Selasa, 19 Mei 2015

Di Pesantren Kita Berdikari

Di Pesantren Kita Berdikari
Oleh : Dian Maya Maulida

Hidup di Pondok Pesantren itu adalah kehidupan yang mandiri dan sederhana. Kita pasti diajarkan bagaimana cara kita belajar menjalani kehidupan yang jauh dari orang tua kita, bagaimana sikap kita ketika mendapat cobaan, bagaimana sikap kita ketika gagal, akankah kita harus berlari ataukah kita hadapi ?

 Di sekeliling kita banyak sekali orang-orang yang syirik dengan kita, entah itu karena kemampuan yang kita miliki atau pun karena sesuatu hal yang lain. Sifat iri ini sangatlah  mudah masuk dan ada pada diri kita, lebih-lebih ketika kita selalu menuruti ego yang kita miliki atau pun karena hasutan yang di berikan orang lain kepada kita, maka dari itu jangan menjadi orang yang mudah terhasut oleh orang lain. Jika kita selalu mengedepankan dan mengutamakan sifat egois dan iri hati kita, bukan keuntungan yang akan kita dapatkan melainkan kita akan menjadi orang yang selalu berkecil hati dalam melakukan segala hal.  Dan akhirnya kekalahan lah yang kita dapatkan. Perlu di ingat, setiap insan itu punya keistimewaan, maka dari itu kita tidak boleh selalu iri terhadap  apa yang dimiliki orang lain. Dan salah satu kuncinya hanyalah kita sendiri, sifat iri adalah sifat yang wajar, akan tetapi kita tidak boleh menunjukkannya pada orang lain. Cukup memendamnya saja.

Selain bisa melatih kesabaran, kita juga bisa memperkaya hati kita, bahkan kita bisa banyak belajar mengoreksi diri bagaimana kita bisa bisa menjadi lebih maju lagi dan berkembang. Dan karenanya, Sifat optimislah yang harus kita miliki agar bisa membantu kita menggapai semua mimpi kita. Hidup di pondok adalah latihan hidup bermasyarakat, kita di latih menjadi orang orang yang mandiri dan disiplin. Istilah mandiri kita di tuntun untuk bisa mengatasi segala masalah yang kita miliki. Kita dibina untuk bisa menjadi orang yang tegas dan juga terampil dalam segala hal. Kita selalu belajar menjadi seseorang yang dewasa tanpa harus mengandalkan orang tua kita.

Ada kalanya kita harus menulikan diri 

Pesantren adalah representasi kecil dari sebuah kehidupan di tengah masyarakat, semua yang ada di Pesantren bernilai pendidikan dan dapat menjadi suatu wadah untuk melatih diri kita agar kelak siap jika telah terjun di tengah masyarakat yang sebenarnya.

Menjalani suatu kehidupan di tengah masyarakat pastilah tidak mudah seperti yang kita bayangkan, terkadang datang suatu kebahagiaan, dan terkadang juga banyak masalah yang menimpa kita. Adanya suatu masalah bukan untuk menjadikan kita jatuh, tapi bangkitlah dan bangunlah. Mungkin bagi mereka kamu hanyalah orang yang tidak berguna dan jauh sekali dari kesempurnaan, tapi kita harus ingat bahwa setiap orang itu memiliki keistimewaan, bahkan keistimewaan yang kamu miliki tidak bisa dimiliki orang lain. Tunjukkan dan buktikan kamu bukanlah orang yang bodoh, kamu bisa menjadi seperti mereka. Bahkan untuk orang  yang tidak mempercayaimu, yakinlah dengan tekad  dan usaha yang besar, buah yang mentah bisa menjadi masak, sesuatu yang pahit pun bisa menjadi manis, kamu bisa mengubah semuanya. Inilah kehidupan. Kadang lurus dan terkadang pun berbelok, banyak-banyak lah bersyukur atas nikmat yang di berikan ALLAH kepadamu. Rencana ALLAH selalu berakhir dengan kebaikan. Semua berjalan atas kehendaknya. Maya

Minggu, 17 Mei 2015

Jalan Pulang

Jalan Pulang

Debu-debu jalanan beterbangan memerihkan mata, siang yang terik, musim kemarau yang sempurna, dan matahari yang berada tepat di atas kepala menggenapkan suasana panas siang di pertengahan bulan Juni. Seorang pemuda berpakaian hitam bercelana komprang ala pakaian Jawa berjalan ke arah terminal Bojonegoro. Ia dengan sigap naik bis jurusan Ngawi yang tak perlu berhenti untuk menaikkan ataupun menurunkan penumpang. Cukup bis diperlambat sekian detik kemudian meluncur cepat membelah aspal-aspal jalan Bojonegoro – Ngawi.

