itu sendiri yang merasakannya. Mereka berdua memelihara cinta dalam bingkai KeTuhanan, hanya kepada Tuhan cinta itu diadukan, cinta mereka bedua sangat suci dan murni, jauh dari nafsu dan kesenangan duniawi. Hamid memilih berada dalam kibaran kiswah Ka’bah untuk menyalurkan hasrat cintanya kepada kekasihnya, begitu juga Zainab ia menghabiskan hari-harinya bermunajat kepada Tuhan. Sepasang kekasih itu menyimpan bara cintanya hingga kematian menjemputnya. Dalam lisannya yang mulia Rosulullah bersabda :
من عشق فعفّ فكتم فمات مات شهيدا

Artinya : Barang siapa yang sangat mencintai (seseorang) kemudian ia tetap menjaga diri dari perbuatan dosa dan menyimpan cintanya sampai mati karenanya, maka ia telah mati syahid”

Tenggelamnya Van der wijck pun menceritakan hal yang sama, cinta seorang pemuda bernama Zainuddin dengan kekasihnya Hayati. Cinta mereka berdua kandas karena tidak adanya persetujuan dari pihak keluarga Hayati. Gadis itu akhirnya dinikahkan dengan seorang pemuda dari keluarga kaya-raya Aziz. Sedang Zainuddin sendiri berasal dari keluarga yang papa.

Zainuddin dipaksa menerima keadaan, ia sama sekali tidak bisa mengharap keajaiban slogan “Cinta itu buta”  ataupun mengandalkan mantra-mantra yang mempesona :
في الحبِّ يموت كلّ الإيضاح
"Dalam cinta, matilah segala penjelasan”

Semua itu hanya semakin meneguhkan kesedihan dan keputusasaan terhadap cintanya yang

Hingga akhirnya Zainuddin pergi merantau ke tanah Jawa untuk berjuang dari keterpurukan cintanya. Walau banyak yang mengatakan bahwa cinta itu tidak memandang harta dan kedudukan namun pada kenyataannya kondisi sosial di tengah masyarakat tidak seindah slogan cinta. Mungkin slogan itu memang hanya ada di negeri dongeng yang memang tidak nyata. Hamka dengan sangat baik berhasil mengemas cerita cinta dalam dua novelnya dalam bingkai yang sangat manusiawi. Bukan cerita cinta yang hanya ada dalam negeri dongeng saja yang selalu happy ending.

Label cerita cinta dua anak manusia sering difahami dan dipandang negatif sebagai tema pasaran, bahkan mungkin label seperti itu juga kemudian membuat novel semacamnya dijuluki roman picisan yang cenderung berbicara cinta yang cabul dan binal atau dalam genre sastranya dikenal dengan istilah sastra tubuh. Namun setelah saya membaca dua novel Hamka ternyata pandangan itu keliru. Sebuah karya tulis diakui atau tidak sedikit banyak tentu mencerminkan pandangan dari si penulis itu sendiri, jika penulis memiliki pandangan yang sholeh tentu karyanya juga akan sholeh, begitu juga sebaliknya jika pandangan dan latar belakang si penulis adalah picisan tentu karya yang dihasilkan juga tak bermakna. Hamka berhasil memberikan warna yang berbeda tentang kisah yang bertemakan cinta dalam dua novelnya, ia mampu menghadirkan pada pembaca tentang makna cinta yang fitrah dan tak terkotori oleh nafsu-nafsu yang syaitoni. Sekian.

Sabtu, 20 Juni 2015

Ongkek Bambu

“Ongkek Bambu”
Oleh : Joyo

Aroma sengak khas toak  memenuhi atmosfer langit-langitku, gelak tawa dan diskusi khas warungan, obrolan tanpa ujung berbaur dengan alunan gamelan yang mengiringi lengking suara pesinden di ujung kampung. Di sebuah sumur gedhe punden desa, aku dan beberapa temanku memang sedang menikmati pesta desa dalam rangka upacara nyadran di ujung musim panen. Pesta yang digelar dengan hiburan tayuban.

