Senin, 15 Desember 2014

Sang Pangeran Pengembara Tanpa Alas Kaki “Ibrahim bin Adham”



Sang Pangeran Pengembara Tanpa Alas Kaki “Ibrahim bin Adham”

Ibrahim bin Adham seorang raja penguasa tujuh kota, Maharaja dari negeri Balkh kehidupannya sangat glamour di tengah gemerlapnya istana yang mewah. Ia habiskan hari-harinya untuk pesta-pora, jika menjelang malam sinar lampu berpendar diantara pilar-pilar istana yang megah, gemerlapnya gelas-gelas minuman berpadu dengan gelak tawa dan nyayian para biduanita yang menawan. Berbagai macam sajian makanan dan minuman siap memuaskan hasrat badaniyah sepanjang pesta itu digelar. Menjelang pagi pangeran baru akan berangkat tidur, dan bangun saat matahari terbenam.

Kehidupan sang pangeran terus berulang hingga ia menyangka hari ini adalah kemarin, kemarin adalah hari ini, tak ada pembeda antara kemarin, hari ini, bahkan esok hari. Hingga pada suatu ketika di tengah gemerlapnya pesta istana muncullah seekor anjing kotor bersama darwis tua, entah karena apa sang pangeran terpesona ada getar panggilan jiwa yang harus ia tuntaskan, ada janji yang harus dipenuhi, ada misteri yang tak bisa dijelaskan dengan rangkaian kata. Sang Darwis melihat dengan  cahaya Tuhannya.

Termangu dalam dzauq-Nya, buru-buru sang pangeran mengejar darwis tua dan anjingnya ketika mereka melangkah pergi meninggalkan istana, hingga pangeran  lupa tak memakai alas kaki. Ada benang-benang halus yang menarik jiwa pangeran untuk terus mengikuti kemana langkah sang darwis. Inilah ketika jiwa yang murni telah bertemu dengan jodohnya, “al arwaahu Junuudun mujannadah famaa ta’aarafa minha I’talafa, wa maa tanaakara minhaa  ikhtalafa….” Ruh-ruh adalah seperti tentara yang berbaris-baris, maka yang saling mengenal akan bersatu & yang saling mengingkari akan berselisih…”. Kisah suluknya Bupati Semarang Pangeran Mangkubumi, Ki Pandannarang yang mengikuti penjual rumput ke gunung Jabalkat yang ternyata adalah guru spiritual tanah Jawa Kanjeng Sunan kalijaga mungkin juga terinspirasi dari kisah sang pangeran dari Balkh ini.

Tak terasa semalam penuh pangeran mengikuti darwis tua, hingga mereka sampai di sebuah takiyah al maulawiyah. Seorang Syekh sufi memimpin pesta spiritual, cawan-cawan khamr disajikan untuk menyambut sang sufi baru Ibrahim bin Adham. Khamrnya para sufi lebih memabukkan dari pada khamr yang paling memabukkan sekalipun, bahkan sebelum anggur itu sendiri diciptakan. Khamrnya para sufi adalah kasidah-kasidah cinta Ilahiyyah.

Syekh menunjuk seorang darwis untuk maju ke depan menyanyikan kasidah cintanya  Jalauddin ar Rumi, sambil memetik senar alat musiknya darwis itu bersenandung syahdu :

Adalah ruh yang tidak meng-ada
Karena keberadaannya tidak lain hanyalah cela
Jadilah orang yang mabuk cinta
Karena semua keberadaan adalah kecintaan
Tanpa hanyut dalam cinta

 Tiada jalan menuju yang dicinta
Mereka bertanya apa itu cinta ?
Katakana cinta adalah meninggalkan kemauan
Barang siapa belum mampu lepas dari keinginannya
Tiadalah pilihan lain untuknya



Seorang pecinta adalah raja
Dunia ini hanyalah debu di bawah kakinya
Seorang raja tidak akan berpaling
Kepada apa yang ada di bawah kakinya

Darwis itu hanyut dalam nyanyiannya, tiap bait-bait syairnya menyentuh jiwa sang pangeran, darwis pun menyelesaikan lagunya

Jangan terpana di atas kuda jasmani
Dan cepatlah berjalan dengan kedua kakimu
Sebab Allah akan memberikan dua sayap
Bagi mereka yang berhasil lepas dari kuda jasmani

Lantunan syair mewarnai tiap sudut-sudut takiyah menerangi jiwa-jiwa yang gelap, memantulkan secercah cahaya yang menyelinap masuk ke dalam hati sang pangeran, pelan namun pasti kedamaian dan kebahagiaan dirasakannya. Bening bagai embun pagi tertimpa mentari, sejuk bagai oase di padang pasir yang gersang. Luar biasa.

Kemudian masuklah darwis lain, ia membawa pedupaan, yang diatasnya ada sepotong kayu gaharu. Api membara, asap mengepul memenuhi ruangan dan paru-paru yang berada diruangan itu. “Seorang mukmin seperti gaharu ia mengharumkan ruangan jika terbakar” ungkap darwis itu.

Setelah itu syekh darwis memberi isyarat agar dua orang darwis maju ke depan untuk menghidangkan khamr-khamr sufi kepada pangeran agar dahaganya terpuaskan. Kasidah-kasidah cinta terus dituangkan dari gelas-gelas jiwa yang suci. Kedua darwis ini menyanyikan kasidah cinta Laila dan Majnun. Sambil meniup serulingnya dua darwis itu terus bernyanyi hingga kisah berakhir dengan perkataan Majnun kepada Layla,

“Pergilah jauh wahai gambar
Jangan engkau menghalangi jalanku
Menuju  Yang Maha Menggambar”

Dua darwis itu pun menyudahi nyanyiannya, masing-masing dari darwis yang hadir disitu memberi hadiah kepada pangeran, mulai dari pakaian dari kulit kambing khas para darwis, penutup kepala dari bulu-bulu yang halus, minyak kesturi yang mewangi, tapi tidak ada satu pun yang memberinya sandal kakinya terasa sakit dan terkelupas.

Kemudian sang syekh darwis berdiri seraya berkata , “Kami sudah lama menunggu pangeran. Kami mengetahui  keadaan Tuan dan menunggu kedatangan Tuan. Darwis yang singgah di istana Tuan adalah utusan kami. Ia datang untuk mengingatkan Tuan pada janji yang telah Tuan lupakan. Dan, kami memperhatikan Tuan pergi dari istana dan dating kepada kami dengan tanpa alas kaki. Kedudukan yang belum pernah dicapai oleh seorang pun diantara kami. Yang Haqq bernah berbicara kepada Nabi Musa as.  “Lepaskanlah alas kakimu. Tidak akan tinggi kedudukan seseorang kecuali ia telah meninggalkan alas kakinya. Jwt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar