Jumat, 11 April 2014

UN LAGI UN LAGI. LAGI-LAGI UN. OPO IKI ?

UN LAGI UN LAGI. LAGI-LAGI UN. OPO IKI ?


Sebentar lagi UN (ujian Nasional) tingkat SMS/MS/SMK akan di laksanakan secara serentak di bumi pertiwi Indonesia. Lalu apa pentingnya UN ? Bagi kita        ( gemblengan Abah ) UN hanya mematikan kreatifitas murid, UN hanya mengejar angka saja dan UN hanya menjauhkan murid dari pendidikan yang seharusnya menjadi problem solving.
Asumsi yang diamini tapi menyesatkan adalah murid yang meraih angka paling tinggi dalam UN adalah murid yang paling pandai. Lebih-lebih jika ditambahi dengan keberhasilan meraih angka paling tinggi mengerjakan UN karena ibadahnya paling rajin. Dari ibadah wajib hingga sunnah. Masya Allah. ( Sungguh ini pendapat yang sesat dan menyesatkan ).
UN seolah menjadi penentu dari keberhasilan suatu lembaga pendidikan, murid, bahkan pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan. Kelulusan 100 persen murid dalam UN menjadi tolak ukur kesuksesan pendidikan di daerah. Ironisnya UN kadang menjadi alat kampanye pemerintah berhasil mendidik murid. Inilah pendapat yang tidak sesuai dengan alam fikiran Abah.
Bukan hanya itu, UN ternyata menjadi ajang komersialisasi bagi Pemerintah sendiri dan lembaga-lembaga bimbingan belajar. Lihat saja satu tahun menjelang UN, lembaga bimbingan belajar kebanjiran siswa yang mempersiapkan UN. Ada paket bimbingan UN. Dari paket yang paling hemat hingga yang paling mahal. Nominalnya bukan ratusan ribu tapi jutaan rupiah bagi siswa.
Bagi siswa yang keluarganya dari ekonomi rendah, mengikuti bimbingan belajar menjelang UN adalah mengutip asumsi Srimulat, hil yang mustahil dan hal yang mustahil. Dan sekali lagi,  inilah sebenarnya potret yang paling riil dari diskriminasi pendidikan.
Ironisnya siswa yang meraih nilai tinggi dalam UN, lalu diklaim oleh lembaga bimbingan belajar sebagai siswa binaannya yang sukses. Klaim  lembaga bimbingan belajar ini tentu menyakitkan hati para guru yang bertahun-tahun mendidik siswanya.
Lalu apa pentingnya UN ?. Saya beberapa hari ini sering mendapat undangan baik dari Kemenag up Kasi Mapendanya atau KKM MAN Tuban maupun DIKPORA up KASUB SMA/SMK/MA  yang terkait dangan UN dan saya juga telah mengamati beberapa lembaga pendidikan di Kab. Tuban yang akan menghadapi UN, apalagi menurut POS JUKNIS dari BNSP bahwa paket soal UN adalah 20 paket soal, wah ... wah ... wah. Dan yang lebih mengenaskan lagi Hari-hari ini waktu anak sekolah hanya diisi dengan materi pelajaran UN, UN, UN dan UN saja. Seolah yang lebih penting hanya pelajaran yang di UN kan saja, sehingga mengenyampingkan pelajaran yang lain. Allahu Akabar. ( Ngene kok kon Isa barokah, ketemu pirang perkara ). Mulai pagi hingga sore dan masih di tambah les malam hari dan masih ikut bimbingan belajar ( Bimbel ). Sampai akahirnya si anak jatuh sakit.
Seolah tak ada waktu istirahat bagi anak sekolah. Bahkan untuk membaca buku bacaan saja, dia tak pernah ada waktu sama sekali. UN seolah menjadi medan perang ( Jihad ) yang harus disiapkan dengan mengorbankan segala-galanya. Naudzu billahi mindzalik.
Apakah pendidikan di Indonesia memang dirancang hanya mempersiapkan UN ?. Jadi apa makna pendidikan yang sebenarnya ?. Bukankah seharusnya pendidikan itu tujuannya untuk memanusiakan manusia. Menjadikan manusia yang lebih humanis.
Lebih dapat menghargai diri menjadi manusia seutuhnya. ( Opo neh iki kok terlalu filosofis aku tambah gak faham ).