Tak ada bekal yang dibawa pemuda itu, nafas dan kepalan tangan serta ambisinya untuk berpenghidupan layak seakan telah cukup untuk mengantarkannya menjelajahi luasnya wilayah baru yang akan dituju. Walau ia sendiri pun tidak tahu kemana langkah kakinya akan diarahkan. Hanya mata kaki dan tekadnya saja yang menguatkannya untuk meninggalkan kampung halaman demi sebuah harga diri yang akan menuntunnya menuju apa yang ia asakan.

Kota-kota dan jalanan ia lalui, batu dan debu menjadi menunya sehari-hari, keterpaksaan dan kekerasan telah membentuk watak dan karakternya semakin tegar dan kokoh menghadapi kejamnya kehidupan. Dunia preman dan aturan jalanan ikut membesarkannya dalam perantauan, akhirnya pemuda itu menjelma menjadi berandalan yang disegani di seantero kota dan desa di wilayah Ngawi, Solo dan sekitarnya.

Walau tenggelam dalam dunia hitam, Wira sang pemuda dari Bangilan itu di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang ia tempati terkenal sebagi pemuda yang baik hati dan santun. Ibarat pemain sinetron papan atas Wira mampu memainkan peran dengan sempurna. Ia menyembunyikan jatidirinya yang sebenarnya kepada warga masyarakat sekitar, yang mereka tahu Wira adalah pemuda perantauan yang bekerja di pabrik kayu di kota Solo.

Untuk menyempurnakan aktingnya Wira berguru kepada seorang ahli kebatinan Jawa yang ada di Solo, Ki Ajar Sasra Birawa. Selain mempelajari kebatinan Wira juga memperdalam ilmu kanuragan sebagai bekal malang melintang di dunia begal. Walau tubuhnya kecil namun jangan ditanya soal beladiri ia bisa dibilang sebagai pendekar yang pilih tanding.

Gurunya bukannya tidak tahu dengan segala tingkah laku muridnya, namun sebagai seorang yang weruh sakdurunge winarah beliau lebih banyak memilih diam dan tetap selalu mengajarkan kebenaran sejati yang perlu ditempuh oleh manusia dalam hidupnya. Hitam putihnya kehidupan adalah rahasia Tuhan. Manusia hanya sekedar menjalankan titah sambil terus berharap rahmat dan karunia dari Sang Pencipta.

Suatu ketika Ki Ajar mewejang kepada murid-muridnya disebuah ruangan utama padepokan :
“Angger murid-muridku ketahuilah hidup di dunia ini tidak lama, ibarat orang bepergian kita sedang berhenti sejenak untuk minum, kita sedang “Mampir Ngombe” kita tak akan selamanya berada di dunia ini, karena ini bukan rumah kita, bukan kampung kita. Kampung sejati kita adalah akhirat yang kekal abadi. Segala kemewahan dan gemerlapnya di dunia ini tidak ada apa-apanya jika dibanding apa yang akan kita peroleh di kampung kita sendiri. Oleh karena itu kita hidup di dunia harus bisa dan memahami “Inna Lillahi Wa Inna Ilahi Roji’un”. Jangan sampai kita lupa akan “Sangkan Paraning Dumadi.”

Murid-murid padepokan Ki Ajar Sasra Birawa hanya diam dan menunduk mendengar wejangan dari Sang Guru. Mereka mencerna wejangan itu dengan daya rasa, cipta, dan karsa agar dapat menguraikan wejangan yang berisikan ajaran paripurna. Mengerti “Sangkan Paraning Dumadi”.
Wira yang berada di tengah-tengah para murid Ki Ajar hanya diam dan menahan nafas. Ia merasa dirinyalah sebenarnya yang sedang dinasehati oleh gurunya itu. Namun dirinya telah bertekad saat meninggalkan kampung bahwa ia tak akan pulang sebelum mampu “ngemperi ndunyo, mageri jagad” mendapatkan keberhasilan duniawi dengan cara apapun juga. Bahkan dengan merampok dan membegal sekalipun.

Dan cita-cita yang di gadang-gadang itu hampir sampai, dari hasil merampokknya Wira telah mengumpulkan banyak perhiasan emas permata yang ia simpan di rumah kontrakannya.

Suatu ketika Wira bersama komplotannnya melanglang buana mencari daerah rampokan baru yang lebih menjanjikan hingga sampai  di kota Magelang. Di tempat ini Wira bersama temannya menyaru menjadi santri di pesantren Watu Congol yang diasuh oleh Mbah Dalhar. Lazimnya pesantren zaman dahulu siapapun bisa nyantri dan menetap di pondok tanpa harus ditanya macam-macam. Karena tujuan di pesantren adalah untuk ndandani awak, memperbaiki diri. Sikap husnudzon dan terbuka dari warga pesantren menjadikan Wira dan teman-temannya bisa menetap di pesantren itu dengan leluasa.
Di Magelang ini Wira selain ikut mengaji kepada Mbah Dalhar, ia dan teman-temannya juga masih melancarkan aksinya membegal. Namun daerah operasinya jauh dari pesantren, agar tidak mudah dikenali. Tidak hanya membegal ketika di luar Wira pun main perempuan, uang yang banyak, emas dan permata menjadi daya tarik yang luar biasa bagi kaum tuna susila, hingga Wira tak mampu melepaskan kebiasaannya itu. Walau ketika kembali ke pesantren Wira tampil seperti lagaknya seorang santri lainnya.