Tayuban adalah satu-satunya hiburan yang menyenangkan di desa kami, desa pelosok yang jauh dari sentuhan kemodernitasan dan segala glamaurnya zaman, kami para pemuda desa juga ikut memeriahkan pesta setahun sekali itu. Biasanya kami bergerombol sambil menikmati jamuan sederhana, sepasang ongkek berisi toak dan gelas-gelas dari bambu yang dikenal dengan nama centak. Minuman toak bagi kami pemuda-pemuda adalah hal yang lumrah dan biasa. Minuman itu ibarat air putih bagi kami yang menemani saat kami kerja di tegalan, saat kami membuka ladang dan hutan.

Biasanya kami bergerombol antara lima sampai enam orang di sore hari setelah pagi dan siang hari bekerja memeras keringat membanting tulang. Sambil mengeja senja kami mengisi waktu luang dengan minum toak bersama, menyulam kebersamaan antar sesama.

Begitulah cara kami pemuda-pemuda desa menjalin sosialitas antar warga dengan gelas-gelas bambu yang menebarkan aroma “surgawi”, melenakan alam indrawi, mematikan nalar dan nurani. Gelas-gelas bambu ibarat susunan rantai yang mengokohkan tali persaudaraan dan kebersamaan kami, dan aroma khas toaknya menjadi penanda akan eksistensi dan jiwa kami untuk saling berbagi. Berbagi kesenangan di tengah derita zaman yang semakin edan, berbagi senyum di tengah-tengah dunia yang semakin menggila. Berbagi empati di antara diantara kami para “Syaroobul Asyiqin”.

Tak menjadi masalah buat kami kebijakan-kebijakan pemerintah yang terus menindas rakyat kecil seperti kami, asal pohon-pohon Tal itu masih berbunga dan mengalirkan cairan toak jika kami sadap. Asal bambu-bambu liar di belakang rumah kami bisa kami tebang untuk membuat ongkek, bumbung dan gelas-gelas centak kami. Bagi kami pemerintah kadang tak lebih dari segerombolan perampok yang mengusik ketenangan hidup kami. Kami tak butuh wakil-wakil untuk menyampaikan aspirasi kami, semua itu hanya kami anggap sebagai mitos dan tahayul belaka. Hutan kami, ladang kami, sawah-sawah kami, kambing dan kerbau-kerbau kami lebih mengerti akan kebutuhan hidup kami, dibanding segerombolan orang-orang yang sok ke GR an menjadi wakil kami di pemerintahan.

Kami warga desa mungkin memang hanya dipandang sebagai rakyat jelata, masyarakat rendahan, kasta sudra, namun ingat bahwa sebenarnya kamilah pemilik sah negeri ini.  Rakyatlah yang seharusnya berdaulat. Jika bukan karena ketulusan dari kami para warga desa, sudah lama kami pensiun dini menjadi rakyat. Kalau rakyat telah mengundurkan diri maka apalah patut kita ini disebut sebagai sebuah negeri ?.

Kami warga desa memang berpendidikan rendah, namun kami masih mengenal benar apa itu sebuah kemurnian. Beda benar antara emas dan loyang. Tidak semua orang yang berteriak-teriak mengaku pembela rakyat jelata adalah pahlawan, mungkin ia sedang belajar akting seperti anak-anak teateran, semua hanyalah sandiwara, semua hanyalah kepura-puraan belaka, dan pada saatnya nanti semua akan terbukti, karena hanya kemurnian yang abadi, dan waktu tidaklah bisu.

Kami akui kami rakyat memang bodoh hingga bertahun-tahun selalu ditindas oleh rezim yang menamakan dirinya pemerintah. Tiap gerak dan aktivitas kami  harus dipajaki, katanya sih untuk kemakmuran. Kami rakyat dijadikan semisal tuyul penghasil uang oleh tuan bendoro-bendoro yang hasilnya mereka makan untuk anak cucu dan keluarga mereka sendiri. Tak ada yang tersisa buat kami kecuali hanya sekedar slogan yang urakan “Orang pintar taat pajak”.  Kami sebenarnya tak mau pintar-pintar amat agar tak perlu lagi membayar pajak buat memenuhi ambisi pribadi para bendoro itu.

Bagaimana mau pintar, sekolah pun mahal. Seperti zaman VOC dulu yang hanya kaum ningrat dan orang berduit saja yang boleh sekolah. Rakyat inlander kelas teri seperti kami hanya manggut-manggut saja melihat iklan di tv tentang sekolah gratis, tentang BOS, tentang APBN yang 20 % untuk pendidikan dan tentang-tentang hal lain yang hampir selalu dipastikan bertentangan dengan kenyataan.  Dengan berbagai dalil yang lebih mirip dengan dalih kami harus tetap membayar biaya sekolah, kami harus tetap membayar atas nama “Jer basuki mawa bea”  tidak ada yang gratis di dunia ini, semua ada harga yang harus dibayarkan. Hanya ada Tuhan yang menyediakan dzatnya untuk kita cintai secara gratis. Bahkan justru Tuhan Yang  Kuasa membayar kita dengan sifat rohman dan rohimnya yang kekal sepanjang masa.

Begitulah kami warga desa kaum pinggiran menikmati pesta tahunan di ujung kampung dengan ritual sederhana sepasang Ongkek dan gelas-gelas centak, bersama rancaknya iringan musik gamelan yang kemlungkung dan lengking suara sinden yang menembangkan harapan akan masa depan yang lebih mapan.

Harapan akan datangnya zaman yang membawa kami menaiki bahtera Nuh menuju jalan keselamatan. Harapan akan munculnya sang mesiah yang akan membawa kami merobek tirai kegelapan dan menuntun kami menuju  gerbang hidayah. Harapan yang akan menjadikan bambu tidak hanya sekedar sebagai Ongkek dan centak, namun juga seajaib tongkatnya Nabi Musa yang mampu membelah samudra angkara murka di dalam jiwa kami, atau setidaknya menjadi obor yang menerangi gelapnya jalan kehidupan kami, agar kami mampu mendaki puncak cahaya-NYA. Nuurun ‘ala Nur. Sekian. Bangilan, 1-6-15.

Jumat, 19 Juni 2015

Ramadhan ya Ramadhan

Ramadhan ya Ramadhan

Ramadhan adalah bulan yang istimewa, bulan penuh keberkahan, bulan di mana relativitas waktu terjadi di salah satu malam pada malam-malam akhir di bulan ramadhan. Malam lailatul qodar, di mana amalan-amalan kebaikan pada malam itu nilainya lebih baik ketimbang malam 1000 bulan.
ليلة القدر خير من الف شهر
“Malam lailatul qodar lebih baik dari pada seribu bulan”

Ramadhan adalah Syahrul Qur’an, bulan Al Qur’an di mana bertadarus di bulan ramadhan kebaikannya akan dilipat gandakan menjadi 10 sampai 70 kebaikan, dan kelak di akhirat al Qur’an akan datang memberikan syafaat kepada para pembacanya. Karena itu di bulan ramadhan umat Islam sama berlomba-lomba untuk mengkhatamkan Al Qur’an, masjid-masjid, surau-surau dimakmurkan dengan tadarusan dan tradisi ini sudah ada sejak mengiringi peradapan masyarakat Islam sejak masa penyebarannya. Jadi sangat aneh ketika salah satu petinggi Negara merasa tertanggu dengan tradisi yang telah berurat di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita. Saya sendiri menikmati rasa, dan aroma ramadhan yang penuh berkah di kampungku. Habituasi ramadhan sangat terasa dan semoga ini memang bukan hanya sekedar asesoris semata.

Ramadhan adalah bulan di mana pintu-pintu neraka ditutup, sedang pintu surga dibuka, setan-setan dibelenggu agar orang-orang rajin menjalalankan amalan kebaikan di bulan ramadhan, sehingga ketika madrasah ramadhan selesai kita mendapatkan gelar orang yang bertaqwa, sebagaimana yang dimaksudkan dari tujuan puasa ramadhan itu sendiri. “La’allakum Tattaquun.” Semoga kalian menjadi orang yang bertaqwa.

Harapan kebaikan ukhrawi dan kegembiraan menyambut bulan ramadhan, atau orang Jawa bilang mapak ramelan, selalu dilakukan dengan sungguh-sungguh. Dalam adat masyarakat Jawa sebelum datangnya bulan ramadhan ada istilah megengan, yaitu sebuah tradisi kenduri untuk menyambut datangnya bulan suci. Megengan sendiri sejatinya dari kata megeng, yaitu menahan diri, jadi sebelum ramadhan tiba orang-orang telah mengawalinya dengan menahan diri dari nafsu-nafsu yang tercela, merelakan harta dan benda yang disimbolkan berkat megengan untuk kita bagikan kepada sanak keluarga dan tetangga-tetangga kita. Sejatinya orang-orang dahulu mengajarkan kita untuk berbagi dan bershodaqoh kepada sesama dengan cara yang sangat halus, agar pada saat ramadhan nanti kita juga tidak eman untuk bershodaqoh kepada orang yang membutuhkan. Dan sebaik-baik shodaqoh adalah yang dilakukan pada saat bulaan ramadhan, Rosulullah SAW bersabda :
افضل الصدقة في يوم رمضان
“Shodaqoh yang paling utama adalah di bulan ramadhan”