Pendidikan memang harus kuat pondasi filosofisnya, jangan seperti saat ini, kayaknya sekarang di Indonesia pendidikan hampir tak ada pondasi filosofisnya. Akibatnya sistem pendidikan tak menghargai siswa. Tak menghargai siswa yang butuh pengalaman berharga bagi siswa.
Pendidikan bukan perdagangan. Object pendidikan adalah manusia dan bukan barang, sehingga siswa tak bisa diperlakukan sebagai mesin yang terus ditekan untuk materi pelajaran UN saja.
Akibatnya, siswa dalam gemblengan Abah ternyata tak mampu menjadi Problem solving, siswa terasa jauh berhdapan dengan masalah-masalah sesungguhnya yang terjadi di lingkungan masyarakat.
Seperti anak kawan saya yang kebetulan dia sekolah di tingkat sekolah menengah atas. Kebetulan dia siswa di kelas favorite. Artinya semua siswa adalah siswa pandai. Dia merasa justru di kelas khusus dan favorit adalah penjara bagi dia. Dia ingin keluar dari kelas favorit, namun di cegah oleh gurunya, karena dia siswa pandai di sekolah tersebut. Dia meski hanya setengah hati di bangku kelas favorit tapi toh akhirnya dia selalu menjadi siswa yang terbaik di sekolah tersebut.
Mengapa dia ingin keluar dari kelas favorit ?. Alasannya adalah, kelas favorit ternyata hanya mendidik dia menjadi siswa yang kerap ikut olimpiade. Dia tak ingin hanya berkutat dengan materi pelajaran UN saja. Dia ingin masalah riil yang harus dihadapinya dalam hidup ini.
Dia menceritakan, seolah juara di semua ajang olimpiade adalah tujuan utama dari kelas favorit. Bagi siswa yang menang di olimpiade, dia dinilai menjadi siswa yang pandai di sekolah tersebut. Karena itu, tiap hari yang dihadapi hanyalah materi pelajaran UN.
Anak kawan saya tersebut mengaku tak memiliki ketrampilan dan kemampuan lainnya. Dia sedih karena hanya pandai mengerjakan dan memecahkan soal-soal pelajaran UN. Namun, dia mengaku tak pernah tahu dan memahami masalah di sekitar lingkungan rumahnya.
Dia ingin keluar dari kelas favorit agar fikirannya tak terbebani dengan tumpukan pelajaran UN saja. Karena bagi dia kepandaiannya di kelas favorit juga hanya menguntungkan pihak sekolah akan tetapi tidak dapat memberi keuntungan bagi dirinya sendiri. Masuk di kelas favorit hanya membuat bangga orang tuanya tapi dia sendiri tak merasa bangga dan tak bisa apa-apa dalam menghadapi problematika hidup. Oooooooooooooooooh mosok leeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeh. He he he he he he he he he eh eh  ...  heh. Pokoknya apa saja baik lembaga pendidikan formal maupun non forma dan Pondok Pesantren yang berbau bisnis akan jauh dari barokahnya Allah SWT. Ini toh yang sering didawuhkan Abah Madzhabuna huwa : Madzhabul-Khulus bukan Madzhabul-Fulus dengan dalil :
اتبعوا من لا يسألكم أجرا وهم مهتدون.
تراب الأقدام : إبن مهيمن تمام

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. al-imtihanu yukromul maru aw yuhanu,,
    saya juga merasakan hal yg sama disini ust, murid2 kelas 3 disekolahan saya dr awal masuk plajarannya cuma matkul UN saja, akhirnya pada saat UAMBM anak pada celuluk semua ndak ada yg bisa ngerjakan.
    saya sbg guru tambahan pelajaran inggris merasa tertekan dan takut sudah susah payah ngajar dan akhirnya ada siswa yg ndak lulus, na'udzubulla min dzalik.
    #myexperience.com

    BalasHapus
  3. blog bagus hanya saran menurut saya lebih baik ganti template blog yang lebih rapi menunya.maaf kalo salah

    BalasHapus