Mbah Dalhar adalah seorang Mursyid Thariqah Sadziliyah, dengan segala karomahnya beliau bukannya tidak tahu dengan kondisi santrinya. Namun begitulah sekali lagi kearifan seorang yang ‘aarif billah ia tidak suka menunjuk hidung dan menghakimi terhadap santrinya. Bagaimanapun menjadi tugas seorang mursyid untuk membimbing para salik menuju tangga-tangga langit.

Pada sutu kesempatam Mbah Dalhar memanggil Wira untuk sowan menghadap ke Ndalem. Wira sendiri merasa kaget, baru kali ini selama ia nyantri dipanggil langsung oleh Sang Kyai. Ia khawatir jangan-jangan kedoknya akan dibongkar oleh Kyai. Dengan ragu-ragu Wira pun mendatangi ndalemnya Kyai.

“Assalamu’alaikum Kyai,” ucap Wira ketika sampai di pintu.

“Waalaikum salam, sini masuk Kang” jawab Mbah Dalhar penuh keakraban.

Wira pun masuk, dan duduk bersila di hadapan Mbah Dalhar dengan menundukkan kepala. Ia siap jika segala dosa dan kesalahannya dibongkar dan mendapat marah dari Kyai yang wira’i itu. Wira hanya diam menunggu dawuh dari Sang Kyai.

“Kang sampeyan kan sudah lama nyantri di sini, sekarang sampeyan saya ijinkan pulang ke kampung dan Insyallah penyakit sampeyan akan sembuh dengan syarat ketika sampeyan pulang nanti harus seperti keadaan sampeyan berangkat dari kampung sampeyan. Seampai di kampung ambillah seorang istri dengan niat ibadah dan untuk melanjutkan keturunan” Dawuh Mbah Dalhar.

Walau diucapkan dengan suara yang lembut dan kebapakan, suara Mbah Dalhar seperti dentuman petir yang menggelegar meruntuhkan isi langit.  Wira tak menyangka ternyata selama ini Mbah Dalhar tahu apa yang ia lakukan. Sampai pada penyakitnya yang selama ini ia rahasiakan walau kepada teman karibnya sekalipun ia tak pernah cerita.

Memang Wira mengidap penyakit berkenaan dengan hobinya main perempuan, dan yang lebih menyedihkan lagi  ia telah divonis dokter tak akan mempunyai keturunan.

Setelah peristiwa itu Wira menjadi bingung, disuruh kembali ke kampung tidak masalah baginya, namun  meninggalkan semua yang ia miliki untuk tidak dibawa pulang itu yang membuatnya bimbang. Dari hasil merampoknya Wira telah berhasil mengumpulkan berkotak-kotak emas berlian, dan dengan entengnya Sang Kyai menyuruhnya untuk meninggalkan itu semua.

Di tengah kebimbangannya Wira teringat guru kebatinannya Ki Ajar Sasra Birawa, akhirnya Wira berangkat ke Solo untuk mengadukan kegalauan hatinya. Dengan berdebar-debar Wira menghadap ke padepokan Ki Ajar Sasra Birawa, saat itu Ki Ajar sedang duduk santai di depan sanggar pamujan. Seakan ia telah menunggu kedatangan Wira.

“Kulo Nuwun Ki, dalem badhe sowan” ucap Wira kepada gurunya

“Rahayu, rahayu..lama kau tak kesini angger Wira, bagaimana kabarmu ?” jawab Ki ajar sambil menanyakan kabar Wira.

“Baik Ki, semua atas berkah do’a pangestu dari panjenengan” jawab Wira
“Ada perlu apa kau kesini menemuiku Wira, bukankah hidupmu telah kecukupan, harta benda telah kau dapatkan sebagaimana yang kau inginkan, kalau kau ingin pulang, pulanglah Wira...kau akan menjadi orang terhormat di kampungmu dengan harta yang kau bawa pulang, tapi ingatlah pesanku dulu di sini bukanlah tempat tinggalmu, di sini bukan kampungmu pada saatnya kau akan pulang Wira, namun bukan harta benda yang akan kau bawa, karma kehidupanlah yang akan menjadi bekalmu” terang Ki Ajar panjang lebar

Walau Wira belum menyampaikan permasalahannya, ternyata Ki Ajar sangat wasis dan sidik paningal, hingga Wira merasa malu sendiri, kemudian ia pun matur kepada Sang Guru :

“Lalu apa yang harus aku lakukan Ki ? mohon bimbingannya Ki saya bingung apa yang sebaiknya aku lakukan”

“Ikuti apa yang diwejangkan Gurumu Kyai Dalhar”  Jawab Ki Ajar Sasra Birawa pendek.