Dalam al-Qur’an dijelaskan, orang yang bershodaqoh dengan ikhlas diumpamakan orang yang menanam sebuah biji, sebuah biji itu akan menjadi 7 tangkai dan setiap tangkainya akan berbuah 100 biji. Sehingga kebaikan shodaqoh yang dilakukan dengan ikhlas akan menumbuhkan 700 kebaikan bagi pelakunya, sungguh luar biasa.

Pada siang hari di bulan ramdhan kita harus berlapar-lapar, pada malam harinya kita menghidupkan malam ramadhan dengan shalat tarawih, berdzikir, tadarus Al Qur’an dan amalan-amalan sunnah lainnya. Hal ini dimaksudkan bulan ramadhan menjadi semacam kawah candradimuka, tempat pendadaran, dan sebagai sarana untuk menggembleng fisik dan jiwa kita. Sebagaimana logam akan terpisah dengan debu-debu dan tanah ketika telah melewati proses pembakaran. Begitu juga dengan ramadhan, sebagaimana makna asli dari ramadhan adalah “membakar”, membakar segala sifat ego dan hawa nafsu yang membelenggu kemurnian kita sebagai hamba. Kemurnian dan keikhlasan dalam menjalani bulan ramadhan akan menjadi bukti tingkat penghambaan kita kepada Sang Rabbul Izzati.
Tiada kegembiraan bagi umat Nabi Muhammad kecuali pada bulan ini, bulan ramadhan, bulan Al Qur’an, bulan penuh kebaikan dan keberkahan. Kegembiraan akan datangnya ramadhan akan bermuara juga pada kegembiraan kita di dunia maupun kelak ketika kita bertemu dengan  Tuhan kita. Farhatun ‘inda liqoo’i Rabbih. Sekian. Joyojuwoto. Bangilan, 1 Ramadhan 1436 H

Selasa, 16 Juni 2015

“Menyalakan Kembali Cahaya dari Koto Gadang”

“Menyalakan Kembali Cahaya dari Koto Gadang”

Membaca kisah orang besar seperti kisah para pahlawan selalu menginspirasi dan memberikan pelajaran yang penting bagi generasi masa depan. Bagai sumber air yang tak pernah kering , alirannya menyejukkan dan menghilangkan dahaga bagi sebuah peradapan. Walau peristiwa itu telah bertahun-tahun lamanya terjadi dan mengendap dalam gelapnya buku-buku sejarah yang kadang ditulis sesuai dengan selera penguasa. Namun, lain loyang lain emas, sejarah yang murni selalu punya cara untuk menampilkan tokoh yang benar-benar tulus dan ikhlas berkhidmad untuk bangsa dan negara tercinta.

Mayhudul Haq yang berarti “Pembela Kebenaran” sebuah nama yang menggambarkan dambaan, do’a dan cita-cita dari seorang ayah yang bernama Sutan Muhammad Salim kepada anaknya yang kelak setelah ditempa dengan berbagai macam kondisi dan iklim peradapan masa tahun 1884-1954, sang jabang bayi itu benar-benar menunjukkan identitasnya sebagai pembela kebenaran di jagad sejarah Nusantara. Walau nama itu hanya tersemat di surat lahir dan ijazahnya, karena sang Masyhudul Haq lebih dikenal dengan sebutan Agus Salim.

Agus Salim termasuk orang yang beruntung kala itu, ayahnya adalah seorang pegawai pemerintah Belanda dan menduduki jabatan sebagai Hoofddjaksa (Kepala Jaksa) hingga kehidupannya terjamin ketimbang teman-temannya yang lain yang hanya rakyat jelata. Walau sejak kecil Agus Salim sekolah di ELS (Europeesche Lagere School) milik Governemen Belanda dan hingga masa dewasanya ia juga banyak bergaul dengan Belanda namun hal itu ternyata tidak mengikis jiwa nasionalisme dan patriotismenya  kepada bangsanya sendiri. Agus Salim tidak hanya termasuk sebagai salah satu dari the founding fathers negeri ini, lebih dari itu Bung Karno mengatakan : “Dialah “The Grand Old Man” bangsa Indonesia”.

Kiprah Agus  Salim dalam berbagai organisasi sosial dan politik seperti Syarikat Islam dan keikutsertaannya dalam Mu’tamar Alam Al-Islami maupun pada saat mengikuti konferensi Buruh Dunia di Jenewa menjadi bukti nyata akan perjuangannya membela rakyat Hindia yang terus ditindas oleh pemerintah Belanda. Agus Salim juga sangat aktif menulis dan menyuarakan kesewenang-wenangan kaum penjajah melalui surat kabar Bendera Islam. Walau akhirnya surat kabar itu mengalami kevakuman karena kekurangan dana. Namun hasil dari lawatannya di Makkah Agus Salim mendapatkan dana hibah dari Raja Abdul Aziz bin Saud, dan dana ini digunakan menghidupkan kembali Bendera Islam yang telah redup. Untuk mengefektifkan fungsi Surat kabar Bendera Islam kantor redaksinya dipindah ke Batavia dan namanya diganti menjadi Surat Kabar Harian Fadjar Asia. Kali ini gaung perjuangan Surat Kabar Harian Fadjar Asia tidak hanya wilayah-wilayah Hindia Belanda namun mampu menembus sampai luar negeri, seperti London, Moskow, China, India, Den Haag dan Mesir.

Agus Salim adalah sosok yang sederhana, berkemauan keras, dan berjuang tanpa pamrih untuk kemerdekaan anak negeri. Kehidupannya berpindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain. Namun hal itu tak menyurutkan bara semangat perjuangannya. Di tengah keterbatasan ekonominya, beliau sangat beruntung memiliki pendamping hidup yang sangat luar biasa Zainatun Nahar, sosok istri yang sangat berbakti kepada suami. Sosok bidadari surga yang mendampingi susah senangnya perjuangan sang suami. Layak pasangan ini untuk kita teladani dalam membangun biduk rumah tangga, sekaligus berjuang untuk bangsa dan negara.

Seperti apa yang ditulis oleh Haidar Musyafa penulis Novel “Cahaya dari Koto Gadang” Mari mengenal lebih dekat salah satu peletak dasar bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Agar dapat dikisahkan kepada generasi penerus bangsa ini, sehingga kisah-kisahnya tetap lestari.Haji Agus Salim, satu di antara Bapak Bangsa peletak dasar NKRI. Berkat kecerdasan dan kepiawaiannya dalam membangun relasi , kedaulatan dan kemerdekaan NKRI diakui secara de jure oleh bangsa-bangsa adidaya. Sekian. Joyojuwoto

Minggu, 14 Juni 2015

"Malam Meriah Akhirussanah di Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan"

"Malam Meriah Akhirussanah di Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban"

www.4bangilan.blogspot.com- Sabtu, 13 Juni 2015- Pondok pesantren ASSALAM Bangilan Tuban kembali  menyedot perhatian masyarakat sekitar. Haflah Akhirussanah kelas VI  KMI ASSALAM yang bertemakan “Kota Santri” itu benar-benar memanjakan beribu-ribu pasang mata yang hadir.  Barbagai macam acara yang ditampilkan mulai dari gemas holawat dari Group Hadroh Nurussalam sebagai pembuka acara, suara khas group koor pengiring para wisudawan dan wisudawati, dentuman alat-alat drumband dari Group marching band Gema Nada ASSALAM, hingga kolaborasi santri, semua berjalan dengan rapi dan tertib. Juga Gema wahyu Illahi yang dibawakan oleh Ustadz Barokah, seorang hafidz tuna netra yang sangat menggetarkan hati.

Tahun ajaran  baru nanti, ASSALAM akan mengadakan program baru yakni Hifdul Qur’an, mulai dari kelas I hingga kelas VI  wajib mengahafal Al Qur’an, jadi insya Allah lulus dari KMI ASSALAM santri membawa hafalan 10 juz. Amiin-amin terang Ustd YunanJauhar dalam sambutannya. Kepala Sekolah MA ASSALAM itu juga memaparkan bahwa hafalan di pondok pesantren ini dengan metode yang sangat baik, terbukti dua orang santri yang beliau tes langsung diatas panggung malam itu bisa menghafal Al Qur’an dengan baik. Semoga nantinya masyarakat akan lebih percaya hingga menitipkan anaknya menuntut ilmu di KMI ASSALAM dengan diadakannya program hifdzul Qur’an ini.