“Baiklah Ki, saya akan berusaha”

Selanjutnya Wira berpamitan kepada Gurunya, walau masih ragu Wira berusaha sekuat daya untuk mengikuti pesan dari kedua guru spiritualnya.

Mula-mula Wira membeli pakaian seperti awal ia memulai perjalanannya meninggalkan kampung halamannya, pakaian hitam, celana komprang. Ia bawa kotak-kotak perhiasaannya yang penuh dengan emas permata. Keraguan masih tampak di wajahnya, di jalan setapak di pinggir hutan antara Solo-Ngawi ia gali tanah, kemudian ia pendam kotak penuh emas itu. Selang beberapa langkah dari tempat ia membuang harta bendanya, Wira kembali lagi. Ia gali lagi tanah itu dan ia pangku kotak yang penuh dengan perhiasan yang tidak akan habis dimakan selama tujuh turunan dengan gemetaran. Hatinya dipenuhi kebimbangan, akankah harta sebanyak itu yang didapat dengan pertaruhan nyawa harus ditinggal begitu saja. Bukankah lebih baik ia bawa pulang sebagian ia sedekahkan untuk orang miskin sebagai penangkal bala’, sebagian ia pakai sendiri dan itu pun masih lebih dari cukup. Tentu Tuhan akan memaklumi dirinya yang telah merayu-rayu Tuhan dengan tampil sebagai pahlawan untuk orang miskin. Dan Tuhan akan mengampuninya. Bukankah Tuhan Maha Rohman Rohim ?.

Wira pun kembali memanggul kotak perhisaannya untuk dibawa pulang, namun lagi-lagi Wira bimbang, apa mungkin Tuhan bisa dirayu-rayu dan dikelabui seperti itu ? Wira kembali  meletakkan kotak perhiasannya ke tanah, ia gali tanah dan ia pendam kembali. Kejadian itu berulang kali hingga akhirnya Wira mantap membuang seluruh harta yang ia dapat dengan cara kotor itu untuk dibenamkan ke dalam perut bumi. Sebelum dirinya sendiri yang akan dibenamkan Tuhan ke dalam tanah.

Selesai memendamnya Wira tak ingin menengok ke belakang lagi, hatinya telah mantap dengan wejangan dari guru spiritualnya itu, dan Wira pun pulang kembali ke kampungnya dengan pakaian dan kondisi seperti pertama kalinya ia meninggalkan kampung halamannya.

Wira tlah tahu jalan kembali, menemukan asal menemukan akar mengerti dengan hati akan arti “Inna Lillahi Wa Inna Ilahi Roji’un.” Sekian. Joyojuwoto/16-05-2015.

"Surat Cintaku"

"Surat Cintaku"


Wahai engkau idaman hatiku
berparas tampan nan bijak
 kagum ini meggebu pandangan pertamaku
 hingga kau menjadi pujaan yang menggerogot  hatiku
 dalam alpa kau melalaikan sesuatu
 meski hanya harkat yang kau sayat
 dalam hening kau buru kesempatan
Tertawa dalam jeritan hati para wanita
bodoh hati dengan perasaan sama terhadapmu
dalam tinta bertahta kertas putih
Kusampaikan pesan
pandanganmu terhadap aku
Dan tatapanmu terhadap seluruh gender female
 membuatku bertanya menatap kernyitan dahi di wajahmu
 seulas senyum miringmu mengucilkanku
 tengoklah sisi lainku
Keriput dan kurus akan fisik yang tak kuasa ku menopangnya
 deraian air mata bukan lemah aku
Ketakutan menggunung seakan merenggut kebebasanku
Berbeda kini datang kuat hati,
 tangkas fikiran,
 dibalik itu tahukah kau siapa yang mengganti tulang punggung keluarga?
 siapa yang menggendong batu, dan melancarkan perjalananmu?
 itu aku, wanita penyanjungmu 

(Ninda Sintya R)

Jumat, 15 Mei 2015

Romansa Sarah Wulan Dalam Kisah Kentrung Bate

Romansa Sarah Wulan Dalam Kisah Kentrung Bate

Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa di Bate Kec. Bangilan terdapat kesenian klasik yang hampir dipastikan tinggal nama, Kentrung Bate. Semenjak kematian Mbah Surati sang dalang kentrung satu tahun lalu kesenian ini telah kehilangan gairah untuk eksis. Sebenarnya masih ada pelaku kesenian kentrung di Bate yang tersisa, namun hanya tinggal penabuh timplungnya saja yaitu Mbah Setri, namun sayang mbah setri hanya mampu menabuh timplung dan tidak bisa mendalang. Padahal inti dari pertunjukan kentrung adalah dongeng dari sang dalang yang menceritakan tentang kisah-kisah Para Nabi, para wali, dan kisah-kisah legenda lainnya.

Kalau di dalam drama percintaan kita akrab dengan sepasang kekasih Romeo dan Juliet dari Inggris, atau kisah Rojali-Juleha dari Betawi, Sampek – Engtay dari Cina, ternyata penduduk pedalaman Tuban juga punya kisah romantis sepasang kekasih Sarah Wulan – Juwarsah, cinta mereka pun terhalang oleh orang tua dari Sarahwulan yaitu Nyi Wandansili.
Berikut sepenggal kisah dari drama percintaan Sarah Wulan :
*Nyi Wandansili berdiri angkuh dengan kemurkaannya. Tubuhnya ringkih membelakangi Sarahwulan yang bersimpuh meminta belas kasihan.

“Ampun Mbok ijinkan kawulo pergi,” kata sang gadis berlinang airmata. Segenggam pakaian dibungkus jarik kawung teronggok di samping kanannya.

“Mau jadi apa kamu tak nurut orangtua, bocah wadon kudu punya harga diri,” hardik Nyi Wandansili kepada anaknya.

Kepergian sang gadis mencari kekasihnya Juwarsah, bagi Nyi Wandansili tak ubahnya cidro. Malu keluarga harus ditanggung Nyi Wandansili jika sang anak meninggalkan rumah. Meski jerit tangis anaknya membelah langit, kian membuat sang janda bergeming.

*(Majalah Sastra Budaya "Gong" - Jogjakarta.)

Dari alur kisahnya dapat kita paparkan tentang seorang anak perempuan desa yang berani menentang kehendak ibunya demi melunasi janji kesetiaan kepada kekasihnya. Cinta itu benar-benar telah membutakan nalar dan pikiran Sarahwulan lari dari rumah mengejar kekasihnya Juwarsah yang entah kemana perginya.

Sebenarnya dari segi kultur Jawa seorang gadis biasanya jika telah memasuki usia menikah akan dipingit dan tidak boleh keluar rumah sembarangan. Dan anak gadis secara kultur sangat manut kepada orang tuanya, karena seorang gadis atau wanita berasal dari kata wani ditata. Berani diatur dan siap menyerahkan garis hidupnya pada kedua orang tuanya hingga nanti diserahkan kepada suaminya.

Kisah Sarahwulan-Juwarsah mampu keluar dari pakem adat istiadat yang membelunggu serta mendobrak tembok patriarki masyarakat Jawa. Dalam konteks ini pemberontakan Sarahwulan kepada Ibunya bisa kita maknani positif maupun negatif sesuai dengan sudut pandang yang akan kita ambil.
Nyi Wandansili sebagai orangtua dari Sarahwulan dalam konflik batinnya pun sebenarnya menggugat apa yang telah dilakukan oleh anaknya. Dalam tembang “Nagih Utang” yang dirapalkan oleh Ibu Sarahwulan syarat pelajaran buat si anak tentang kepatuhan dan ketaatannya terhadap orangtuanya. Berikut tembang Nagih Utang :
*Dudu tangis mono wonge kelaran,
Dudu tangis iki wonge kepaten,
Tetangise mono wong nduwe utang,
Ora utang mono wong padha dama,
Ya Lailaha Hailallah

Orang utang karo wong cina landa,
Ora duwe utang mas picis raja brana,
Nduwe utang mana karo wong tuwa,
Ndek nalika wong rupa toya
Ya Laila Hailallah

Nang ditagih utang karo wong tuwa,
Ya nang apa mbok nggo nyaurana,
Mbok rewangi wong adol rambut,
Panyaurmu durung bisa cukup,
Nek dilorohi wong tuwa prengat prengut,
Ya Laila Hailallah
*(Majalah Sastra Budaya "Gong" - Jogjakarta.)

Dari makna gending diatas secara singkat menjelaskan bahwa kebaktian seorang anak kepada orangtuanya adalah sebuah kemutlakan. Sebagaimana seorang yang punya hutang ia tak akan mampu membayar dengan apapun juga. Karena kita ada karena perantara orang tua kita. Orang tua ibarat Tuhan yang mengejawentah di alam mayapada. Bukankah surga berada  di bawah telapak kaki ibu dalam ajaran agama Islam, dan bukankah keridhoan Tuhan bersama ridho orang tua kita, begitu pula kemurkaan-NYA pun bersama murka orang tua kita. Kalau dari sudut pandang ini tentu apa yang dilakukan oleh Sarahwulan adalah bentuk kedurhakaan kepada ibunya Nyi Wandansili.