Mauidzoh hasanah pada Haflah Akhirussanah ini diisi oleh Bapak KH Syaifuddin Zuhri dari Malang. “Bangga sekali melihat anak-anak kita masuk ke dalam lingkungan pondok pesantren, apalagi di pondok ini anak tidak hanya mengaji. Tetapi juga berkreasi” tuturnya.  Pondok pesantren ASSALAM  juga turut mengundang KH Hasan Abdullah Sahal Direktur pondok pesantren modern  Gontor Ponorogo. Namun beliau berhalangan hadir dan diwakili oleh IKPM. Sedang dari pihak pemda Bapak Bupati juga berhalangan hadir dan diwakilkan kepada pihak Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga.

Pukul 01.00 acara selesai. Segenap wisudawan dan wisudawati foto bersama diatas panggung dengan para asatidz dan ustadzat. Disusul oleh segenap panitia yang terdiri dari kelas II dan III Aliyah. Semoga kedepannya Pondok pesantren ASSALAM  bisa lebih berkembang dan membawa pengaruh positif  kepada para kader bangsa. Hingga terwujudlah cita-cita dari kedua pondok ini (pondok ASSALAM putra Banjarworo dan pondok ASSALAM putri ngrayung) untuk menjadikan Bangilan sebagai Kota Santri sekaligus Kota Ilmu. SALAM ASSALAM. Ninda

Sabtu, 13 Juni 2015

ASSALAM Majalah Fair 2015

www.4bangilan.blogspot.com- Dunia Literasi Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban menemukan momentumnya, di sela-sela kesibukan persiapan Haflah Akhirussanah 2015  (HAS) kemarin hari Jumat, 12 Juni 2015 team redaksi Majalah ASSALAM mengadakan event bersejarah "Bedah Majalah dan Workshop Journalistik" 

Acara yang digelar di aula Mushola pesantren kemarin pagi semakin meriah dengan dilounchingnya website Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban yang langsung bisa diakses di www.assalam.sch.id. Serunya lagi sejak Jumat hingga saat HAS para santri dan pengunjung HAS bisa menikmati Bazar Majalah, dan ini untuk pertama kalinya pesantren ASSALAM Bangilan Tuban mengadakan event "Majalah Fair".


Selain untuk memeriahkan kegiatan Haflah Akhirussanah 2015 kegiatan literasi ini untuk meningkatkan minat baca dan tulis para santri. Senada seperti apa yang disampaikan  oleh Abah Moehaimin Tamam, beliau mengatakan "Jangan Terburu-buru Mengaku Santri ASSALAM Sebelum Kalian Cinta Membaca" sebagaimana yang terpampang di banner kegiatan.

Dalam workshop journalistik yang dipandu oleh Wartawan lepas diberbagai media di Jakarta, Ical nama pena Saudara Misbahul Munir yang juga jebolan pesantren di Bangilan itu memberikan tips-tips kepada para santri bahwa kegiatan journalistik sebenarnya sangat gampang dan menyenangkan. "Menjadi Jurnalis itu mudah, menjadi jurnalis itu asyik, semua orang bisa menjadi jurnalis" begitu ungkapnya.

Kegiatan Bedah Majalah yang dihadiri team redaksi dan kontributor majalah edisi ke-3 tersebut mendapat sambutan yang antusias dari para santri. Apalagi ada door price buku bacaan yang juga disiapkan oleh panitia untuk para peserta workshop. Dengan penuh hikmat mereka mendengarkan satu persatu materi yang disampaikan oleh team yang memakai seragam kaos putih-putih yang bertuliskan "Trust Me, I'm Journalist". Wah keren !.


Semoga kegiatan ini nantinya benar-benar memberikan kontribusi yang abadi dalam dunia literasi buat Pondok Pesantren ASSALAM khususnya, dan buat peradapan umat manusia pada umumnya, sebagaimana yang menjadi tagline Majalah ASSALAM "Merajut Peradapan" dengan tulisan tentunya. Sekian. Joyojuwoto.