Namun jika kita kaji dari kacamata cinta, sulit rasanya menyalahkan apa yang dilakukan oleh Sarahwulan. Tak ada kata yang mampu mendefinisakan dan mengungkap rahasia  cinta kecuali cinta itu sendiri.
“AL Hubbu La Yumkinu Tafsiruhu Wa Huwa Yufassiru Kulla Syai’in”
 "Cinta tak bisa dijelaskan,
Cintalah yang akan menjelaskan semuanya"

Orangtua tidaklah selalu benar, dan bentuk pemaksaan dalam hal cinta dan perjodohan bukanlah hal yang diperbolehkan walau hal itu juga tidak bisa dianggap salah. Perlu kearifan dan sikap yang moderat untuk masalah yang sangat sensitif ini. Kemungkinan seorang anak hingga berani melawan orang tuanya bisa jadi dikarenakan sikap dari orangtua itu sendiri yang terlalu egosentris. Dalam ajaran agama pun kita diajarkan untuk bermusyawarah dalam menentukan sesuatu yang berkenaan dengan pihak lain. Tidak terkecuali terhadap anaknya sendiri.

Bagaimanapun kisah Sarahwulan-Juwarsah tidak hanya ada dalam dunia dongeng saja, boleh jadi kisah itu adalah representasi dari kondisi kultural masyarakat saat itu. Dimana jodoh seorang anak berada dalam kekuasaan orangtuanya atau kita sering menyebutnya sebagai zaman Siti Nurbaya. Singkatnya orangtua juga harus menyadari akan kenyataan ini, dan orangtua hendaknya membiasakan membangun jalur komunikasi dua arah antara dirinya dan anaknnya walau jalur komando pun tetap diperlukan, agar tercipta harmoni cinta yang sempurna di jagad kehidupan kita. Sekian Salam Cinta. 15-5-2015 Joyojuwoto

Kamis, 14 Mei 2015

Bulan Sya’ban

Bulan Sya’ban

Di dalam kitab Mukasyafatul Qulub halaman 251 Rosulullah SAW bersabda : “Ketika bulan Sya’ban tiba hendaknya kalian semua sama membersihkan diri dan memperbaiki niat. Maksud membersihkan diri adalah membersihkan diri dari dosa serta memperbaiki niat untuk melaksanakan amal-amal  sholeh untuk persiapan menghadapi bulan Ramadhan.

Dan disebutkan dalam haditsnya Imam Muslim Rosulullah SAW banyak melakukan puasa di bulan Sya’ban, dan beliau tidak berpuasa kecuali beberapa hari saja. Ada sebuah perkataan yang mengatakan bahwa para Malaikat yang ada di langit itu juga memiliki dua hari raya sebagaimana umat Islam mengagungkan hari rayanya yang ada di dunia. Adapun dua  malam hari rayanya para malaikat adalah malam Nisfu Sya’ban tanggal 15 Sya’ban dan malam Lailatul Qodar di bulan Ramadhan.

Imam Subkhi menerangkan barang siapa yang menghidupkan malam Nisfu Sya’ban maka hal itu seperti menghapus dosa satu minggu, sedang siapa saja yang menghidupkan malam Lailatul Qodar maka dosanya akan ditutupi seumur hidupnya. Dan barang siapa yang menghidupkan dua malam hari raya tersebut yaitu malam Nisfu Sya’ban dan malam Lailatul Qodar maka hatinya tidak akan mati pada saat hati kebanyakn manusia mati.

Maksud dari menghidupkan dua malam hari raya tersebut adalah memperbanyak amal sholeh seperti membaca Al Qur’an, berdzikir, menjalankan sholat sunnah dan lain-lain. Sedang hati yang mati maksudnya adalah hati yang selalu terikat dengan urusan duniawi dan melupakan urusan akhirat.

Pada saat malam Nisfu Sya’ban malaikat Izroil mendapatkan naskah catatan daftar nama orang yang akan meninggal dunia di bulan Sya’ban hingga bulan Sya’ban di tahun berikutnya. Ketika orang-orang masih sibuk menanam, ada yang sedang melangsungkan pernikahan, ada yang lagi sibuk membangun rumahnya, namun mereka semua tidak tahu bahwa namanya telah tercatat dalam daftar nama yang akan meninggal dunia di tahun itu, malaikat maut tinggal menunggu perintah.

Dan disebutkan dalam Khasiah Sowi juz 4 halalaman : 287 ada perkataan yang berbunyi : “Allah Ta’ala menetapkan taqdir untuk makhluknya pada malam lailatul Qodar berdasarkan garis ketetapan dari Allah, dan takdir tadi selanjutnya diberikan kepada para malaikat hanya untuk satu tahun yaitu saat mulai datangnya malam lailatul Qodar hingga satu tahun kedepan pada malm lailatur qodar di tahun berikutnya. Adapun yang ditakdirkan Allah berupa urusan kematian, jodoh, rizki dan lain-lainnya.

Selanjutnya catatan-catatan itu diberikan kepada empat malaikat, Jibril, Mikail, Isrofil, dan Izrail diserahi tugas untuk menjalankan ketetapan tadi. Taqdir itu dikerjakan pada malam Nisfu Sya’ban kemudian diserahkan kepada empat malaikat tadi pada malam Lailatul Qodar.

Disebutkan dalam kitab Durrotun Nasikhin halaman : 208, dari abu Hurairoh bahwasanya Rosulullah SAW bersabda : “Saya kedatangan malaikat Jibril pada malam Nisfu Sya’ban, dan ia berkata kepada saya, “Wahai Nabi Muhammad, pada malam ini semua tirai langit dibuka, termasuk tirai langit rahmat, maka saya memberitahukan kepada engkau agar engkau melaksanakan sholat kemudian dongakkan kepala engkau dan angkat kedua tangan engkau untuk berdo’a ke arah langit. Kemudian saya pun bertanya kepada Jibril : “Wahai Jibril malam ini malam apa ?” kemudian Jibril pun menjawab : “Malam ini adalah malam dimana 300 tirai rahmat dibuka, dan malam dimana semua dosa diampuni kecuali dosa syirik, dosa tukang sihir, dosa orang yang berseteru dengan orang Islam, dosa peminum khamr, dosa para pezina, dosa pemakan riba, dan dosa orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, dosa pengadu domba, dosa orang yang memutus tali silaturrahmi. Semua dosa yang  disebutkan tersebut yang jumlahnya sembilan tidak termasuk disa yang diampuni sehingga mereka bertaubat dan meninggalkan perbuatan tercela itu.

Ada hadits lagi  menerangkan yang artinya : “Barang siapa yang berpuasa tiga hari di awal bulan Sya’ban dan berpuasa tiga hari di tengahnya, serta berpuasa di tiga hari di akhir bulan Sya’ban maka baginya pahala 70 pahalanya para Nabi. Wallahu A’lam. Jwt

*Dari kita berbahasa Jawa bertulisan huruf Arab pegon

Perselingkuhan Sejarah dalam Penetapan Hari Kebangkitan Nasional

Gambar : http://mobavatar.com/
Perselingkuhan Sejarah dalam Penetapan Hari Kebangkitan Nasional

Pernyataan bahwa sejarah adalah milik penguasa bukanlah mitos belaka. Banyak sekali peristiwa-peristiwa sejarah di negeri ini yang telah dilukis ulang oleh para pemegang kekuasaan, entah karena maksud apa hingga proses distorsi sejarah itu dilakukan dengan mengesampingkan fakta-fakta yang sebenarnya. 

Kesakralan nilai sebuah sejarah sebenarnya telah hilang jika sifat dari sejarah itu sendiri telah dikhianati. Seyogyanya sejarah bersifat unik, penting dan abadi. Unik karena peristiwa sejarah hanya terjadi satu kali dan tidak dapat diulang kembali, penting karena peristiwa sejarah menentukan kehidupan orang banyak, serat abadi karena peristiwa sejarah tidak berubah dan dikenag sepanjang masa.

Padahal Bung Karno dengan penuh semangat mengingatkan kepada kita tentang pentingnya sebuah sejarah “Jas Merah” Jangan sekali-sekali melupakan Sejarah. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya, tidak melupakan jasa-jasa para pahlawannya.

Lalu apa yang menjadi penting dari sebuah peristiwa sejarah dan apa yang perlu kita ingat jika sejarah bangsa ini dibangun  diatas kebohongan dan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu saja, banyak contoh peristiwa sejarah yang menuai kontrovensi karena distorsi. Salah satu contoh saja tentang penetapan Hari Kebangkitan Nasional yang jatuh pada tanggal 20 Mei. Pemerintah menetapkan hari lahirnya Boedi Oetomo tanggal 20 Mei 1908 sebagai tonggak kebangkitan Nasional, penetapan ini atas usul dari Ki Hajar Dewantoro ketika beliau melihat kondisi bangsa yang terpecah-belah dan mengalami ancaman disintegrasi akibat agresi militer Belanda. Tentu tujuan dari penetapan Hakitnas yang ditetapkan oleh Presiden Soekarno dan wakilnya yaitu Bung Hatta pada tahun 1948 ini memiliki tujuan yang mulia. Namun sayang tidak ada titik temu antara semangat kebangkitan dan persatuan nasional dengan simbol yang dipakai yaitu organisasi kedaerahan Boedi Oetomo.

Boedi Oetomo (BO) yang didirikan oleh Soetomo sendiri sebenarnya hanya diperuntukkan bagi kalangan priyayi Jawa dan Madura serta para pengreh praja yang bekerja kepada pemerintah Belanda. Hal ini terbukti pada konggres pertama Boedi Oetomo di Jogjakarta pada 3 Oktober 1908 M, pimpinan  organisasi dipegang oleh Bupati Karang Anyar, R. Adipati Tirtokoesoemo sebagai Presiden Boedi Oetomo periode 1908-1911 M. Pada saat itu jabatan Bupati merupakan Indirec Rule System dari pemerintah kolonial Belanda.

Begitu pula dalam Algemene Vergradering Boedi Oetomo di Bandung, 1915 M, sikap Djawaismenya semakin dipertegas dengan terpilihnya R. Sastrowidjono terpilih sebagai Hoofdbestuur (ketua), ia meminta kepada hadirin yang hadir untuk berdiri dan bersama-sama meneriakkan yel-yel : “Leve Pulau Jawa, Leve Bangsa Jawa, Leve Boedi Oetomo” (Hidup Pulau Jawa, Hidup Bangsa Jawa, Hidup Boedi Oetomo).

Jadi bagaimana mungkin Boedi Oetomo yang berorientasi pada kedaerahan suku Jawa dan Madura serta para anggotanya adalah para pejabat yang digaji Belanda dianggap sebagai lokomotif kebangkitan Nasional, sedang mereka berada dalam satu gerbong kooperatif dengan gerakan kolonialisme, keputusan ini tentu wajar dan layak jika dipertanyakan bukan ?

Menurut Asvi Warman pemantik nasionalisme sejati adalah Syarikat Islam, sebuah organisasi yang didirikan pada tahun 1905. Organisasi yang lahir dari gua garba SDI yang didirikan oleh H. Samanhudi ini memiliki spektrum gerakan yang lebih luas. Berbeda dengan Boedi Oetomo yang cenderung promordialis dan kesukuan, keanggotaan SI relatif terbuka dan tidak ada diskriminasi suku, ras, dan antar agama, walau syarat keanggotaan SI adalah orang yang beragama Islam namun faktanya siapapun bisa masuk menjadi anggota SI.

Tidak hanya dalam soal prinsip saja, keanggotaan SI secara masa pun lebih besar dibanding dengan kkeanggotaan BO yang hanya mencapai 10. 000 anggota, sedang SI anggotanya pada tahun 1916 mencapai 700.000 anggota di 181 cabang seluruh Indonesia. Pada tahun 1919 melonjak drastis menjadi sekitar 2 juta anggota angka yang sangat fantantis kala itu.

Umur organisasi SI pun lebih lama dibanding dengan masa berdirinya BO yang akhirnya bubar pada tahun 1935, jadi BO tidak sempat mengantarkan bangsa ini ke gerbang kemerdekaan karena telah non aktif sebelum fajar kemerdekaan itu bersinar. Walau demikian kita tidak hendak mengabaikan peran BO dalam pentas sejarah bangsa ini, namun hendaknya kita juga jangan sampai menutup mata bahkan menghilangkan fakta akan peran organisasi lain yang ternyata memiliki peran lebih dibanding organisasi yang lainnya. Apalagi organisasi itu ternyata lebih dahulu hadir memberikan kontribusi terhadap bangsa ini.

Sejarah tidak berlaku surut dan berjalan mundur kebelakang, namun rekontruksi sejarah yang menyimpang perlu dilakukan agar kita tidak berpijak pada kebohongan sejarah itu sendiri. Sebagi bangsa yang besar, sebagai bangsa yang tahu arti jasa-jasa pahlawan terdahulu hendaknya kita perlu bersikap adil dan bijak, sebagaimana yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer : “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran.” Kata-kata ini hendaknya kita fikirkan dan kita nyatakan dalam ke-Indonesiaan kita demi melunasi janji kemerdekaan bersama, menjadi bangsa yang adil makmur dan bermartabat. Sekian. Joyojuwoto

Rabu, 06 Mei 2015

“Shalawat Nurudzdzati”

“Shalawat Nurudzdzati”

اللّهمّ صلّ وسلّم وبارك على سيّدنا محمّد بالنّور الذّاتى والسّرّ السّارى في سائر الاسماء والصّفات وعلى آله وصحبه وسلّم

“Ya Allah berikanlah rahmat ta’dzim, salam sejahtera dan keberkahan kepada junjungan kita Muhammad SAW, cahaya dzat (Allah) dan rahasia yang punya rahasia dalam seluruh nama dan sifat, dan semoga rahmat juga tercurahkan kepada keluarganya dan para shahabatnya, serta mendapat keselamatan”.

Shalawat ini disusun oleh Sayid Hasan As Sadzili. Shalawat ini mempunya banyak faedah, diantaranya : Untuk memperoleh simpati dari banyak orang, untuk menghindari sihir atau santet dan faedah-faedah yang lain.